/0/2949/coverbig.jpg?v=0de6347e304d2780a4ea09a260e11c82)
Seperti layaknya genangan air, kehidupan Betty berlangsung dengan tenang. Semua berjalan baik sampai peristiwa berdarah terjadi yang membuatnya harus menemui Aldric, seorang pembunuh bayaran yang berhati beku. Pertemuan pertama mereka berhasil membuat desiran aneh pada tubuh Aldric. Pria itu menginginkan Betty. Banyak rintangan yang mengganggu kisah indah Betty dan Aldric. Seseorang yang menghancurkan hidup mereka di masa lalu ternyata menginginkan Betty. Aldric tidak akan tinggal diam. Betty adalah miliknya dan selamanya akan begitu. Bisakah Betty dan Aldric serta teman-temannya menghancurkan manusia benalu yang menghancurkan hidup mereka? "Ada dua hal yang aku sukai di dunia ini. Darah dan dirimu." - Aldric Halbert *** Viallynn
Raut wajah polos tanpa polesan make-up itu terlihat cemberut saat mendengar ucapan pria di hadapannya. Lagi-lagi Max akan pulang lebih awal dan meninggalkannya menata buku sendiri. Bukan itu yang membuat Betty kesal, dia hanya takut pulang sendiri, itu saja.
"Ayo lah, jangan memasang wajah seperti itu. Aku berjanji, setelah anakku lahir aku tidak akan merepotkanmu lagi."
"Bukan itu, Max. Kau tahu aku takut pulang malam," sahut Betty mulai mengurutkan buku yang akan dia tata.
"Sudah ku bilang, naiklah taksi."
Betty menatap Max aneh, "Aku hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan berjalan kaki. Kenapa harus memakai taksi?"
"Kalau begitu berhenti mengeluh. Aku sudah memberikan saran yang baik." Max mengedikkan bahunya acuh dan mulai meraih tasnya. Jam sudah menunjukkan pukul 5 lebih dan sebentar lagi perpustakaan akan tutup.
"Aku pulang, Beth."
Betty mengangguk pasrah. "Ya, berikan salamku pada Wanda."
Sudah dua jam Betty berkutat dengan kegiatannya menata buku. Entah kenapa banyak sekali buku yang dikembalikan hari ini, sehingga dia harus menatanya sebelum perpustakaan kembali dibuka besok.
Entah berapa lama Betty berkutat dengan buku-bukunya. Waktu berputar begitu cepat sampai jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tidak terlalu larut untuk Betty, setidaknya dia masih menemukan satu atau dua manusia di jalan nanti.
Betty mulai meninggalkan perpustakaan dengan mantel yang terpasang erat di tubuhnya. Musim dingin akan segera datang dan dia bimbang akan itu. Betty sangat menyukai musim dingin, tapi tidak dengan tubuhnya. Entah kenapa tubuhnya begitu sensitif dengan hawa dingin yang dapat membuatnya flu seketika.
Betty memilih untuk melewati jalan pintas. Dia memilih jalan ini untuk mempersingkat waktu. Keadaan jalan yang gelap sudah menjadi hal yang baisa untuk Betty. Namun entah kenapa kali ini berbeda. Langkahnya terhenti saat mendengar suara rintihan seseorang yang membuat bulu kuduknya berdiri. Mata indah itu menatap ke segala arah dengan penasaran, mencoba mencari tahu asal suara mengerikan itu.
Betty terus berjalan sampai akhirnya suara rintihan itu semakin jelas terdengar. Semakin penasaran, Betty tidak ragu lagi untuk mencari tahu. Matanya membulat begitu melihat ada jejak darah di depannya.
"Aku mohon, Tuhan. Jangan korban pembunuhan lagi," gumam Betty mengikuti jejak darah itu.
Langkah Betty terhenti saat melihat seorang pria tengah terbaring lemah di balik tempat sampah. Matanya mengedar ke segala arah untuk mencari bantuan. Pria itu masih hidup! Betty sangat yakin, karena tangan pria itu melambai padanya seolah meminta bantuan.
"Astaga! Apa yang terjadi? Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Betty mendekat dan menatap ngeri pada luka menganga di perut pria itu.
"Ja-ngan." Pria itu meraih tangan Betty dan meletakkan sebuah kotak kecil di tangannya
"Apa ini?" tanya Betty bingung.
"Tol-ong berikan benda ini pada Al."
Betty terdiam dan menatap kotak itu penasaran, "Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang."
"Tidak! Biarkan aku mati di sini. Sekarang kau pergi dan berikan benda itu pada Al."
"Aku tidak mengerti!" Betty berteriak histeris. Tentu saja dia bingung karena pria di hadapannya memilih untuk mati malam ini.
"Zoo bar & club. Al ada di sana, cepat pergi atau kau akan berakhir mengenaskan sepertiku."
Takut, itu yang Betty rasakan. Matanya sudah memerah menahan tangis karena bingung harus melakukan apa. Dia hanya ingin pulang sekarang. Gadis itu tidak menyangka jika akan bertemu dengan pria sekarat malam ini.
"Ak-ku mohon, pergi sekarang."
"Bagaimana denganmu? Kau akan mati!" teriak Betty menangis.
Tanpa disangka pria itu tersenyum. "Ini sudah jalan yang aku pilih."
"Aku tidak bisa meninggalkanmu seperti ini." Betty masih ragu untuk pergi.
"Sial! Bisakah kau menurut?! Aku tidak punya banyak waktu. Kau hanya perlu pergi menemui Al dan berikan benda itu. Ingat satu hal, namaku Gordon." Gordon berbicara dengan lemah. Rasa sakit di tubuhnya benar-benar tidak bisa ditolong. Hanya satu misi lagi dan semua akan berakhir. Dia belum bisa pergi dengan tenang jika kotak itu belum berada di tangan yang tepat.
"Tidak! Buka matamu! Jangan mati, setidaknya jangan mati sekarang! Astaga, bagaimana ini?!" Betty berteriak frustrasi. Tangannya bergetar berusaha untuk membangunkan Gordon yang mulai terpejam. Namun, sepertinya sia-sia karena pria itu tetap menutup matanya.
Kaki Betty terasa lemas melihat pemandangan itu. Tangannya dengan gemetar mencengkeram erat kotak pemberian Gordon. Jadi apa yang harus dia lakukan sekarang? Menghubungi polisi atau bagaimana?
Akhirnya Betty memutuskan untuk kembali ke jalan utama dengan langkah berat. Tubuhnya masih lemas melihat bagaimana Gordon mati di hadapannya. Ini pertama kalinya Betty melihat betapa kejamnya dunia malam.
Betty tidak akan memanggil polisi. Dia tidak mau terlibat dengan masalah Gordon. Lebih baik dia menyerahkan semua ini ke pada pria yang bernama Al. Betty yakin jika pria itu akan melakukan sesuatu nantinya.
***
Suasana bar yang ramai membuat Aldric mendengus tidak suka. Dia memang tidak suka keramaian tapi hanya Zoo Bar & Club yang menjadi tempat teraman untuknya saat ini, setidaknya untuk pria sepertinya.
Asap rokok kembali keluar dari bibir merah itu. Sudah 3 batang rokok yang Aldric habiskan dan Gordon belum juga datang. Apa pria itu lupa jalan kembali? Seharusnya Mr. X memberikan misi Gordon padanya. Target Gordon kali ini bukanlah main-main. Banyak tameng berlapis yang melindungi target dan hanya otak licik Aldric yang dapat menembusnya.
Tepukan pada bahunya membuat Aldric menoleh. "Ada seseorang yang mencarimu."
Alis Aldric bertaut, "Siapa?"
"Aku tidak tahu, dia bertanya pada semua orang di mana pria yang bernama Al. Tentu saja tidak ada yang tahu!"
Aldric terdiam. Tidak ada yang mengetahui namanya selama ini. Hanya orang-orang yang berkecimpung di dunia gelap yang mengetahui namanya. Jadi siapa orang yang mencarinya?
"Di mana dia?"
"Di sana," tunjuk Roy pada gadis yang tengah berdiri dengan gelisah, "Apa kau menghamilinya?" Lanjut Roy dengan bodoh.
Aldric memilih untuk mengabaikan Roy dan berjalan ke arah gadis yang terlihat mencolok dengan pakaian tertutupnya. Dari kejauhan, Aldric dapat melihat raut wajah ketakutan yang tidak dapat disembunyikan.
"Kau mencariku?" tanya Aldric dengan pelan, berusaha untuk tidak menarik perhatian banyak orang.
"Kau pria yang bernama Al?" tanya Betty bodoh. Matanya menatap pria di hadapannya dengan teliti. Kaos putih dengan balutan jaket kulit serta celana jeans membuat tampilan Aldric terlihat normal. Namun Betty meyakinkan diri jika pria di hadapannya sama bahayanya seperti Gordon.
"Jika kau pria yang bernama Al, ini untukmu." Betty meraih tangan Aldric dan meletakkan kotak pemberian Gordon dengan cepat.
Aldric terdiam dengan mata yang tertuju pada tangan Betty. Tangan kecil itu terasa hangat menggenggamnya.
"Apa ini?"
Pertanyaan bodoh! Tentu saja Aldric tahu apa isi kotak itu. Bukti fisik yang menunjukkan jika Gordon sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Entah mata, lidah, gigi, atau bahkan jantung dari target.
"Aku tidak tahu, Gordon memintaku untuk memberikannya padamu."
"Di mana dia?" tanya Aldric dengan dingin. Wajahnya begitu kaku saat sadar jika Gordon sedang tidak baik-baik saja sekarang. Jika keadaan Gordon baik, maka pria itu sendiri yang akan menemuinya.
"Dia-" Betty menelan ludahnya gugup, "Dia sudah meninggal, di sekitar Curzon st."
Aldric memejamkan matanya sebentar dan mengangguk. Benar dugaannya, Gordon sedang tidak baik-baik saja. Mungkin pria itu kewalahan dengan anak buah Richard yang terus mengejarnya karena berhasil membunuh tuannya.
"Kau harus mengambil jasadnya," ucap Betty dengan suara serak menahan tangis. Dia kembali teringat dengan Gordon yang mati secara mengenaskan.
"Tidak perlu," kata Aldric singkat dan berbalik meninggalkan Betty.
"Hei! Kau tidak bisa pergi begitu saja! Dia temanmu bukan?" Betty mengejar Aldric dan menarik lengannya. Lagi-lagi sengatan itu kembali Aldric rasakan.
"Jika kukatakan dia bukan temanku, apa kau akan menyerah?"
Betty menggaruk lehernya gugup. "Setidaknya kau mengenalnya. Demi Tuhan! Pria itu sudah mati dan sendirian di gang sempit itu!"
"Pelankan suaramu!" Mata Aldric menajam.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia bisa mati? Dan kenapa kau bisa sesantai ini?!" Betty berbicara dengan frustrasi. Dia tidak pernah berurusan dengan hal seperti ini. Bahkan untuk masuk ke dalam bar pun ini pertama kali untuknya. Sebut saja Betty kutu buku, karena itu benar adanya.
Aldric berjalan mendekat membuat Betty mundur dengan gugup, "Aku tekankan padamu. Semua ini bukan urusanmu."
"Jika kau tidak mau mengurus mayat Gordon, aku akan memanggil polisi." Ancam Betty yang justru membuat Aldric tersenyum manis. Senyum yang merupakan pertanda buruk.
"Menghubungi polisi, eh? Coba saja, mari kita lihat seberapa beraninya dirimu."
Betty memejamkan matanya menahan emosi. Pria di hadapannya benar-benar misterius dan menyebalkan. Jika memang itu maunya, Betty akan lakukan. Dia akan menghubungi polisi untuk mengatasi mayat Gordon. Biar bagaimanapun juga dia adalah manusia yang mempunyai hati. Dia tidak akan tega melihat mayat Gordon membusuk begitu saja.
"Baik jika itu yang kau inginkan. Tahu akan seperti ini lebih baik aku ke kantor polisi dari pada menemuimu." Betty berbalik untuk pergi. Dia sudah tidak nyaman berada di tempat ini. Bagaimana bisa Rubby bertahan bekerja di sini?
Sebuah cengkeraman erat berhasil membuat Betty meringis. Gadis itu berbalik dan menatap mata Aldric yang begitu menakutkan.
"Hati-hati dengan apa yang kau lakukan."
"Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Jika kau tidak ma-"
"Sial!" Aldric mengumpat membuat ucapan Betty terhenti. Dia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang, "Urus mayat Gordon, hilangkan jejak sampai bersih."
Aldric memutuskan panggilannya secara sepihak. "Kau puas, Nona?" tanyanya pada Betty.
"Ya aku puas, terima kasih," ucap Betty tersenyum manis.
Lagi-lagi tubuh Aldric terpaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa sentuhan dan senyum gadis itu begitu berefek padanya?
"Aku harap kau menutup mulutmu tentang semua ini. Jika tidak, jangan menyesal jika kita akan bertemu lagi." Aldric tersenyum manis dan membuat tubuh Betty merinding. Pria itu mengancamnya.
"Pergilah," usir Aldric dan berjalan menjauh. Namun dia kembali berbalik dan tersenyum manis, "Lain kali jangan sentuh orang asing seperti itu, kau tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka."
Betty terdiam dan menatap tangannya kesal. Benar, dia begitu lancang menyentuh Aldric, tapi dia tidak bisa mencegahnya. Mungkin pria itu tidak suka jika ada orang asing yang menyentuhnya.
Namun pikiran Betty salah besar, justru sentuhan itu menimbulkan efek berbahaya untuk tubuh Aldric.
***
TBC
Sekarang Cindy paham kenapa hidupnya selalu berjalan dengan baik meskipun selalu kekurangan. Itu semua tidak lepas dari Mr. Auredo yang selalu menjaganya dari jauh, tapi semua kenyamanan itu hilang ketika Chris menggantikan posisi ayahnya untuk menjaga Cindy. Chris memang menjalankan tugasnya dengan baik, tapi dengan keegoisan yang tinggi apakah Cindy masih bisa bertahan? "Kau lebih mirip iblis dari pada malaikat." - Madeline Cindy "Seharusnya aku menghukummu karena bicara seperti itu, tapi kali ini akan kumaafkan karena memang aku lebih menyukai iblis dari pada malaikat." - Christopher Auredo *** Viallynn
Coba bayangin gimana rasanya ditaksir sama duda? Iya duda. Itu yang gue rasain sekarang. Bisa-bisanya cowok kalem kayak dia suka sama cewek aneh kayak gue? Pingin banget gue lari, tapi ada buntutnya yang bikin nggak jadi. Bukannya gue nggak mau, tapi gue masih unyu. Nggak lucu kalo gue bener jadi sama si duda, bisa-bisa gue ikutan tua. Untung banyak duitnya, kalo nggak ya babai aja. "Lamaran saya diterima nggak?" "Tapi nanti kasih saya bayi yang lucu ya, Pak?" "Gampang, nanti kita buat." *** Viallynn
Kehidupan seorang Ana berubah ketika dia terlibat masalah dengan pengusaha yang menjadi pembicara di acara seminar kampus. Bukan keinginannya untuk berurusan dengan pria menyebalkan itu, namun entah kenapa pria itu malah berusaha untuk menambah masalah sehingga mau tidak mau Ana harus sering berjumpa dengannya. Tanpa Ana sadari bahwa pria itu adalah pria yang ditunggunya selama ini. Pria yang mengisi hatinya. Bertahun-tahun tidak bertemu membuat Ana lupa akan rupa pria itu. Harapan Ana berbanding terbalik dengan kenyataannya. Pria itu muncul dengan sifat dinginnya yang membuat Ana kesal, namun tidak bisa dipungkiri jika Ana begitu memuja pria itu. Begitu banyak masalah yang menimpa hubungan mereka. Teror-teror bermunculan untuk menghancurkan mereka. Apakah mereka bisa mengatasi masalah itu dan terus bertahan? *** Viallynn
Bagi Rezal Mahesa, masih melajang di usia 32 tahun bukanlah sesuatu yang memalukan. Dia sudah nyaman hidup mulus tanpa lika-liku percintaan yang memuakkan. Pekerjaan yang menjanjikan seharusnya bisa membuatnya berpikir tentang indahnya sebuah rumah tangga. Namun Rezal tidak berniat untuk mencari dan memilih untuk menunggu, membiarkan Tuhan yang menjalankan skenario indah untuk hidupnya. Sampai akhirnya muncul gadis muda yang merupakan mahasiswa magang di kantornya. Meskipun ragu, tapi batu besar di hati Rezal perlahan mulai terkikis. Sikap Naya yang unik, konyol, dan dewasa di satu waktu berhasil membuat hatinya menghangat. Apa Rezal harus menyiapkan gedung pernikahan mulai dari sekarang? *** Viallynn
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.