ngsung terbuka. Ibu muncul sambil menggen
h cepat menghampiri mereka. "
nya polos, meme
eringat di pelipis. "Tadi pasang tira
ambil terkikik. "Tante, aku layak dapet boba
das dua ya, buat jasa bersih-b
ya dengan sistem cicilan, bilang ini investasi jangka panjang untuk keluarga k
Mas Aldo ingin kami punya rumah sendiri. Sempat ditawari tinggal di rumah o
belakang kecil buat Suci main, dan garasi cukup untuk dua mobil. Lokas
buat Suci, ya," ujar Ayah sambil
bersorak, "A
u erat. Hidup ini, meski tak
ada satu orang yang membuatku tak nyaman. Satpam brewokan, be
melipat baju, aku
ih sama satpam y
g tinggi besar
opan banget. Kayak-ya,
Pak Dedi. Orangnya baik kok. Mun
h. Rasanya gak
ang nggak biasa disapa suka bingung harus gima
pindah ke sini, aku memang belum ban
ewat pos, aku sempatkan
k," sapak
langsung tersenyum le
buat suasana lebih bersahabat. Apalagi, katanya Bang SaDedi duluny
mua petugas. "Kita tinggal di komunitas. Harus ru
umah yang bagus atau lokasi yang strategis, tapi juga tentang ba
mpleks, aku mulai membiasakan diri bertegur sapa
i, P
ikapnya lebih ramah sekarang, tapi pandangan m
inas ke luar kota. Kadang tiga hari, kadang se
nyi kerikil di atap. Langkah samar dekat
ucing," gumamku, beru
ah Ibu, lanjut ke kantor. Syukurlah kerjaan lagi longgar. Pulang pun
Akhirnya, Ma
u, buat Suci... buat Pak Dedi j
?" aku
b. Kita butuh ling
mengayuh seped
ldo, buat Bapak dan teman-teman,"
banyak, Bu. Wah,
Pak. Emang ud
Bu?" sapa y
a rewel kalau sama ayah
Pak Dedi mulai terasa leb
rumah, aku ceri
nitip sa
il tersenyum. "Orang tuh ngikutin
angat. Suci sudah lelap. Hanya kami berd
mendekap. Tapi baru saj
ek
dari j
berhenti. "Pa
engenakan celana
rumput di bawah jend
i sini barus
gera
-mana. Kunci p
nit kemudia
edi. Katanya dia akan
cara. Aku hanya memeluk Suc
rumah ini benar-benar jadi tempat y
eorang yang sengaja mengintip kami. Jejak rumpu
isa masuk kompleks yang tertutup tembok tinggi. Tapi saat suamiku melapor, Pak Dedi hanya bila
ragu. Benarkah i
r kota, tapi aku mulai merasa tenang. Pak Dedi pun terlihat lebih ram
warkan agar anak kami diasuh oleh istrinya. Awalnya aku enggan-aku belum
Sesekali, ia membawa anakku bermain ke rumahnya di balik tembok kompleks. Ia pendiam, penurut
dimadu. Istri kedua Pak Dedi, Indri, jauh lebih muda-hampir seusiaku-dan dulu sempat hamil sebelum menikah. Sejak it
lanja lebih untuk sekedar menambah uang jajan anaknya. Ketika membayar upahnya pun, aku tak keberatan membe
bantu-bantu. Keduanya laki-laki dan anaknya memang rajin-rajin, memilik paras wajah yang enak dipandang
*