Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Aku Diabaikan Saat Setia
Aku Diabaikan Saat Setia

Aku Diabaikan Saat Setia

5.0
51 Bab
530 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Sekian lama diabaikan suami membuat Tisni kesepian. Apalagi suaminya sering membiarkannya berduaan dengan lelaki lain. Ketika Tisni memutuskan untuk meninggalkan sang suami, salahkah dia?

Bab 1 Bukti

Pintu yang menghubungkan antara kamar tidur dan tempat menjemur pakaian kubuka dengan gerakan pelan. Aku baru saja keluar dari kamar mandi yang terletak di samping tempat menjemur pakaian.

Aku terkejut mendapati Kang Oded berdiri mematung, memandangiku yang baru saja masuk ke dalam kamar. Ia berdiri tegak di depan meja kamar. Meja satu-satunya dalam kamar sempit ini, tempat meletakkan rice cooker dan keranjang kecil berisi peralatan makan yang berbilang tak sampai sepuluh. Sepasang matanya memandang ke arahku dengan sorot mata yang sulit untuk kupahami. Kemudian bibirnya terbuka dan meluncurlah ucapannya.

“Kamu selingkuh, Dik?” Kang Oded menatapku lurus-lurus.

Aku yang hendak melangkah menuju lemari pakaian, tertegun. Kuusap anak rambut yang masih basah di dekat telinga.

“Kenapa Akang tanya begitu?” Aku tatap balik matanya. Langkahku menuju lemari plastik kecil berisi aneka pakaian menjadi terhenti.

“Ini buktinya!” Kang Oded mengacungkan ponselku. Mataku mengerjap sekali.

Ponsel itu aku tinggalkan di atas kasur ketika ke kamar mandi. Mungkin tadi sewaktu aku mandi, dibacanya isi pesan-pesanku kepada Mas Rudi. Tumben ia mengutak-atik ponselku, perhatian sekali. Biasanya aku jungkir balik pun ia tak mempermasalahkan.

Aku memang tak pernah menghapus pesan dan obrolan antara aku dan Mas Rudi. Aku membiarkan riwayat percakapan itu mengendap di alat komunikasiku. Ceroboh? Bukan. Aku sengaja melakukan itu karena merasa tak perlu menyembunyikannya dari Kang Oded. Mungkin di sudut hatiku yang terdalam, aku memang ingin Kang Oded menemukan pesan-pesanku kepada Mas Rudi, agar pernikahan hambar ini segera menemui titik akhir.

Suamiku, tak pernah mencurigai aku sedikitpun. Ia tak pernah tertarik mengetahui dengan siapa saja aku mengobrol di aplikasi pesan. Ia memang membatasi pergaulanku dengan para tetangga di lingkungan perumahan ini, tapi tak pernah memedulikan ponselku. Satu hal yang jelas, aku tak menyukai sikapnya yang terkadang abai terhadap kegiatanku dan terkadang amat membatasi ruang gerak pergaulanku.

Entahlah. Aku tak tahu pasti maksud dari sikapnya. Apakah ia memang tak punya rasa cemburu ataukah ia amat memercayaiku? Sulit bagiku untuk membedakan diantara kedua hal itu. Aku menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang.

“Akang baca isi pesanku buat Mas Rudi? Baguslah jika Akang sudah tahu,” kataku santai, lalu menyandarkan punggung pada bantal yang kususun di atas kasur.

Tubuhku sangat penat. Sepulang bekerja sebagai buruh jahit di sebuah pabrik konfeksi, aku hanya ingin beristirahat setiap kali selepas jam kerja. Duduk seharian menghadapi mesin jahit dan menjahit aneka gaun dan blus membuat pinggangku rasanya kaku dan kram.

“Dik, sejak kapan kamu berubah?” Kang Oded menatapku penuh luka. Tak terdengar nada marah dalam suaranya.

“Sudah sejak lama, Kang. Akang saja yang tidak pernah perhatian,” jawabku penuh perasaan, puas akhirnya bisa mengatakan kegondokanku terhadap sikapnya selama ini.

“Padahal aku selalu percaya kamu, membebaskan kamu ketika ingin ini dan itu ....” Bahu Kang Oded turun dan suaranya menjadi lirih.

“Ya, Aku memang dibebaskan untuk berbuat apa saja. Tapi Akang juga kurang perhatian dan kasih sayang sama aku,” balasku dengan suara yang semakin melengking.

Sudah lama aku menantikan saat ini. Momentum konfrontasi terbuka yang tidak lagi menyediakan ruang buat menutupi dan memendam sesuatu. Biarlah malam ini aku ungkapkan semua kekesalan dan unek-unekku selama menikah dengannya. Biar tuntas semua rasa. Malam ini akan menjadi puncak dari titik klimaks pernikahan kami.

“Ketika kamu ingin kerja, Akang perbolehkan. Apa itu kurang perhatian?” tanya Kang Oded keheranan.

Oh, alangkah lugunya Kang Oded. Apa dipikirnya perempuan cukup dituruti kemauannya saja maka itu sudah merupakan perhatian?

“Ya. Aku senang. Tapi Akang ingat, ketika aku minta dijemput pulang selepas jam kerja pabrik? Akang malah menyuruhku pulang sendiri naik angkot,” jawabku penuh semangat. Aku menatap Kang Oded tajam. Mungkin ada nyala api kekesalan yang terpancar dari sorot mataku. Aku tak lagi peduli.

“Padahal aku sudah bilang dari malam sebelumnya, bahwa aku pulang pukul empat sore. Seharusnya, sebelum pukul empat Akang sudah menjemputku. Paling tidak ada kemauan datang sendiri, tak perlu sampai aku telepon minta jemput,” tambahku semakin bersemangat. Kang Oded menunduk.

Kelebat bayangan peristiwa yang kusebutkan terlintas jelas di dalam benak. Sore yang cerah itu, sinar matahari menyorot kuat. Aku selesai bekerja dalam kondisi yang amat lelah dan sangat ingin pulang. Aku menunggu Kang Oded di depan pabrik. Berkali-kali mengecek jam lantaran Kang Oded tak kunjung tampak batang hidungnya.

Beberapa rekan kerja melewati tempat dudukku, menyapa dan bertanya demi basa-basi dan mengucapkan kalimat pamit karena sudah dijemput terlebih dahulu.

“Menunggu dijemput, Tis?” tanya Mira. Aku mengangguk lesu.

“Aku duluan, ya.” Aku menatap punggung Mira yang pergi dengan tergesa-gesa, setelah ia melihat pacarnya sudah menunggu di depan gerbang pabrik.

Sepuluh menit berlalu. Sebagian besar rekan-rekanku yang tidak tinggal di mess pabrik sudah pulang seluruhnya. Lima belas menit terlampaui. Teman-teman yang tinggal di mess telah kembali ke mess. Aku sendirian di kursi, bengong sendirian seperti anak sekolah yang kebingungan karena jemputannya terlambat datang.

Emosi naik dari dada sampai ke ubun-ubun. Di mana Kang Oded? Aku menggertakkan gigi saking kesalnya. Di puncak kejengkelanku, aku memutuskan untuk menelepon Kang Oded. Sekali saja panggilan, teleponku langsung diangkat.

“Di mana, Kang? Aku sudah lama menunggu.” Aku langsung memberondongnya dengan tuntutan, bahkan sebelum ia sempat berkata halo.

“Menunggu? Oh, hari ini kamu enggak menginap di pabrik, ya? Maaf, Akang lupa. Hari ini ada order jahitan yang masuk dan Akang sibuk,” jawabnya tanpa rasa bersalah.

Dongkol bukan main, itulah yang kurasakan. Genggamanku pada ponsel semakin erat, saking kesalnya hatiku mendengar jawaban Kang Oded di seberang sana.

“Jadi bagaimana sekarang?” aku masih berusaha mengontrol suara meskipun jengkelku sudah sampai ke pori-pori kulit.

“Kamu pulang naik angkot saja ya, Dik? Akang betul-betul enggak bisa meninggalkan pekerjaan sekarang.”

Bagus! Enteng betul Kang Oded menyuruhku pulang naik angkot. Tanpa berkata apa-apa lagi, langsung saja kumatikan ponsel. Daripada aku mengomel panjang-pendek di telepon dan semakin menarik perhatian satpam yang mulai memerhatikanku dari balik gardu jaganya.

Bayangan itu pupus, berganti dengan pemandangan kamar sempit yang amat aku benci.

“Padahal lagi, aku hanya pulang seminggu sekali ke rumah, hari-hari lainnya aku lembur dan tidur di pabrik. Itupun Akang malas menjemputku, malah pernah Akang menyuruh Mas Rudi yang menjemputku di pabrik!” Napasku naik-turun mengatur rasa sesak di dada.

Mas Rudi teman suamiku yang sering datang ke rumah. Mereka begitu akrab hingga beberapa kali lelaki yang umurnya hanya selisih tiga tahun di atasku itu menginap di rumah kami yang bertipe RSSS, rumah sangat sempit sekali.

“Aku ini istrimu, Kang! Tapi kenapa malah menyuruh temanmu yang menjemputku? Jadi jangan salahkan aku kalau jadi akrab dan dekat dengan temanmu,” dengkusku gemas.

Salahnya sendiri membiarkan aku akrab dengan temannya, hingga akhirnya aku dan Mas Rudi pun memiliki rasa yang terlarang di dalam hati. Seperti kata orang-orang Jawa kuno, witing tresno jalaran soko kulino. Cinta hadir lantaran terbiasa.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY