i beranjak keluar, mencari udara segar atau sekadar berburu momen terakhir sebelum mala
berbincang dengan tawa yang sedikit serak set
ruangan, tersenyum puas melihat anak-anak d
i medali yang tergantung di lehernya, dingin menyentuh kulitnya. Sa
sa puas. Tapi entah kenapa, ada ruang koson
ini akrab dengannya, guru-guru yang selalu memberinya arahan, dan orang-orang yang selama ini hanya seka
a
a santai, satu tangan menyelip di saku celana, sementara tangan lainnya memegang botol air min
elalu menjadi pusat dari setiap percakapan, menyalakan seti
k berbeda. Tidak ada senyum percaya diri yang biasanya menghias
ang diarahkan ke panggung kosong, seol
atikan Zayn sebelumnya. Ia tahu siapa p
a kemenangan, sebagai siswa yang pesonanya sulit diabaikan, sebagai seseorang yang dengan mudah b
. ia s
ternyata Zayn bukan sosok y
i karena Natalia memaksanya ikut, beralasan ingin mendukung gebetannya yang juga salah sat
ketika Zayn mencetak angka terakhir yang memastikan kemenangan tim mereka. Kirana ikut berdi
angan, melihat Zayn mengangkat tangannya dengan ekspresi
men di
bahas tugas Fisika yang baru saja dikumpulkan. Tapi entah kenapa, ia masih bisa mengingat meja di sebera
anya berjarak satu meja, kadang lebih jauh. Tapi Kirana tak pern
apangan basket
aga, tapi ada saat-saat ketika ia merasa in
n bermain bersama teman-temannya. Berkeringat, tertawa, berge
kan, tapi sekarang ia menyadari-mungkin, s
nah mengizinkan dirinya
l lain yang l
si aka
a d
n seperti ini tidak ada
n Zayn bukan sebagai kapten tim basket, bukan sebagai cowok populer yan
pribadi. Se
h aula yang perlahan mulai sepi, menatap pangg
k bisa mengalih
orang seperti ini. Tapi kakinya tetap diam di tempat. Ada ses
menyadari apa yang ia lakuk
• • • • • • • • • •
m menyadarinya. Ia tetap berdiri di tempat, masih menat
bih jelas. Rahangnya mengeras, matanya sedikit menyipit, dan bibirnya meng
skah ia benar-ben
membentuk alasan untuk mundur,
ei
men
untuk mengenali sosok yang baru saja menyapanya. Dan saat ia akhi
, k
tapi cukup untuk tahu bahwa mereka pernah berad
ada di sini. Ia sendiri tidak yakin kenapa ia me
da kesombongan di dalamnya. Tidak ada tawa yang menyertai. Hanya seka
cari s
i sekarang, seakan mencoba men
berpikir apakah ia harus mengatakan sesu
ayn sudah lebih dulu mengalihkan pan
, lebih kepada dirinya sen
epi, hanya menyisakan alat-alat musik yang masih berdiri di te
tanyanya
memainkan botol air
u ramai. Sekarang, t
tu-perasaan ketika sesuatu yang begitu hidup tiba-tiba
u, kan?" katanya akhirnya, suaranya
atapnya dengan ekspres
suatu
itu-sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kesedihan akan malam yang
air dari botolnya sebelum akhirnya b
a, kayaknya
pu aula yang mulai redup, dua orang yang sebelumnya tidak pernah b
akapan singkat. Mungki
a berharap sesuatu yang baru