Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Dinara - Ganti Suami
Dinara - Ganti Suami

Dinara - Ganti Suami

5.0
20 Bab
2K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

"Calon istri saya kabur, Mbak." "Sama dong kayak saya." Dinara berbinar. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini mendengar seseorang ditinggal pergi oleh kekasihnya. Entah karena merasa butuh teman, atau dia punya maksud lain yang bisa jadi jalan keluar atas semua persoalan ini layaknya memperlakukan sampah daur ulang. Dia tidak tahu mana yang paling benar, tapi yang jelas kali ini Dinara merasa ... senang. Hening untuk beberapa waktu, bahkan detak jarum jam saja rasanya hilang dari pendengaran. Dinara menatap netra jelaga di hadapannya, dia mencari sesuatu meskitidak tahu apa itu. Yang jelas gelenyar di dadanya membuat Dinara ingin mengutarakan maksud, ada dorongan setelah sebuah ide terlintas di kepalanya begitu saja. "Gimana kalau nikahnya sama saya aja, Mas? Biar nggak mubbazir itu paket pernikahan yang udah dipesan." "Ya?" Orang itu terdengar kaget. "Ni ... kah?" tanyanya memastikan. "Iya, Mas. Nikah yuk sama saya!"

Bab 1 Lamaran Dadakan

Udara siang itu panas sekali, Dinara merasa Jakarta dan Doha nyaris tidak ada bedanya meski jelas kota di bagian negara timur tengah sana berkaitan erat dengan gurun. Jakarta mungkin tidak sepanas itu, tapi ada hawa lain yang membuat udaranya satu tingkat lebih menyiksa dibanding kota dengan padang pasir.

Apa lagi namanya kalau bukan kenangan menyakitkan dan sederet problema yang menguras kewarasan? Dinara tidak tahu bagaimana mendeskripsikan sesuatu dengan baik. Yang jelas sekarang hatinya sedang tidak baik-baik saja.

“Fix!” Wanita akhir dua puluhan itu menghentak sesuatu yang ada di tangannya sekarang ke atas meja. Dia menipiskan bibir, meraba-raba sesak di dada yang nyatanya sudah tidak ada, dan membalas tatapan orang di hadapannya saat ini.

“Mbak Di—”

“Gue nggak minta apa-apa, Vi. Tolong atur pembatalan aja, semuanya, dan lelang gaun pengantin gue kalau bisa.”

Wanita di depannya menatap Dinara iba, padahal dia jelas-jelas tahu kalau Dinara sangat benci tatapan kasihan itu. Hidupnya baik-baik saja, dia masih bernapas dengan benar sampai detik ini dan tidak kehilangan apa pun iwal dari seorang pecundang sialan serta beberapa nominal uang—jangan terlalu dipikirkan, jadi semuanya tidak apa-apa. Dinara baik-baik saja.

Atau dia hanya tengah membohongi dirinya sendiri.

“Bu Melia udah tahu?” tanya wanita itu—Violeva namanya, dia berusia lebih muda, beberapa tahun di bawah Dinara dan memiliki kehidupan yang baik, sekilas terlihat sempurna.

Dinara menggeleng. “Tapi gue yakin mama pasti ngerti arahnya ke mana.”

“Gue kira lo udah obrolin ini sama bu Melia baru ambil keputusan buat batalin semuanya.” Violeva menghela napas berat, tampaknya ingin memberi empati tapi mereka tidak cukup dekat untuk saling berpeluk erat. “Siapa tahu masih ada kesempatan, Mbak.”

Kesempatan? Kesempatan macam apa lagi?

Menyebalkan adalah ketika pulang ke tanah air setelah merantau bertahun-tahun tanpa hasil. Sebagian besar uangnya raib, dibawa kabur oleh mantan kekasihnya sendiri. Dan rasanya tidak ada satu kata baik apa pun untuk mendeskripsikan hidup sialannya ini. Tidak ada kesempatan, tidak akan pernah. Mantan kekasih Dinara adalah sampah paling buruk di dunia.

Sementara kesialan itu belum cukup untuk membuat hidup wanita ini tersiksa, kenyataan lain lebih menamparnya lagi.

“Dia kerja sama lo?” Dinara bertanya sembari menunjuk potret seorang gadis cantik di katalog butik yang tengah didatanginya saat ini.

“Freelancer, Mbak.” Violeva menjawabnya dingin. “Kenapa?”

“Nope.”

“Pacarnya Danish, lo tahu, kan?”

Dinara mengangguk samar, dia tahu. Gadis dalam buku tebal itu pernah ia awasi beberapa bulan yang lalu karena tengah dekat dengan adik kandungnya.

“Namanya Sayna.”

Sialnya, Sayna adalah saudara sepupu dari lelaki bajingan itu. Dan Sayna mengencani adiknya. Luar biasa sekali hidup ini untuk seorang Dinara. Bisakah Danish cari orang lain saja? Jangan Sayna, mari tidak menjalin hubungan lagi dengan lelaki itu dan sekutunya.

Seakan belum cukup dikhianati, uangnya dibawa lari, pernikahannya dibatalkan, kini kenyataan lain menamparnya kalau Sayna dan Haikal—mari perjelas namanya mulai saat ini, adalah saudara sepupu. Dan Dinara amat tidak senang dengan kenyataan itu.

“Gaun lo nggak bisa jadi penghuni butik ini, terlalu mewah.” Violeva menginterupsinya sembari menggelengkan kepala. “Gaun Elie Saab mana mungkin gue sewain di bawah 20 juta, Mbak.”

“Sewain di atas 20 juta kalau gitu.” Dinara menjawabnya datar. “Balikin aja duitnya, itung-itung lo beli gaun dari gue, buat buang sial juga.”

“Tapi bukannya malah yang pake gaun ini ntar ketiban sial? Ketularan sial dari lo?”

Kadang-kadang Dinara punya hasrat untuk menguncir mulut Violeva yang sering asal bicara. Oke, itu benar, tapi tolong jangan mengatakannya terang-terangan seperti itu. apa Violeva bahkan paham? Bukankah sesama wanita biasanya saling menjaga perasaan?

“Bakar aja, Vi.”

“Dih, ngambek.”

Dinara memutar mata. Banyak yang ingin dia katakan sebenarnya, soal kandasnya hubungan dengan Haikal, soal betapa terluka, lelah dan sakit perasaannya saat ini, soal ibunya, adiknya, dan masih banyak lagi. Namun dia tidak pernah benar-benar memiliki seseorang yang bisa disebut teman, Dinara terbiasa sendiri. Dan kesepian bukan lagi hal menyedihkan baginya, saking dia terbiasa.

Pasti menyenangkan jadi Violeva, dia punya teman bergaul yang setia, dia sudah punya suami di usia muda, punya anak perempuan yang menggemaskan, punya usaha sesukses butik ini, Violeva punya segalanya untuk ukuran wanita berusia pertengahan dua puluh. Hidupnya sempurna, tidak seperti Dinara si perawan tua.

“Selamat siang.”

Dua wanita itu menolehkan kepala ke arah pintu butik yang terbuka. Dari sana, sosok pria berkemeja hijau Arthicoke yang menggulung lengannya hingga ke siku, memadu busananya dengan celana bahan dan sabuk hitam kulit yang menawan mendekat ke arah mereka. Sosoknya suami-able sekali, tapi jangan berharap banyak pada pria-pria tampan yang menginjakkan kaki ke butik ini.

Sebab butik Violeva adalah butik khusus jual-beli-sewa gaun pengantin, yang mana tentu hanya orang-orang ingin menikah saja mengunjunginya. Kesimpulan yang bisa ditarik di sini, pria-pria matang sempurna dengan kharisma suami-able itu tentu sudah ada yang punya. Kecuali Dinara berniat jadi pelakor, mungkin dia bisa dapat salah satu dari mereka.

Setelah ini agaknya ke Gramedia dan membeli buku panduan merebut pasangan orang terdengar seperti ide yang cukup brilian.

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya Arya.” Pria itu menjulurkan tangan dan berjabat dengan Violeva. “Ada yang mau saya evaluasi terkait reservasi paket pernikahan atas nama Diana.”

Mata Violeva membola, kemudian mereka bergeser ke meja kerjanya dan duduk berhadapan. Wanita itu sempat memberi isyarat agar Dinara menunggu untuk sesaat sementara dia berbicara dengan klien, dan rencananya Dinara memang akan segera pergi. Dia harus ke suatu tempat untuk menyegarkan pikiran, membeli beberapa helai baju sepertinya tidak buruk demi mengusir rasa bosan.

“Saya minta semua proses yang sedang berjalan dihentikan.”

Dinara berhenti bergerak, padahal harusnya dia pergi dari sini. Di sudut kiri butik itu dia bisa menyaksikan Violeva dengan tampang seperti habis kemalingan uang miliaran tengah menutup mulut, tampak sangat gusar. Dan ekspresinya membuat Dinara semakin bernafsu untuk menguping.

“Kami sudah melakukan full payment di muka, jadi—”

“Saya nggak bisa kembalikan kalau itu maksud Mas Arya datang ke sini, semua vendor sudah kami bayar sebagai pengikat perjanjian. Dan ini satu bulan lagi, Mas. Gimana bisa ini dibatalkan begitu aja?”

Orang yang dipanggil mas Arya itu terkekeh kecil, bahunya sedikit bergerak, sayang sekali Dinara tidak bisa melihat bagaimana ekspresinya saat ini.

“Calon mempelai saya kabur, Mbak Vio. Jadi percuma acaranya tetap dilangsungkan, saya nggak bisa menikah sendirian.”

Matanya membeliak. Kabur? Calon pengantinnya kabur H-30 hari pesta pernikahan? Dan dia baru membatalkan acara di saat-saat terakhir seperti sekarang? Dinara bisa membayangkan bagaimana sibuknya Violeva mengurus ini dan itu lalu tahu-tahu acaranya tidak jadi dilangsungkan. Benar-benar mubazir.

“Mas Arya—”

“Saya mau membatalkan pemesanan paket pernikahan atas nama Diana, itu saja.”

Lelaki itu gagal menikah, sama sepertinya.

Kebetulan macam apa rupanya?

“Maaf kalau saya berlebihan dengan mengutarakan masalah saya.”

“Oh, nggak, Mas. Nggak. Saya yang justru harusnya minta maaf kare—”

“Mas, kalau boleh tahu... kenapa dibatalkan?”

Siapa yang bicara barusan? Benarkah itu Dinara? Dia bertindak impulsif dan berjalan mendekat ke arah lelaki itu tanpa sempat ia sadari lebih dulu, tahu-tahu menyerobot obrolan di tengah-tengah, seperti wanita tidak punya sopan santun. Tidak tahu malu. Dan sekarang dua orang yang sibuk terlibat obrolan bisnis tadi beralih menatapnya. Dinara refleks menghadiahkan senyum terprogram yang spesial ala pramusaji martabak Rosalinda langganan ibunya.

Lelaki itu membalas, dia menyunggingkan senyum tipis penuh arti untuk mengubur jiwanya yang patah hati. “Calon istri saya kabur, Mbak.”

“Sama dong kayak saya.” Dinara berbinar. Dia tidak pernah merasa sebahagia ini mendengar seseorang ditinggal pergi oleh kekasihnya.

Entah karena Dinara merasa butuh teman, atau dia punya maksud lain yang bisa jadi jalan keluar atas semua persoalan ini layaknya memperlakukan sampah daur ulang. Dia tidak tahu yang mana yang paling benar, tapi yang jelas kali ini dia merasa... senang.

Senang atas rusaknya hubungan orang? Kenapa terdengar jahat sekali? Tapi bukankah pria ini jadi bisa berteman dengannya sebagai sesama calon mempelai patah hati?

Hening untuk beberapa waktu, bahkan detak jarum jam saja rasanya hilang di pendengaran. Dinara menatap netra hitam di hadapannya dalam-dalam, dia mencari sesuatu meski tidak tahu apa itu. Yang jelas, ada gelenyar di dada yang membuat Dinara ingin mengutarakan maksud, ada dorongan setelah sebuah ide terlintas di pikirannya begitu saja, secara tiba-tiba.

“Gimana kalau nikahnya sama saya aja, Mas? Biar nggak mubazir itu paket pernikahan yang udah dipesan.”

“Ya?”

Dinara pasti sudah gila karena dia tidak bercanda dan justru bersiap untuk mengulanginya. Sebelum—

“Mbak!”

Sebelum teriakan itu mengganggu prosesi lamaran dadakan ala kadarnya barusan.

Violeva melotot sambil berdiri dari kursinya. “Lo eling, Mbak! Nggak usah macem-macem deh! Gue aduin lo ke bu Melia.”

Dinara melirik sebelah mata. Apa Violeva pikir dia setakut itu pada ibunya? Kenapa dia bahkan memakai ancaman murahan seperti itu? Melia? Hanya karena Melia dia pikir Dinara akan mundur begitu saja? Violeva sedang bercanda namanya.

“Hm... Mbak begini, sepe—”

“Mas, udah nggak usah didengerin. Ini teman saya memang agak-agak nggak waras otaknya jadi jangan diambil hati dan diseriusin kata-katanya barusan. Dia cuma bercanda, nggak mungkin soalnya orang ya—”

“Gue serius,” potong Dinara cepat sambil mendelik ke arah Violeva tanda tidak senang. “Jadi gimana, Mas?”

“Hah?” Lelaki di hadapannya menganga. “Mbaknya ngajakin saya bu...buat...”

Dinara mengangguk cepat sambil menyunggingkan senyum terbaiknya. “Saya ngajakin Mas-nya buat nikah.” Wanita itu memberikan cengiran lebar karena merasa ini adalah pemikiran paling luar biasa sekaligus paling membahagiakan untuk diutarakan.

“Ni...kah?”

“Iya, Mas. Nikah yuk, sama saya.”

****

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 20 The Winner   05-12 18:07
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY