di Jakarta Timur. Rani berdiri di dapur, mengenakan daster lusuh berwarna ungu pucat, rambutnya diikat asal dengan jepitan plastik.
i ia tertawa kecil melihat meme lucu, tak peduli bahwa istrinya yang baru bangun subuh
ya. Lauknya telur dadar. Ayamnya udah habis d
gguk kecil. "Iya. Nggak usah ya
berteriak, tapi bibirnya tetap diam. Ia melanjutkan masak, memecahkan dua
milik temannya. Gajinya tak besar, tapi cukup untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Setidaknya, cukup menurut ve
alu menyodorkan selembar uang lusuh kepada istrinya. "Nih. Dua l
hatinya menolak. Dua puluh lima ribu? Setiap hari angka yang sama. Nggak pern
atur uang. Makanya aku percaya," tambah Di
at-erat. Di luar, suara tukang sayur sudah mulai terdengar. Ia tahu, harga bawang merah naik. Minyak gor
s, menyambar tas kerjanya dan melangkah pergi tanpa menoleh. Rani berdi
, punggungnya bersandar pada kulkas kecil yang tak lagi dingin. Ia menatap uang di tangannya-lemba
tak terdengar. "Buat beli bedak aja nggak cuk
unga di hari ulang tahunnya, membawanya makan mie ayam di warung favorit, dan sesekali mengir
a, akan begini sunyinya. Tak ada tempat bercerita, tak ada bahu un
upiah dihitung, setiap lembar uang dicatat. Tapi tetap saja, rasanya seperti berjuang sendiri dalam kapal y
. Garis halus mulai tampak di sudut matanya. Dulu kamu bilang aku cantik ta
u keluar rumah. Langkahnya pelan, lelah. Tapi ia tetap berjalan, seperti b
m naik. Tomat mahal. Ia akhirnya membeli dua ikat kangkung, sebutir ta
ibu penjual dengan nada tak yak
Enggak usah, Bu. Saya c
etnya, dan dengan hatinya sendiri. Tapi yang paling melelahkan ada
mpakkan lelah, hanya kehampaan. Dan di dalam hatinya, ada satu