i balik bukit, menyisakan langit j
Radio tua di dalam rumah memutar lagu Jaipongan lawas, namun tetap terdengar akrab
lama, muncul sosok Arga dengan wajah kusut, matanya sembab,
," ucap Arga pelan, n
senyum tipis. "Waalaikum salam... Loh, tumben
bambu yang dingin. Ia menghela napas panjang, seolah mencari
dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di atas meja kay
Tapi cukup lah buat ngu
is tenggelam oleh suara jangkrik dan tonggeret dari b
nginep di rumah cucu
endok di dalam gelas yang terdengar. Arga akhirnya angkat bicara,
edang merasa kosong. Gak ada lagi semangat buat apa-apa. Saya kayak
, seperti seorang kakek yang tahu bahwa luka tak bi
rcaya sama saya. Karena saya sendiri udah gak percaya diri..." Suara Arga bergetar. Bahunya merosot, waj
. Tapi kehilangan alasan. Arah masih ada, tapi langkahnya berat
t itu seperti menamp
uh, Bah. Apa saya masih pantas bertahan?" Sua
sak. Utuh itu soal Aden masih mau diperbaiki atau tidak. Masih mau bertahan, masih m
a yang berbeda generasi berbagi keheningan yang hangat. Mungkin tak semua
mbali bersuara, kali ini dengan nad
ai... ya, yang alternatif-alternatif itu juga. Tapi tetap aja nggak ada perubahan," ucap Arga sa
g begitu. Saya sendiri pernah dengar cerita-cerita tentang Abah.
diam di dasar sumur. Tapi di balik sorot matanya yang teduh, ada sesua
. Pernah bantuin orang, pernah juga nyelametin rumah tangga yang hampi
atapnya,
n waktu
n lebih jauh. Seolah kenangan itu terlalu
g gak bisa sembarangan dilanggar. Kalau abah nekat membantu Den Arga sekarang, bisa-bisa malah ada y
buat dadanya makin sesak, tapi juga memberi
harus pasrah g
pat. "Tapi ikhtiar di jalan yang
a gak bisa ngerti apa yang saya rasain. Ini bukan cuma soal fisik, Bah. Ini kay
hatinya luka, jiwanya lelah. Dan dokter pun, kadang gak bisa sembuhkan luka jenis itu. T
teras. Langit kini sudah gelap sepenuhnya. Hanya
.. saya gak s
tandanya Aden masih sanggup. Mungkin gak bisa sembuh dalam wakt
ucapkan. Tapi hatinya sedikit lebih ringan. Meski belum mendapat jawaban
bukan sekadar prihatin, tapi juga penuh kehati-hatian. Seolah ia hendak meng
gak, Aden merasa ada dosa besar dalam hidupmu? Sesuatu yang Aden tahu...
seakan ada beban yang mengganjal di kerongkongan. Tapi tatapan Bah
aris berbisik, ia menj
i apa?" susu
ain di lutut celananya yang sangat
tanya anak saya. Tapi... saya nggak yakin. Dia dikenal... ya, ag
h menduga sebelumnya. Ia hanya mendengarkan, m
a benar-benar cinta sama saya. Tapi saya... saya gak bi
a napas, mat
saya masih gak tahu, itu anak siapa. Kadang saya takut... it
n malam menyentuh pelan dedaunan di halaman,
hidup kita kehilangan arah bukan karena ada sihir, santet, atau penyakit gaib. Tapi karena a
apnya, mat
rupakan karma b
rdamai dengan masa lalu sebelum dia mengizinkan kita melangkah ke depan. Entah de
seketika
g anak itu. Aden gak harus langsung datang atau minta maaf, kalau belum siap
dari bahwa luka yang ia kira sudah tertu
h halaman rumah yang remang-remang. Ia tengah memutar ulang seluruh masa lalunya dalam satu tari
erasa agak lega setiap habis ngobrol sama Abah,"
"Hidup ini gak pernah telat untuk diperbaiki, Den. Selama
esok saya mau cari tahu tentang dia. Tentan
ngangguk pelan. "H
erlahan lenyap di balik malam yang gelap.
angit yang gelap tanpa bintang. Suaranya pelan, ha
, tentu akan lebih mudah mengobatiny
masuk ke dalam rumah, membiarkan malam
*