Susan, dari beberapa tahun seb
asakan suka dan duka kehidupan. Satu tahun yang lalu, ia resmi menikah dengan Aldi Wibowo, lelaki berusia 23 tahun yang merupak
karta di salah satu kantor ternama sebagai Office Boy. Gaji yang ia terima tak seberapa, cu
Ibukota. Biaya hidup yang mahal menjadi pertimbangannya. Mereka sepakat Sus
tidak terlalu jauh. Namun yang pasti hidup di sana lebih tenang, dan tidak terlalu jauh dari
gal di Sumatera, namun hubungannya dengan mereka tak begitu dekat. Karena itulah, lingkungan keluarga
g. Mereka menyukainya, terutama karena senyum hangat dan tutur katanya yang lem
an dirinya pada Aldi di malam pertamanya, walau sejak lama cukup banyak godaan lelaki pada Su
ringankan beban suaminya. Beberapa kali ia mengusulkan untuk mencari kerja di kota. Pekerjaan ringan apa sa
" begitu katanya, "Tugasmu cukup jag
aat kesunyian datang menghampiri. Tak jarang ia termenung menatap jendela rumah sederhananya, bertanya
g kosong di hatinya yang diam-diam tumbuh besar. Ruang itu perlahan mendorongnya untuk malisasi, dia juga ingin mencari harapan-lowongan kerja yang bisa menopang hidup keluarga
ah iklan di facebook. Iklan itu adala
a 20–35 tahun, berpenampilan menarik, ber
engar cukup menjanjikan. Para pelamar diminta datang langsung dengan membawa
orang yang bertemu dengannya selalu memberi pujian-kadang terang-terangan, kadang sembunyi di balik senyum atau lirikan
ang sok sopan tetapi tak bisa mengalihkan pandangannya dari tubuh Susan. Tapi ia tak pernah menggubris mereka. Ia b
ng tertera di iklan. Ia sudah menghubungi nomor yang tertera sebelumnya, hanya untuk memastikan iklan itu benar adanya. Dan yang pasti dia
rti ia tiba di depan sebuah ruko empat lantai dengan papan n
melamar pekerjaan. Ia melangkah masuk, disamb
rkulit hitam manis dengan baju hijau muda. Pert
ya dengan jantung y
gi?' batin Susan. 'Bukankah
ak. Tangga ada di sebelah sana," ucap wanita b
Mbak," balas Susan sambil
l wanita satunya d
ah satu dari mereka saa
oleh deng
" ucap wanita berkaos pin
, Mbak?" Susan
sih," jawab merek
a malu atau tersanjung. Ia tersenyum, l
Seorang pria berkumis tebal, berbadan tegap, dan men
nyanya sambil ber
ambil mencoba tersen
ap? Mana?" tanyanya lagi, kal
dan kelengkapannya. Pria itu membuka mapnya
ar lain. Ini nomor urutnya. Tunggu sampai nomor kamu dipanggil
tap nomor tersebut. Ia terkejut. Tern
n Susan benar: ruangan itu sudah dipenuhi puluhan wanita
ah kursi kosong. Ia berjalan pelan ke arah
itu. Mereka tampak cuek dan dingin. Beruntung tadi dua resepsionis menya
r bersamaan dengannya. Di saat bersamaan, pintu kaca di sisi ruangan terbuk
a duduk dengan tenang dan bers
mengingatkan pada keturunan Timur Tengah. Jantungnya kembali berdebar saat mendengar nomornya disebut. Dengan langkah
rik dada Susan yang tertutup blazer batik-hadia
mbil masuk ke dalam ruangan, matanya
cil oleh seorang pelamar yang sebelumnya telah dipanggil
duduk,"
amaan dengannya di sofa
ria berusia 40 tahun itu,
s Susan, menyambut tang
Susan kepada pria lain di depan-kemungkinan bagian keamanan. Ia memb
erapa?" tany
b Susan sambil memberani
kerja?" tany
n, kali ini dengan pandangan menunduk. Ia enggan mena
knya yang agak condong ke depan. Susan menyesal memakai kaos tipis longgar yang dilapi
buku di sampingnya. Ternyata lemari itu bergeser seperti pintu rahasia, dan dari baliknya muncul seorang pria bertubu
itu tampak berusia sekitar lima puluhan, rambutnya tipis hampir botak, namun m
ya dengan suara berat sambil matanya
aya sudah perintahkan Satpam agar tidak me
wancarai nona ini. Kamu panggil yang lain
ambil menyerahkan map lama
Zakir sambil be
tu rahasia di balik lemari. Tingginya hanya sebatas bahu Pak Z
dengan tubuh besar pria itu. Anehnya dia juga membandingkan
*