Unduh Aplikasi panas
Beranda / Modern / Istri Pertama Dengan Jendela Kaca
Istri Pertama Dengan Jendela Kaca

Istri Pertama Dengan Jendela Kaca

5.0
21 Bab
2 Penayangan
Baca Sekarang

Elsa tahu betul harga dari sebuah senyuman. Sejak dinikahi Delon, ia tak hanya menjadi istri, tetapi juga tulang punggung bagi biaya sekolah kedua adiknya. Lima tahun setelah Delon menikahi Ika-cinta pertamanya yang kini memberinya calon pewaris-senyum Elsa harus dipoles lebih telebih indah dan meyakinkan.​Di mata Delon, Elsa adalah istri pertama yang paling pengertian dan paling ikhlas menerima takdir poligami. Di mata Ika, Elsa adalah kakak ipar yang dihormati, tempat curhat, dan sosok yang ia sayangi tulus.​Namun, yang tidak diketahui siapa pun adalah rahasia yang disimpan Elsa rapat-rapat. Jauh di balik keharmonisan yang ia bangun, Elsa mengidap frustrasi yang mendalam karena ketiadaan anak, rasa sakit melihat kebahagiaan yang seharusnya menjadi miliknya, dan kenyataan bahwa ia terikat pada pernikahan itu demi kelangsungan hidup keluarganya.​Dan yang paling mematikan: Kanker yang menggerogoti tubuhnya hari demi hari, sebuah vonis yang ia rahasiakan agar Delon dan Ika bisa fokus pada kebahagiaan baru mereka.​Elsa adalah istri pertama yang berdiri di balik Jendela Kaca-terlihat utuh, transparan, dan tegar. Padahal, ia rapuh, terluka, dan siap pecah kapan saja. Akankah ia sempat jujur sebelum waktu benar-benar habis?

Konten

Bab 1 Senyum yang berharga mahal

Pagi di rumah bergaya modern Korean itu selalu bermandikan cahaya, tetapi bagi Elsa, cahaya itu tak pernah terasa menghangatkan. Rumah ini adalah milik Ika, rumah yang Mas Delon belikan untuk cinta pertamanya, tempat di mana panggilan 'Sayang' kini berlabuh. Elsa sendiri hanya menginap di sana malam ini, atas permintaan Ika yang sedang rewel karena morning sickness-sebuah kebaikan yang justru memaksa Elsa mengenakan topengnya lebih tebal.

Elsa berdiri di depan meja island marmer, memotong buah stroberi untuk dimasukkan ke dalam smoothie yang ia siapkan khusus untuk Ika, madunya yang sedang hamil muda. Jemarinya yang ramping bergerak cepat, efisien, terlatih sempurna. Sejak dipoligami lima tahun lalu, perannya bergeser dari istri yang dicintai menjadi manajer rumah tangga yang efisien, dan kini, asisten pengurus calon anak madunya.

​Ia mengenakan tunik dan hijab berwarna sage green, serasi dengan nuansa tenang di dapur. Namun, di balik lipatan hijab yang rapi itu, ada kepala yang pusing dan kening yang berkeringat dingin. Tadi malam, rasa sakit di perutnya kembali datang, lebih tajam dan memaksa.

​Ini bukan lagi maag biasa, batinnya, getir. Ia menekan perutnya sejenak, mengambil napas dalam-dalam.

​"Kak Elsa!"

​Suara Ika terdengar ceria, memecah kesunyian yang dibangun Elsa. Ika masuk ke dapur, mengenakan gamis longgar dan hijab berwarna dusty pink, memancarkan aura glow khas ibu hamil.

​"Kenapa, Sayang? Ada yang kamu butuhkan?" Elsa berbalik, dan topeng senyumnya langsung terpasang. Senyum yang mencapai matanya, namun tidak pernah benar-benar menjangkau hatinya.

​"Aku cuma mau bilang terima kasih. Susah sekali bangun pagi karena mual, tapi Kak Elsa sudah menyiapkan segalanya. Smoothie ini pasti enak," kata Ika tulus, mendekat dan memeluk pinggang Elsa sekilas.

​Elsa membalas pelukan itu dengan kaku. Di saat ia membalas kebaikan Ika, ia merasakan kehangatan di perut Ika-kehangatan yang menandakan adanya kehidupan yang sudah lama ia dambakan. Di saat yang sama, perutnya sendiri terasa dingin, hampa, dan sakit.

​"Sama-sama, Ika. Sudah tugasku. Sekarang kamu duduk di meja makan, aku siapkan bekalmu untuk di mobil. Hari ini kan kita mau dengar detak jantungnya," ujar Elsa, suaranya dipenuhi intonasi kebahagiaan yang dipaksakan.

Air mata keterpurukannya sudah menunggu di ambang, siap tumpah, tetapi Elsa menelannya, sekeras ia menelan ludah. Ia tidak boleh lemah.

Beberapa menit kemudian, mereka semua sudah siap untuk ke rumah sakit dan juga ada Ibu nya Delon yang datang yang tidak lain adalah mertua Elsa dan Ika. Delon sudah berdiri siap di samping mobul SUV mewah milik Delon.

Pria itu terlihat tampan dan berseri-seri dalam kemeja kasualnya.

​"Sudah siap, Sayang?" tanya Mas Delon pada Ika, tangannya langsung terulur memegang pinggang Ika. Panggilan 'Sayang' itu terdengar begitu alami, begitu milik Ika, membuat nama 'Elsa' yang dulu Delon sematkan panggilan itu seolah tak pernah ada.

​Mas Delon menoleh pada Elsa yang berdiri diam di samping ibu mertuanya. "Elsa, kamu sudah siap? Ayo kita berangkat." Hanya Elsa. Tidak ada intonasi kasih sayang. Hanya sapaan biasa.

​Elsa mengangguk, "Siap, Mas."

​Mereka langsung masuk kedalam mobil dan duduk di mobil: Delon menyetir, Ika di sebelahnya. Elsa duduk di belakang, diapit oleh Ibu Delon, Mertua yang selalu memperlakukannya dengan sangat baik.

Mobil jalan meniggalkan rumah mewah yang di tempati oleh Delon dan Ika, Delon bilang rumah ini hasil tangan dingin Ika yang mendekor

​Sepanjang perjalanan, Mas Delon dan Ika membahas nama bayi, nursery room, dan masa depan. Delon tertawa lepas, tawa yang tidak pernah Elsa dengar sebahagia ini selama lima tahun terakhir.

​Elsa menelan ludah dengan kasar. Ia memandang pantulan wajah Delon dari kaca spion, wajah yang kelihatan senang dan bahagia akan mendapatkan momongan momongan yang diberikan oleh wanita lain. Hatinya tersayat. Luka ini jauh lebih perih daripada nyeri Kankernya tadi pagi.

Ibu Delon merasakan ketegangan itu, meskipun ia salah menafsirkannya. Ia mengusap tangan Elsa.

​"Elsa-ku sayang, kamu adalah menantu terbaik. Ibu tahu, kamu sudah mengorbankan banyak hal, termasuk perasaanmu," ujar Ibu Delon tulus. "Ibu memanggilmu ke rumah Ika ini juga karena Ika benar-benar butuh dukungan. Dan kamu begitu tulus membantunya."

​Elsa tersenyum. "Elsa sayang Ika, Bu. Dan Elsa selalu berdoa untuk Mas Delon."

​"Itu dia. Karena kamu sangat berlapang dada, Ibu ingin kamu benar-benar nyaman, Nak. Ibu sudah bicarakan ini dengan Mas Delon.

Karena Ika sedang hamil muda dan butuh perhatian penuh dari Mas Delon, Ibu rasa, kamu harus mengalah dulu."

​Lagi-lagi kata mengalah.

​"Kamu bisa kembali fokus ke rumahmu yang di Cibubur. Atau kalau kamu bosan, kamu bisa tinggal di rumah Ibu. Dengan kamu tidak sering berada di rumah Delon dan Ika. Delon bisa fokus 100% pada Ika dan calon cucu Ibu tanpa merasa terbagi. Kamu kan sudah terbiasa mandiri, Elsa."

Elsa menegang ucapan ibu mertuanya bener-bener seperti ingin memulangkan Elsa ke keluarga nya

Ini adalah puncak penderitaan yang disamarkan sebagai kebaikan. Ibu Delon menyarankannya pindah, bukan karena benci, melainkan karena yakin Elsa tidak diperlukan lagi dalam inti kebahagiaan rumah tangga ini. Saran tulus ini seolah memberitahu Elsa bahwa ia adalah penghalang.

​Elsa merasakan tenggorokannya tercekat, air mata keterpurukan itu sudah berada di batasnya, mendesak ingin keluar. Namun, ia tak boleh membiarkannya.

​Elsa memegang tangan Ibu Delon. Ia menoleh ke depan, ke arah Mas Delon, yang sedang menatap cemas di spion.

​Elsa: "Terima kasih banyak, Bu. Saran Ibu sangat bijaksana dan tulus, Elsa tahu." Ia berhenti sejenak, mengumpulkan semua kekuatan yang tersisa. "Tapi... Elsa rasa, untuk sekarang, Elsa bisa tetap tinggal di rumah Elsa yang di berikan oleh mas Delon saja, Elsa bisa tinggal di sana sendiri kok Bu."

Delon terlihat terkejut dan lega secara bersamaan.

​Delon: "Kamu serius, Elsa? Kamu yakin kamu tidak apa-apa? Kamu tidak akan kesepian kalau aku fokus ke Ika?"

​Air mata keterpurukan Elsa mengkristal di sudut matanya, air mata yang harus ia tahan karena Delon dan Ika menatapnya. Ia tidak boleh goyah.

​Elsa: "Sungguh, Mas. Elsa baik-baik saja. Justru, kalau Elsa kembali ke rumah di Cibubur, nanti kalau ada apa-apa di sini, Elsa harus bolak-balik. Lebih baik Elsa di sini. Mas Delon tidak perlu khawatirkan Elsa. Fokus saja pada Ika dan bayinya. Ini adalah momen terpenting kalian, Mas. Elsa sudah terbiasa."

​Elsa memberikan senyum palsu paling menawan dan ikhlas yang ia miliki, senyum yang disempurnakan oleh keputusasaan dan pengorbanannya. Senyum yang membuat Ibu Delon terharu dan Mas Delon merasa sangat tenang.

​Aku adalah Istri Pertama yang menjaga benteng pertahanan terakhir. Aku harus tetap di sini. Jika aku pergi, adik-adikku kehilangan penopang, dan aku akan mati sendirian.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY