/0/16042/coverbig.jpg?v=4f46f57fdf810e6e9038a4e2d9aa583f)
Khusus bacaan yang sudah punya ranjang sendiri, kalau masih numpang sama ranjang orang lain, sebaiknya abaikan cerita ini. Jadi, sebelum membaca kisah ini, mohon dipastikan dulu ranjang yang kamu pakai memang benar-benar bukan ranjang pinjaman.
Lamunan Melia seketika ambyar karena ada gedoran keras pada pintu rumahnya.
"Demi Tuhan, Mel! Kamu pasti tidak akan percaya apa yang baru saja terjadi!" cerocos Widia seperti petasan yang dibakar begitu Melia membukakan pintu untuknya.
"Wah! Gosip panas nih? Pastinya lumayan bagus. Kamu belum pernah bersemangat seperti ini sejak tahu Irzan ganteng itu ternyata punya kekasih sesama lelaki, hihihihi," jawab Melia sambil terkikik.
"No! aku sudah melupakan dia! Tapi ini masih tentang brondong juga! Astaga Mel, aku masih tak bisa percaya apa yang baru saja kulihat. Mataku masih berasa kelilipan, oh my God!" Widia makin berapi-api.
"Oke kita ngobrol di dalama aja," ajak Melia sambil menarik tangan Widia, dan mereka pun bergerak menuju ruang keluarga.
"Nola kemana, Mel?" tanya Widia sambil melangkah ke dekat kulkas.
"Lagi main di rumah Bi Asih," jawab Melia sambil duduk di tepi sofanya.
"Ampe kehausan gini aku, Mel," ucap Widia sesaat setelah kembali ke sofa sambil memegang segelas air putih, lalu duduk di samping sofa.
"Isi kepalamu sepertinya mau pecah deh. Ceritain dong ada apa, sih?" Melia mesem-mesem, geli dengan tingkah sahabatnya yang selalu berapi-api dalam merespon sesuatu. Bahkan jika itu sangat receh.
"Gini, aku barusan pergi ke tempatnya Bu Nia, tetangga kita yang baru itu. Maksudnya buat narik uang arisan, soalnya dia kan udah daftar."
"Ya."
"Oh my God. Ternyata selera meubel dan perabotannya sangat buruk, Mel!" Widia membelalakan matanya sepertinya teramat kaget.
"Hmmm lantas?" Melia sedikit mengernyitkan dahi, walau sudah sangat biasa dengan gaya sahabatnya yang terkadang super lebay.
"Nah, aku kan diterima sama Bu Nia, ngobrol bentar, kemduian aku diajak ke ruang makannya. Di sana ada meja makan bulat yang atasnya pake kaca. Lalu kita duduk di sana, dan aku membuka catatan arisan untuk menunjukkan dan sekaligus mengatakan kalau hari ini, dia wajib bayar."
"Oh, Jadi kamu melihat kalau mereka punya meja makan bulat kaca yang sangat buruk. Lantas kamu ke sini hanya untuk menceritakan itu? Pentingnya apa, Bestie?" Melia mulai sedikit mencibir mengejek kelebayan bestienya itu.
"Dengerin dulu, Bestie. Bukan meja makan yang aku lihat!"
"Lantas apa dong?"
"Nah, Bu Nia ngambil uang buat bayar, sambil manggil Kelvin, suaminya yang brondong itu. Mereka lantas membaca catatanku dan menyetujuinya. Kelvin saat itu masih memakai jubah mandi warna putih, rambutnya pun masih basah, mungkin baru keluar dari kamar mandi." Widia menjeda ucapannya dengan meneguk minumannya.
"Ya, lantas." Melia mulai sedikit penasaran.
"Kelvin duduk di seberangku, dan saat dia mengambil catatan itu, aku sedang melihat ke bawa menembus meja kaca itu. Kemudian Kelvin maju ke depan seraya membuka kakinya dan jubahnya tersingkap ke samping! Dia bahkan tidak memakai celana dalam. Dan aku langsung melihat ada yang menggantung di sana, Mel!" seru Widia sambil kembali membelalakan matanya.
"Hah!" Melia ikut tersentak.
"Maksud aku, saat dia bergerak itu, yang tergantungnya seperti diayun-ayun maju-mundur. Oh Tuhan! Itu bentuk dan ukurannya seperti pisang ambon itu, Mel!" jelas Widia sambil menunjuk pisang ambon yang ada di meja makan.
"Astaga. Kamu melihatnya langsung?" Melia kian tersentak.
"Hanya beberapa detik sih. Maksudnya, aku sebentar saja melihatnya karena malu."
"Ya, melihatnya hanya beberapa detik, tapi cukup lama menceritakannya. Kamu bahkan bisa ingat kalau itu terayun maju-mundur seperti pisang ambon ya? Dasar gilingan!" sergah Melia kesal.
"Hahahahaahaha!" Dan mereka pun tertawa terpingkal-pingkal.
"Apa Kelvin tahu kamu melihat pisang ambonnya? Bagaimana kalau Bu Nia juga tahu, kamu merhatiin pisang suaminya, Widia?" tanya Melia setelah tawanya mereda.
"Aku rasa tidak."
"Baguslah. Tapi itu mungkin tidak sebesar yang kamu pikirkan. Maksud aku, kamu kan hanya sebentar melihatnya. Jadi tidak benar-benar mengetahui jika itu sebesar pisang ambon itu, hahahaha." Melia pun ikut-ikutan menujuk pisang ambon yang asli yang ukurannya memang begitu besar, dan dia tertawa geli.
"Mel, aku emang melihat punya Kelvin itu cuma sekejap, tapi kejadian setelah itu yang membuatku tertegun dan jadi kehausan begini!" Widia kembali menegug minumnya.
"Memang ada kejadian apa setelahnya?" Melia kembali melongo.
Widia lalu menarik tangan Melia ke dekat jendela dapur yang gordengnya sudah tersingkap.
"Nah!" seru Widia tiba-tiba, "Kamu kenal siapa brondong yang pake celana pendek biru itu? Dia anak kost barumu bukan?" lanjut Widia sambil menunjuk dua remaja yang sedang ngobrol sambil duduk di teras depan kamar mereka.
"Yang celana biru, Jovan. Ada apa dengan dia?" Melia balik bertanya.
Widia menarik tangan Melia untuk kembali duduk di sofa. "Aku kan pulang dari rumah Bu Nia itu lewat belakang rumahmu. Karena tiba-tiba kebelet pipis, maksud aku mau numpang di kamar mandi belakang yang biasa dipakai anak-anak kostmu. Ya, aku pikir pasti sepi, soalnya mereka pada kuliah kan."
"Hmmm, and then?" Melia makin tak sabar.
"Begitu aku mendekati kamar mandi, di sana ada yang sedang kencing sambil berdiri. Dia memelorotkan celana pendeknya hangga pahanya. Dan bahkan tidak menutup pintunya dengan baik. Kamu tahu apa yang kulihat, Mil?" Pertanyaan Widia dijawab dengan gelengan kepala oleh Melia.
"Pisangnya Jovan ternyata lebih besar dan lebih panjang dari miliknya Kelvin!"
"Hah!" Melia makin terbelalak. "Kamu lihat langsung punya Jovan?" bisik Melia tak percaya.
"Yes, aku bisa pastikan itu. Karena cukup lama melihatnya, sampai kami sama-sama tersadar dan malu. Maksudnya aku yang malu. Kemudian aku bergegas ke sini. Dan sekarang, aku kebelet pipis lagi, hahahaha," terang Widia sambil beranjak dari duduknya dan bergegas masuk ke kamar mandi.
"Sudah kuduga, dasar gilingan!" gerutu Melia.
Widia berusia dua tahun lebih tua dari Melia. Dia pengagum brondong ganteng, namun sejauh ini belum pernah terlibat affair dengan lelaki manapun, kendati suaminya sudah tua dan kurang perkasa. Widia hanya menjadi secret admirer buat brondong-brondong yang dia perkirakan punya senjata gedong, karena milik suaminya jauh dari kata besar.
"Punya Jovan itu sebenarnya bukan pisang lagi namanya, tapi terong ungu, Mel!" bisik Widia setelah kembali dari kamar mandi. Melia kembali hanya tersenyum dan jantungnya mulai sedikit dag-dig-dug tak karuan.
Ketika Widia sedang di kamar mandi, Melia kembali menyempatkan mengintip Jovan yng sedang ngobrol serius dengan Decky, teman kostnya. Sebenarnya Melia juga sempat beberapa kali melihat Jovan dalam keadaan seronok, hanya memakai kolor atau boxer saat menjemur dan mengangkat cuciannya. Melia bahkan masih ingat, sebesar apa tonjolan selangkangan Jovan kala itu. Tidak salah jika Widia mengatakan seperti terong ungu.
"Jaga baik-baik tuh, Mel. Jovan itu brondong kualitas super yang udah langka. Kalem, ganteng, gedong lagi. Hihihi!" pungkas Widia sebelum berpamitan dan hendak keluar dari rumah Melia untuk melanjutkan kegiatan ngabragnya,
"Eh, emangnya kamu udah pernah lihat punya Decky?" Melia berbisik sebelum Widia benar-benar keluar dari rumahnya.
"Belum sih, tapi aku rasa, sulit mencari bandingannya buat yang Jovan. Decky emang badannya lebih alteltis, secara kan usia dia juga lebih matang ya. Tapi sepertinya punya Jovan emang beda, Bestie!" balas Widia sangat yakin.
"Kamu pernah lihat punya Decky?" Widia balik bertanya.
"Belum pernah. Dia kan udah jarang ada kostan, sibuk sama skripsinya."
"Eh, tapi penasaran juga ya, jadi pengen lihat punya Decky, hihihi."
"Gak sekalian diintip juga punyanya David, Ilham dan Dody? Hihihi." Melia mengabsen anak kostnya yang lain, sambil memegangi perutnya yang sedikit sakit.
"Dasar gilingan! Hahahaha" umpat Widia sambil tertawa ngakak.
"Yang lainnya, biar ibu kostnya aja yang ngintip. Aku sih cuma penasaran sama punyanya Decky. Soalnya yang Jovan kan udah lihat tadi. Hhahahaha!" Tawa Widia pun terbawa sampai dia pergi menjauh dari rumah Melia.
Jika berpikir Widia dan Melia adalah sepasang ibu rumah tangga yang genit dan mesum, tentu tidak terlalu benar. Tidak seperti itu, mereka dua sahabat dekat yang biasa saling berbagi cerita, namun masih dalam tarap kewajarannya. Tak pernah mereka bicara vulgar di depan orang lain, hanya pada saat berdua saja mereka bisa bercerita dengan sangat mendetail.
Waktu terus berlalu siang berganti malam. Tak terasa waktu sudah menunjukan jam sepuluh. Nola putri Melia pun sudah sejak tadi terlelap dalam tidurnya. Melia sendiri sudah mulai ngantuk, namun tak bisa memejamkan mata karena didera perasaan gelisah.
Diki, suaminya belum pulang dari kantornya dan sama sekali tidak bisa dihubungi. Bukan sekali ini, Diki Dirgantara telat pulang, namun selalu memberi kabar atau setidaknya mudah dihubungi.
Ketika kegelisahan Melia sudah kian memuncak, tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponselnya dari nomor yang tak dikenal.
"Selamat malam. Betul ini dengan Ibu Melia Nagita, istrinya Bapak Diki Dirgantara?" Sebuah suara tegas dan berwibawa langsung menyapa Melia saat hubungan telah terkoneksi.
"Ya, saya sendri Melia Nagita, Pak. Maaf dengan siapa saya bicara?"
"Saya Bripka Hendra Irawan, anggota kepolisian sektor Cintarasa. Maaf bila menggangu ibu malam-malam begini."
"Polisi? Ada apa Pak?" tanya Melia dengan jantung yang mendadak berdebar-debar.
"Begini Bu, Kami mau menginformasikan Pak Diki Dirgantara suami ibu, saat ini sedang menjalani pemeriksaan di Kantor Polisi"
"Hah! Ada apa dengan suami sya, Pak?" Melia berseru setengan berteriak.
"Maaf, suami ibu terjaring dalam operasi penyakit masyarakat yang kami adakan pada malam ini. Beliau tertangkap tangan sedang berada di sebuah kamar penginapan melati dengan seorang wanita yang bukan istrinya."
"Astagfitullah, Mas Diki!" Melia kehabisan kata-kata, mulut menganga, mata terbelalak.
"Untuk keterangan lebih lanjut, ibu bisa segera datang ke Kantor Polsek Cintarasa, di Jalan Pembangunan Raya, Lingkar tiga."
"I...i..iya Pak, sa...saya akan segera ke san..sana. Selamat malam, Pak."
"Selamat malam, Bu Melia, kami tunggu dan mohon tetap berhati-hati di perjalanan."
Jiwa Melia seketika terguncang dan dalam sekejab terasa runtuh. Masih tak percaya dengan semua yang baru saja didengarnya. Sekujur tubuhnya mendadak lemas hingga dia terjatuh duduk di sofa ruang tamu dengan air mata yang yang tak bisa lagi dibendungnya.
Sedih, marah, kecewa dan bingung, semua bercampur aduk dalam hati dan pikirannya. Tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Ya, Allah ujian apa yang sedang Engaku timpakan kepada keluarga kami?" tanya Melia dalam sedu-sedan tangisnya.
Cukup lama Melia bergelut dengan ratap tangisnya, hingga akhirnya dia bisa kembali menenangkan dan menguatkan dirinya. Walau masih dengan kepanikan dan bingungan yang belum sepenuhnya sirna, Melia memutuskan untuk segera berangkat ke kantor polisi agar segera mendapat kejelasan nasib suaminya.
'Jovan!' seru Melia dalam hati.
Ya, nama itulah yang terlintas di benaknya. Dan dengan mata yang masih sembab, Melia mempersiapkan segalanya, termasuk menggendong Nola, putri kecilnya yang masih tertidur lelap.
^*^
GODAAN LIAR SANG USTAZAH Di balik sosoknya yang anggun, santun, dan religius, Riana adalah gambaran wanita sempurna di mata banyak orang. Istri seorang pengusaha sukses, ibu dari dua anak lucu, dan pemilik rumah megah di tengah desa yang sejuk. Warga memanggilnya "Bu Ustazah"-bukan karena titel, tapi karena sikap dan tutur katanya yang penuh teladan. Namun di balik hijab dan keheningan dzikirnya, ada badai yang tak pernah reda. Arga, suaminya, kini tak lagi bergairah-bukan hanya dalam urusan ranjang, tapi juga dalam menatapnya. Riana haus, tapi bukan hanya pada cinta. Ia haus pada perhatian, pada sentuhan, pada rasa yang bisa membuatnya merasa hidup kembali. Ketika rumah tak lagi jadi tempat berlindung, dan wajah-wajah muda di sekelilingnya mulai menyapa dengan senyum berbeda-dari sopir tampan, pegawai toko yang nakal, hingga lelaki tua kharismatik yang selalu dipuja... Riana mulai kehilangan kendali. Ini bukan sekadar cerita tentang godaan. Ini adalah perang batin seorang istri-antara kesetiaan dan hasrat, antara norma dan kejujuran pada dirinya sendiri. Karena bahkan seorang "Bu Ustazah", bisa saja jatuh dalam godaan paling liar... jika ia terus dibiarkan merasa sepi.
“Good, kamu juga bisa mengelaborasi tugas itu, yang penting misi utama tidak terabaikan. Ingat kita hanya waktu maksimal tujuh bulan!” “Siap komandan!” “Kamu mesti tahu bahwa Madam Elva tidak sembarangan ngambil anak buah. Dia bukan germo kelas bawah yang menipu anak gadis di kampung buat dijual di kota. Ya, mungkin dia pernah atau masih juga begitu sih, dengar-dengar jaringannya menyediakan buat semua pangsa pasar.” Nikita masih terdiam menyimak. “Itu nanti kamu cari tahu saja. Yang jelas banyak anak buahnya itu high class, dan punya profesi utama bukan hanya sebagai pelacur: Ada yang masih mahasiswi, wartawan, sekretaris, perawat, atau malah istri orang yang diabaikan suaminya. Kamu bisa paham kan tipe seperti apa orang-orang yang bekerja sama dengan kamu nantinya.” Kompol Rudy menambahkan,
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Seorang gadis SMA bernama Nada dipaksa untuk menyusui pria lumpuh bernama Daffa. Dengan begitu, maka hidup Nada dan neneknya bisa jadi lebih baik. Nada terus menyusui Daffa hingga pria itu sembuh. Namun saat Nada hendak pergi, Daffa tak ingin melepasnya karena ternyata Daffa sudah kecanduan susu Nada. Bagaimana kelanjutan kisahnya?