Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Masa Lalu Yang Kau Tinggalkan
Masa Lalu Yang Kau Tinggalkan

Masa Lalu Yang Kau Tinggalkan

5.0
5 Bab
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Aku terhenyak, menatap Marsel dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Baru setahun pernikahan kami, dan dia, suamiku, dengan santainya memintaku untuk menjual satu-satunya rumah peninggalan orang tuaku yang sudah meninggal. Rumah itu adalah kenangan terakhir yang tersisa darinya, tempat aku tumbuh dan merasakan kasih sayang mereka. Bagaimana mungkin dia memintaku untuk melepaskan itu? "Hilda," suaranya terdengar tenang, seolah tidak ada hal yang terlalu penting dari pembicaraan ini. "Kita butuh uang untuk investasi. Rumah ini hanya membebani." Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi yang berkecamuk dalam dada. "Tidak! Ini bukan tentang uang, Marsel! Ini tentang kenangan, tentang masa lalu yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja hanya karena alasanmu yang... dangkal!" Aku melangkah mundur, menatapnya dengan mata yang mulai memerah. Marsel memandangku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Di satu sisi, aku melihat kekuatan, tapi juga ada ketidaksabaran yang kian terlihat. "Hilda, aku hanya berpikir praktis. Kita harus berpikir ke depan." Aku tertawa pahit. "Ke depan? Apa kau lupa? Rumah ini adalah warisan yang tak ternilai bagiku! Dan kau ingin menjualnya begitu saja?" Dia menarik napas panjang, seakan mencoba menenangkan diri. "Aku tidak ingin bertengkar, Hilda. Tapi kita perlu uang untuk merencanakan masa depan kita. Apa pun itu, rumah ini hanya menghambat langkah kita." Aku merasa dunia ini begitu berat, seolah seluruh hidupku sedang terancam runtuh hanya karena keputusan yang diambil oleh orang yang aku cintai. Tidak ada jalan tengah dalam hal ini. Bagaimana bisa Marsel, yang dulu begitu aku percayai, berubah menjadi seseorang yang begitu dingin dan pragmatis? Aku tidak tahu lagi apa yang sedang terjadi antara kami, tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan pernah menyerah pada perasaan ini.

Bab 1 Rumah Terakhir

Aku menatap Marsel dengan sorot mata tak percaya. Detik itu juga, rasanya jantungku seperti diremas dari dalam. Kata-katanya masih menggema di kepalaku, membentur dinding-dinding kesabaran yang sejak tadi sudah retak.

"Jual saja rumah itu, Hil. Kita butuh dana tambahan untuk ekspansi toko. Rumah itu cuma jadi beban."

Nada bicaranya santai. Terlalu santai untuk sesuatu yang bagi hidupku berarti segalanya.

"Apa kau sadar apa yang baru saja kau ucapkan?" tanyaku dengan suara pelan, tapi jelas. Tangan gemetar, kuku-kuku mencengkeram kuat ujung meja makan, seolah itu satu-satunya penyangga untuk tidak roboh saat itu juga.

Marsel tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku dengan pandangan yang... kosong. Bukan dingin, bukan pula tajam. Kosong. Seakan-akan aku ini hanya sekadar variabel dalam rumus perhitungan logisnya.

Baru satu tahun pernikahan kami berjalan. Baru satu tahun sejak aku menyerahkan semua yang kupunya padanya-waktu, tenaga, mimpi, dan harapan. Dan sekarang? Dia ingin aku menjual rumah yang bukan hanya sekadar bangunan, tapi satu-satunya peninggalan dari orang tuaku yang telah tiada.

Rumah itu adalah tempat aku dibesarkan. Tempat aku merangkai masa kecil yang penuh luka tapi juga cinta. Rumah dengan dinding-dinding kusam dan taman kecil yang selalu kurawat setiap akhir pekan. Rumah itu... adalah satu-satunya tempat di dunia yang masih terasa "rumah".

"Rumah itu bukan beban, Marsel," kataku dengan suara gemetar. "Rumah itu satu-satunya yang tersisa dari Mama dan Papa. Kau tahu itu."

Marsel menghela napas panjang. Ia menunduk sebentar, lalu menatapku kembali-kali ini dengan ketidaksabaran yang mulai merayap dalam nada suaranya.

"Hilda, tolong jangan terlalu sentimentil. Aku paham itu warisan dari orang tuamu, tapi kita harus realistis. Kita butuh modal untuk cabang baru. Kita butuh kemajuan."

Aku menatapnya lama. Mataku mulai panas, tapi aku menolak menangis di hadapannya. Bukan kali ini. Bukan soal ini.

"Aku sudah bantu kamu dari awal," suaraku pecah, tapi masih jelas. "Aku jual perhiasan peninggalan Mama, aku berikan tabunganku dari sebelum menikah. Aku bahkan menahan diri dari banyak hal yang dulu penting buatku-hanya demi usahamu. Tapi rumah itu... jangan minta itu juga."

Marsel berdiri, berjalan ke arah jendela. Tangannya menyelip ke saku celana, menatap keluar seperti sedang menimbang sesuatu yang berat. Tapi aku tahu dia tidak berpikir untuk mengerti perasaanku-dia hanya sedang mencari cara agar aku menurut.

"Hilda," katanya pelan. "Kita ini membangun masa depan. Jangan biarkan masa lalu mengikatmu sampai kamu kehilangan semuanya."

Aku berdiri, kursiku bergeser kasar di lantai keramik.

"Kalau masa lalu itu satu-satunya yang kumiliki, apa menurutmu mudah untuk melepasnya? Kau bilang tentang masa depan. Tapi kenapa rasanya seperti aku satu-satunya yang terus kehilangan sesuatu setiap kali kita bicara soal 'masa depan' itu?"

Marsel memutar tubuhnya menghadapku. "Jangan drama."

"Dengar baik-baik," potongku cepat, mataku menatapnya penuh luka. "Aku tidak akan menjual rumah itu. Titik. Bahkan kalau aku harus menentangmu untuk pertama kalinya sejak kita menikah."

Hening. Beberapa detik terasa seperti selamanya. Marsel menatapku dengan wajah yang tak bisa kubaca. Ada kekecewaan, mungkin. Atau kemarahan yang ditahan.

Akhirnya, dia bicara dengan suara dingin, tajam, seperti pisau yang perlahan menyayat.

"Kalau begitu, mungkin kita harus mulai menimbang kembali arah pernikahan ini, Hil."

Aku terdiam. Tubuhku kaku, seolah seluruh udara dalam ruangan lenyap begitu saja. Kata-katanya mengguncangku lebih dari yang pernah kulalui setahun terakhir.

Kapan terakhir kali aku melihat Marsel dan merasa dicintai? Kapan terakhir kali kami bicara tanpa nada bisnis atau rencana ekspansi atau target omzet? Sejak kapan dia berhenti melihatku sebagai istrinya, dan mulai melihatku sebagai aset?

"Arah pernikahan?" bisikku, nyaris tak terdengar. "Ini bukan tentang arah. Ini tentang siapa yang masih peduli, dan siapa yang hanya ingin menang."

Aku melangkah pergi meninggalkannya di ruang makan, menuju kamar, lalu menutup pintu dengan perlahan. Di balik pintu, aku bersandar, menahan air mata yang akhirnya jatuh juga.

Rumah itu bukan hanya sekadar bangunan tua dengan cat yang mulai mengelupas. Itu adalah kenanganku. Peluk Mama di pagi hari. Suara Papa mengeluh tentang teh yang kurang manis. Bau kayu tua dari lantai. Dan senyuman terakhir mereka sebelum dunia merenggut semuanya dariku.

Dan sekarang, suamiku... pria yang bersumpah akan menjagaku, malah menjadi orang pertama yang memintaku menghapus sisa kenangan itu dari hidupku.

Aku tidak tahu akan seperti apa esok. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya sejak aku menikah, aku merasa lebih sendirian daripada saat aku ditinggal yatim piatu.

Dan untuk pertama kalinya... aku mulai mempertanyakan, apakah cinta memang cukup untuk menyelamatkan semuanya?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY