a jantungku seperti diremas dari dalam. Kata-katanya masih menggema di k
utuh dana tambahan untuk ekspansi
u santai untuk sesuatu yang b
an, tapi jelas. Tangan gemetar, kuku-kuku mencengkeram kuat ujung meja m
n yang... kosong. Bukan dingin, bukan pula tajam. Kosong. Seakan-ak
unya padanya-waktu, tenaga, mimpi, dan harapan. Dan sekarang? Dia ingin aku menjual rumah yang
pi juga cinta. Rumah dengan dinding-dinding kusam dan taman kecil yang selalu kurawat seti
an suara gemetar. "Rumah itu satu-satunya ya
tar, lalu menatapku kembali-kali ini dengan keti
u warisan dari orang tuamu, tapi kita harus realistis.
as, tapi aku menolak menangis di hada
ggalan Mama, aku berikan tabunganku dari sebelum menikah. Aku bahkan menahan diri dari banya
tap keluar seperti sedang menimbang sesuatu yang berat. Tapi aku tahu dia tidak b
un masa depan. Jangan biarkan masa lalu m
ku bergeser kasar
asnya? Kau bilang tentang masa depan. Tapi kenapa rasanya seperti aku satu-satun
buhnya menghadapk
uka. "Aku tidak akan menjual rumah itu. Titik. Bahkan kalau a
rsel menatapku dengan wajah yang tak bisa kubaca. A
suara dingin, tajam, seperti
harus mulai menimbang kembal
m ruangan lenyap begitu saja. Kata-katanya menggunca
kami bicara tanpa nada bisnis atau rencana ekspansi atau target omzet? Sejak k
"Ini bukan tentang arah. Ini tentang siapa yang
kamar, lalu menutup pintu dengan perlahan. Di balik pintu
nanganku. Peluk Mama di pagi hari. Suara Papa mengeluh tentang teh yang kurang manis. Bau
n menjagaku, malah menjadi orang pertama yang me
untuk pertama kalinya sejak aku menikah, aku merasa le
ai mempertanyakan, apakah cinta mema