Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Cintamu Seperti Uang Kecil
Cintamu Seperti Uang Kecil

Cintamu Seperti Uang Kecil

5.0
5 Bab
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Rani tak bermaksud mengeluh, semua orang tahu harga kebutuhan pokok memang melonjak akhir-akhir ini. Dari beras sampai bumbu dapur, semuanya sudah tersedia karena suaminya, Dimas, yang biasa belanja ke pasar setiap awal pekan. Namun, ia hanya memberinya uang sebesar 25 ribu rupiah setiap hari untuk belanja sayur dan lauk. "Memang pelitnya enggak ketulungan si Dimas itu," pikir Rani, kesal. "Kamu ini ya, pintar banget ngomongnya. Nih, uangnya," ucap Dimas sambil menyodorkan uang kepadanya. Dengan cepat, Rani mengambilnya, tapi wajahnya tetap datar. Dalam hati ia menggerutu, "Cih, segini? Buat beli bedak aja kurang, apalagi lauk."

Bab 1 Wanita realistis

Pagi itu, aroma bawang putih yang ditumis menyebar ke seluruh rumah kecil yang terletak di sudut gang sempit kawasan padat penduduk di Jakarta Timur. Rani berdiri di dapur, mengenakan daster lusuh berwarna ungu pucat, rambutnya diikat asal dengan jepitan plastik. Di wajan, tumisan kangkung yang dibeli semalam mulai layu, suara mendesisnya berpadu dengan keluhan hati yang tak berani ia suarakan.

Dimas duduk di ruang tamu, kaki disilangkan, matanya terpaku pada layar ponsel. Sesekali ia tertawa kecil melihat meme lucu, tak peduli bahwa istrinya yang baru bangun subuh sudah sibuk menyiapkan sarapan dan bekal untuk anak mereka yang akan sekolah TK hari ini.

"Mi, sarapannya nasi sama tumis kangkung aja ya. Lauknya telur dadar. Ayamnya udah habis dari kemarin," ujar Rani, setengah meminta maaf.

Dimas tak menoleh, hanya mengangguk kecil. "Iya. Nggak usah yang ribet. Yang penting kenyang."

Rani menahan napasnya. Iya, kamu memang selalu kenyang. Tapi aku? Batinnya berteriak, tapi bibirnya tetap diam. Ia melanjutkan masak, memecahkan dua butir telur ke dalam mangkuk plastik yang retaknya nyaris menyentuh dasar.

Setelah sarapan, Dimas bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia bekerja sebagai staf administrasi di kantor ekspedisi milik temannya. Gajinya tak besar, tapi cukup untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Setidaknya, cukup menurut versinya sendiri. Karena ia selalu merasa cukup hanya dengan memberi Rani uang dua puluh lima ribu rupiah setiap pagi.

Dimas masuk ke dapur, membuka dompetnya yang mulai mengelupas, lalu menyodorkan selembar uang lusuh kepada istrinya. "Nih. Dua lima ribu. Beli sayur sama lauk, sekalian jajanan Aira kalo bisa."

Rani menyambut uang itu tanpa ekspresi. Tangannya refleks mengambilnya, tapi hatinya menolak. Dua puluh lima ribu? Setiap hari angka yang sama. Nggak pernah berubah, nggak pernah ditambah. Emangnya harga di pasar tetap segitu terus?

"Jangan ngeluh ya. Kamu ini jago banget ngatur uang. Makanya aku percaya," tambah Dimas, seolah-olah kalimat itu adalah pujian.

Rani hanya tersenyum kaku. Pujian apa ini? Pujian atau lelucon? pikirnya, sambil menggenggam uang itu erat-erat. Di luar, suara tukang sayur sudah mulai terdengar. Ia tahu, harga bawang merah naik. Minyak goreng pun tak bisa beli setengah liter lagi, harus botolan. Tapi Dimas seolah tak pernah mau tahu soal itu.

"Yaudah, aku berangkat. Jangan lupa jemput Aira jam sebelas," kata Dimas, menyambar tas kerjanya dan melangkah pergi tanpa menoleh. Rani berdiri mematung di ambang pintu, memandangi punggung suaminya yang menjauh.

Setelah suara sepeda motor menghilang, Rani kembali masuk ke dalam rumah. Ia duduk di lantai dapur, punggungnya bersandar pada kulkas kecil yang tak lagi dingin. Ia menatap uang di tangannya-lembaran yang selalu sama, nominal yang tak pernah berubah. Seolah itulah nilai hidupnya di mata Dimas.

"Cih... uang segini?" gumamnya pelan, hampir tak terdengar. "Buat beli bedak aja nggak cukup, apalagi buat kelihatan cantik di depanmu."

Dulu, sebelum menikah, Dimas adalah pria yang manis dan penuh perhatian. Ia membelikan Rani bunga di hari ulang tahunnya, membawanya makan mie ayam di warung favorit, dan sesekali mengirim pesan romantis yang membuat pipinya memerah. Tapi semua itu berubah setelah mereka menikah.

Rani tahu rumah tangga tak akan selalu indah. Tapi ia tak menyangka, akan begini sunyinya. Tak ada tempat bercerita, tak ada bahu untuk bersandar, hanya ada suara hati yang terus menjerit dalam diam.

Ia membuka dompet kecilnya-isinya hanya beberapa receh dan nota belanja dari hari-hari sebelumnya. Setiap rupiah dihitung, setiap lembar uang dicatat. Tapi tetap saja, rasanya seperti berjuang sendiri dalam kapal yang perlahan-lahan bocor. Dan Dimas? Ia bahkan tidak sadar bahwa air sudah mulai masuk ke dalam kapal mereka.

Rani melirik ke cermin kecil di dinding dapur. Wajahnya pucat, matanya sayu. Garis halus mulai tampak di sudut matanya. Dulu kamu bilang aku cantik tanpa riasan. Tapi sekarang? Kamu bahkan tak pernah melihatku dua detik penuh.

Ia berdiri, mengambil tas belanjanya yang mulai sobek di bagian bawah, lalu keluar rumah. Langkahnya pelan, lelah. Tapi ia tetap berjalan, seperti biasa. Karena ia tahu, tak ada yang akan mengurus rumah ini selain dirinya.

Di pasar kecil dekat rumah, ia memilih sayur dengan teliti. Harga bayam naik. Tomat mahal. Ia akhirnya membeli dua ikat kangkung, sebutir tahu, dan telur. Sisanya ia sisihkan untuk jajanan Aira sepulang sekolah.

"Dua puluh lima ribu, Bu?" tanya ibu penjual dengan nada tak yakin. "Mau saya kurangin tahunya?"

Rani tersenyum kecil. "Enggak usah, Bu. Saya cari kembalian di dompet."

Begitulah setiap hari. Ia bernegosiasi dengan penjual, dengan dompetnya, dan dengan hatinya sendiri. Tapi yang paling melelahkan adalah bernegosiasi dengan harapannya yang perlahan-lahan mulai padam.

Rani pulang membawa belanjaan seadanya, wajahnya tak lagi menampakkan lelah, hanya kehampaan. Dan di dalam hatinya, ada satu kalimat yang terus menggema-sampai kapan harus bertahan begini?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY