Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / The Blue Eyes
The Blue Eyes

The Blue Eyes

5.0
35 Bab
121 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Kehidupan Ferdianto mendadak berubah setelah bertemu Viana, hantu noni Belanda di sebuah vila yang ditempati Ferdianto.. Kejadian-kejadian aneh dialami Ferdianto hingga membuatnya sadar bila nyawanya terancam.  Apakah Ferdianto akan selamat?  Apakah misteri utama dapat terungkap? 

Bab 1 Hantu Genit

TBE 01

Rinai hujan yang turun sejak sore hari membuat udara makin terasa dingin. Suasana di luar sangat sepi dan sunyi, yang terdengar hanyalah suara binatang malam yang saling bersahut-sahutan.

Jemariku bergerak menutup layar laptop, dilanjutkan dengan merentangkan tangan dan menggeliat hingga tulang belakang berbunyi gemeretak. Mata yang terasa lelah menagih untuk diistirahatkan, tetapi aku masih belum mengantuk dan memutuskan untuk berpindah ke tempat lain.

Aku bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu balkon kamar yang terbuka lebar. Mengayunkan tungkai hingga tiba di dekat pagar pembatas dan menyandarkan tubuh. Kedua siku diletakkan di pagar dan dagu ditumpangkan ke telapak tangan. Memandangi sekeliling yang tampak gelap, meskipun sudah ada lampu sorot di empat titik halaman, tetapi cahayanya ternyata tetap tidak mampu menembus pekatnya malam.

Kletak.

Kletak.

Kletak.

Bunyi hak sepatu terdengar dari koridor depan pintu kamar, yang diiringi dengan ketukan yang selalu bernada dan berjumlah sama, seakan-akan merupakan kode bahwa pengetuk itu memberitahukan kedatangannya.

Aku memejamkan mata selama beberapasaat, menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Membuka mata kembali sambil membalikkan badan dan jalan dengan langkah sedikit diseret menuju pintu. Sepersekian detik memegang gagang benda besar bercat cokelat itu sebelum memutarnya dan pintu terbuka.

"Hai, Mas. Aku cantik, nggak?" tanya sang tamu sambil memutar tubuhnya bak balerina.

Aku memutar bola mata dan menatapnya dengan malas, kemudian menjawab, "Iya, cantik.

Sudut bibirnya yang dipoles lipstik merah itu melengkungkan senyuman, memamerkan gigi putih yang berbaris rapi. Wajahnya yang putih tampak sedikit berbintik-bintik di tulang pipi, tetapi tetap tidak mengurangi keelokan parasnya. Rambut panjang sepunggung itu tampak diterbangkang angin kencang yang entah muncul dari mana, hal yang selalu terjadi bila dirinya mengunjungiku.

Selama beberapa saat kami saling beradu pandang, sebelum kemudian dia mengangkat alis, gaya khasnya bila ingin mengatakan sesuatu yang sudah bisa ditebak olehku.

"Kita keluar, yuk?" ajaknya dengan nada suara yang terdengar manja.

"Nggak mau, aku capek," sahutku.

"Sebentar aja. Cuma duduk di taman itu," rayunya sambil mengedipkan mata yang dihiasi bulu mata lentik dan panjang yang kutahu adalah asli, bukan palsu.

Perempuan berambut panjang itu merengut, mungkin kesal melihatku tetap bergeming untuk menolak ajakannya. Tiba-tiba dia menarik tangan kananku dengan gerakan cepat dan menggusur tubuhku hingga keluar dari kamar.

Aku sama sekali tidak menduga bila perempuan berperawakan sedang seperti dirinya bisa mengeluarkan tenaga menarik yang besar dan kuat. Sekali-sekali kaki atau tanganku tersangkut perabotan berbahan jati di sepanjang koridor. Namun, dia tidak peduli dan terus menarik.

Sesampainya di halaman dia mengajakku duduk di bangku panjang, tepat di depan kolam ikan kecil di sudut kanan. Perempuan yang kali ini mengenakan gaun merah itu menyejajarkan kaki sembari memijat betisnya.

"Makanya, jangan gegayaan pake hak tinggi segala," ledekku seraya tersenyum lebar.

"Aku cuma ingin tampil cantik dan anggun di depanmu," sahutnya sembari mendelik dan mengerucutkan bibir. Tampak lucu dan menggemaskan.

"Kenapa harus begitu?"

Perempuan itu memutar bola mata yang membuatku nyaris tak bisa menahan tawa. Sebetulnya tanpa diungkapkan pun aku sudah mengetahui alasannya, tetapi aku tetap berpura-pura tidak tahu agar bisa menggodanya lebih lama.

Sejenak suasana hening, yang terdengar hanya gemericik air dari kolam dan ditingkahi suara katak yang sepertinya berjumlah cukup banyak di seputar tempat ini.

"Mas," panggilnya.

Aku bergeming.

"Mas!" ulangnya dengan suara yang naik satu oktaf.

Aku tetap bergeming, hingga tiba-tiba dia memalingkan wajahku dengan paksa sampai kami saling berhadapan. Aku mengangkat alis saat melihat bibirnya mencebik.

"Kalau dipanggil itu harus jawab!" titahnya dengan suara ketus.

Aku tetap mempertahankan raut wajah tenang karena tahu bila emosinya itu akan cepat mereda. Perlahan aku menarik kedua tangannya dari wajah dan mengusap punggung tangan yang terasa dingin itu dengan santai.

Selama beberapa detik berikutnya kami saling menatap satu sama lain, kemudian dia memajukan wajah dan mendaratkan kecupan di pipi kananku sekilas. Perempuan itu tampak mengulum senyum sembari kembali pada posisi semula.

Tanpa sadar aku pun turut tersenyum. Merasa lucu dengan tingkah hantu yang ternyata bisa malu-malu. Seperti halnya dia, hantu perempuan bergaun merah bernama Viana.

***

Pertemuan pertama kami adalah saat aku baru menginjakkan kaki di rumah ini, sebuah bangunan besar berarsitektur khas rumah tempo dulu. Sebagian dindingnya dibiarkan polos, sementara sebagian lagi dihiasi batu-batu hitam dengan berbagai ukuran.

Pada bagian depan, pekarangan yang luasnya mungkin sama dengan lapangan sepak bola itu tampak terawat. Beberapa pohon yang tumbuh di sekitarnya tampak rimbun dan seolah-olah memberikan kesan teduh bagi setiap mata yang memandang.

Dua buah ayunan dengan tiang-tiang tinggi nan kokoh terlihat masih indah di dekat kolam ikan berukuran kecil. Di belakang ayunan tampak rimbunan pohon berukuran sedang yang bunganya tengah bermekaran dengan aneka warna yang memukau.

Seorang pria dewasa yang mengenakan kemeja hijau muda dan dipadukan dengan celana kain hitam menyambut kedatanganku di teras depan. Beliau adalah Pak Tono, seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai pengurus villa.

Di sini, beliau tinggal bersama istri dan kedua anaknya, yang juga ikut membantu merawat vila milik orang tua Farid, sahabatku. Rumah yang Pak Tono tempati merupakan sebuah paviliun di bagian samping kiri pekarangan, yang berada paling dekat dengan pintu pagar tinggi bercat putih.

Saat aku mengatakan ingin menyepi dari kesemrawutan dunia luar, dengan cepat Farid menyarankan untuk tinggal di sini. Kendatipun aku awalnya agak ragu-ragu, tetapi Farid meyakinkan bahwa tempat ini adalah pilihan terbaik dan tidak terlalu jauh dari Kota Jakarta.

Sudah hampir satu bulan aku menempati vila, dan sejak itu pulalah Viana selalu hadir di jam yang sama, pukul 00.00 dini hari.

Kletak.

Kletak.

Kletak.

Tuk. Tuk. Tuk. Tuk. Tuk.

Tuk. Tuk. Tuk. Tuk. Tuk.

"Sebentar," jawabku sambil bangun dari atas tempat tidur dan jalan menuju pintu.

Kala benda berat itu terbuka, ternyata tidak ada seorang pun di depannya. Terdorong rasa penasaran, aku melongok ke luar kamar, menoleh ke kanan dan kiri, tetapi tetap tidak menemukan sosok yang telah mengetuk pintu.

Aku mendengkus dan membalikkan tubuh. Niatku untuk menutup pintu akhirnya tertunda karena tiba-tiba merasakan ada hawa dingin dari ujung kiri koridor yang mengarah ke dapur. Bulu kuduk spontan berdiri, kian menguat kala hawa dingin itu terasa kian dekat.

Perlahan aku berbalik dan seketika mematung saat melihat penampakan seorang perempuan bergaun putih melambai yang berdiri tegak depan pintu. Wajahnya tampak pucat pasi. Rambut panjangnya berkibar tertiup angin kencang yang entah sejak kapan berembus.

Setelah berhasil menguasai diri, aku memutar tubuh kembali dan jalan menuju jendela. Menyandarkan tubuh ke kusen dengan santai. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Berusaha untuk mengabaikan sosok yang mendekat.

"Kamu nggak takut sama aku?" tanyanya dengan suara yang terdengar aneh, seperti berdengung dan bergaung.

"Ngapain harus takut?" Aku balik bertanya.

"Tapi orang lain yang melihatku pasti pada takut, termasuk Farid," jelasnya seraya tersenyum lebar.

"Farid memang penakut, tapi aku nggak."

Selama beberapa detik suasana terasa hening, yang terdengar hanya bunyi gesekan dedaunan dari pepohonan rindang di halaman.

"Namaku, Viana," ujarnya sambil melayang mendekat dan berhenti di samping kiri.

Aku menoleh dan sontak terpana. Wajahnya yang kuyakini sebagai perpaduan wajah asli Indonesia dengan wajah orang luar negeri tampak cantik. Kulit putih, alis lebat menaungi sepasang mata beriris biru, hidung mencuat tinggi di atas bibir tipis melebar. Rahang meruncing membingkai paras rupawan yang seolah-olah terpahat sempurna.

"Namaku ...."

"Anto, kan? Aku udah tau," tukasnya sebelum aku menyelesaikan ucapan.

Aku mengangguk membenarkan sembari membalas tatapannya yang tampak sendu. Kata-kata indah yang biasanya meluncur dengan lancar kini seakan-akan menghilang dan membuatku tak sanggup mengatakan apa pun.

"Aku cantik, nggak?" tanyanya penuh harap.

"Cantik," jawabku dengan lugas.

"Kalau begini, apa masih cantik?" Dia mengubah wajah dan menampilkan wajah pucat kesi dengan urat-urat bertonjolan yang membuatku terkesiap sepersekian detik.

"Kalau begitu, wajahmu jelek sekali!" sungutku, yang berhasil membuat Viana tertawa melengking, sebelum sosoknya memudar dan akhirnya menghilang seiring dengan munculnya kabut tebal.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 35 Terlunta-lunta   11-03 19:05
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY