memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sa
p Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetu
n dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memangg
au pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi n
erah marun itu tak menjawab,
ah,
i gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sa
hat Papa Aldi dan Dika menatap ke arahku dengan ekspresi kha
k apa-apa
ke rumah saudara jauh Dika membuatku drop dan harus dirawat di rum
ung Dika. Kupikir itulah yang menjadi penyebab Mama Nia seringkali bersika
sama juga tertuju
ng ke sini buat batalin pernikahan anak kita.
kepala dalam-dalam, sama sekali tidak
imana ya? Saya n
ibu. Apa yang udah dia l
a menunjukkan gurat tidak suka seperti saat menegur Adrian dulu. Sekali suka pada se
rikan tatapan tidak mengerti yang justru semak
Bapak itu yang udah main gila sama ana
epalan tanganku di atas paha. Bahuku berguncang, me
mu. Nggak usah nangis, toh ka
enuturan Mama Nia barusan. Suka sama suka? Apa
anak baik-baik. N
k tinggi. "Tolong jangan sembaranga
kekecewaan terdengar jelas. Amplop coklat dibanting
ntas. Meski sepekan telah berlalu, aku belum bisa lupa saat Adrian mdengan Adrian. Tubuh bagian bawah kami berdua tertutup selimut, tapi mereka jelas menilaik
sa menjelaskan apa pun. Dadak
ali untuk menyangkal prasangka yang kini memenuhi kepalanya.
aku nggak g
l
k sudi mendengar penjelasan yang susah payah ingin kuucapkan. Bahkan sebuah tamparan menda
benar kecewa. Saya pikir Sera gadis yang paling cocok buat anak s
." Aku mendekat ke arah Mama Nia dan Papa Al
atapku dengan penuh kebencian. "Mulai sekarang, kita nggak a
pan Dika! Sampai mati pun say
iba. Ayah masuk ke kamar dan tidak pernah keluar setelahnya. Ibu
di buah bibir semua tetangga. Mereka menatapku dengan jijik seolah a
wanita berjilbab lebar menunjuk tulisan di lantai masjid sambil menatapku tajam. "Batas
h mau bicara setelah kejadian itu. Dia satu-satunya yang tidak menghakimiku, bahkan
kamu itu memang nggak pantas masuk masjid. Hil
g yang mulai berkerumun di selasar masjid. Tanganku gemetar, me
lakuan naudzubillah. Pura-pura mau nikah sama
ner. Ngga
tadi tertahan. Dadaku terasa sesak, penuh
an. Sera ini cuma korban. Dia dipaksa s
at. Kalau polos jangan kebangetan, Sa. Nan
ahan tangannya dan menggeleng lemah. Dia cepat-cepat memb
Ayah dan ibu sama sekali tidak pernah mau kuajak bicara. Dua kakakku juga menyalahkan
n pergi dari r
i anak sulung di keluarga ini, dia mengambil ke
as
alau kamu masih tinggal di sini, warga
ata-kata. Hanya air mata yang m
barang-barang yang sekiranya kam
h menolak keberadaanku, bahkan keluargaku sendiri yang harusnya mengayomi, justru membua
embalikan kesadaran yang sempat tersita kenangan masa
pedulikan panggilannya yang terus menggema. Hubungan kami sudah ber