i ke rumah. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Hanya sunyi, sepe
intu dan meminta maaf. Tapi yang datang justru bukan Mars
erhenti di depan rumah. Seorang pria turun, mengenakan jas rapi, wajahnya
ang, tapi tatapannya tajam. Seolah
?" tan
k pelan. "Maa
ulu pernah kerja sama dengan Marsel,
proyek pengembang yang sempat dibicarakan Marsel...
ntang suami Anda," katanya sopan, t
in, dan ada rasa tak enak di perutku ya
tanyaku akhirnya, tak
map cokelat dari tasnya,
ia sedang terlilit utang cukup besar. Dan rumah yang ingin dia jual-rumah
memb
Anda? Utang
or lenyap, dan Marsel harus menutup lubang dengan pinjaman dari pihak ketiga. Termas
gan Marsel, dan bahkan beberapa email permohonan dana. Hatiku berdegup ke
emberi tahu sa
nak, lalu men
luarganya. Dan saya pernah berutang budi pada orang tua Anda. Pak Armand dulu p
ku dengan tangan.
ng padaku. Tentang keuangan, tenta
meletakkan kartu
lanjutnya. Tapi hati-hati, Bu Hilda
belumnya. Ini bukan lagi tentang rumah. Ini tentang kebohongan. Tentang bagaimana aku meni
nelepon Marsel
ah. Saat masuk, toko itu sepi. Beberapa rak kosong. Stok barang tidak seperti biasanya. Aku t
lama kami, Rina,
ja. Pak Marsel bilang tokonya mau tutup
desir dingi
ng, Bu. Tapi beberapa vendor juga
ulai menangkap tanda-tanda yang selama ini kupikir hanyalah kepadatan kerj
seperti hantu. Lalu, tanpa sadar, aku mengambil ponsel dan mulai mencari informasi lai
inya belu
ama yang tak kukenal-beberapa dengan subjek: "Deadline Pe
l dengan lampiran kontrak yaorang tuaku atas nama Marsel, lengkap dengan t
Tangisku pec
nipuku. Dia mencoba menjual rumah itu tanpa se
lam diriku mati. Atau mu
endak untuk bertahan. Untu
plop surat yang berisi sertifikat rumah itu-yang selama ini kusi
m pernikahan ini, aku tidak me
u terus bertahan di sisi pria yang bahkan tak
rsel tak hanya berbohong, tapi ju