h ba
rkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang du
kamu. Aku an
ik bening berisi gamis dan jilbab dengan m
akutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembuny
? Aku udah lihat s
rteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahkyang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku-Baga
cari mat
ram tangan kananku yang berusaha mel
aga sampai terjungkal ke belakang. Dadaku naik
n menguncinya. Di sana aku kembali menangis putus asa. Guyuran air membasahi
aga dan pingsan untuk kedua kalinya. Begitu terbangun, aku ada
ah sadar
ntas di kepala adalah kenangan tiga tahun yang lalu. Sekarang a
an, ternyata memang demam. Kenapa
ya saat pintu kamar terbuka. Sosok pria dengan jak
imut untuk pergi dari sana. Sayangnya, kepalaku terasa begit
kembali. Saya yang
O
idak percaya dengan
....
asa sakit luar biasa kurasakan di tanga
kter butuh dua minggu sampai sembuh t
tangan sampai pergelangan. Sepertinya selain kepala,
u. Sontak rahangku mengerat, ingin mengumpat. Namun, aku masih menaruh hormat
sa melakukan apa pun. Pintu tertutup sempurna, menyisakan pria
ekeh, sengaja menggodaku de
tapi masih bisa terdeng
. Kamu makin canti
otot ke arahnya. Dia justr
e me
itu juga, aku menghempasnya sekuat tenaga. Degup jantungku berdetak kencang seketika.
emam. Aku ngg
tu aku ya
ialnya, dia sama sekali tidak menangkap tubuhku, membiar
di kepala, bisa d
h
ang barusan kulakukan memang tidak dipikirkan baik-baik,
sambil berjongkok di hadapanku, membawa soto yang dibelikan Renata beb
harus makan dulu. Jang
mati sekalipun,
" titahnya dengan s
muka, tidak m
Kalau kamu keras kepala, bukan nggak mungkin
aman untuk membuatku menuruti permintaannya. Sayang sekali, aku bukanla
ng dinding, kursi, dan benda apa saja yang ada, aku berhasil keluar kamar d
keras k
at, masih membawa
tanyanya dengan suara yang lebih be
besok pagi dibandingkan makan di hadapannya. Sayang sekali, perutku just
ebaliknya, aku bisa lakuin apa aja yang nggak pern
a. Aku masih bisa makan
in b
k. Taru
tawa. Aku semakin
mu-lut ke mu-lut." Dia sengaja meng
ta
angannya dan meletakkannya di meja. Tubuhku beringsut turun, duduk di
eleo dua-duanya biar kamu nggak punya a
kalimat apa pun dari mulutnya. Namun, karena kurang hati-hat
h, p
mendudukkanku di atas toilet duduk yang tertutup. Tangannya segera menghidupkan
basah. Dia refleks mengusap perutku, menyingkirkan sisa makanan yang masih menempel
kal
an dengan itu, kesadarannya pun terkumpul sempurna. Sebagai pria dewasa, di
sulitan mengungkapkannya dengan kata-kata. Sampai kemudian aku sa
l
arkan dia akan situasi yang tidak seharusnya. Namun,