Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Godaan Liar Sang Ustazah
Godaan Liar Sang Ustazah

Godaan Liar Sang Ustazah

5.0
21 Bab
25.8K Penayangan
Baca Sekarang

Godaan Liar Sang Ustazah ini memuat unsur kedewasaan yang cukup eksplisit dan ditujukan khusus untuk pembaca berusia 21 tahun ke atas. Bukan untuk mengajak pada dosa, bukan pula untuk menghakimi siapa pun. Cerita ini hadir sebagai bentuk refleksi dan hiburan, menyentuh realita-realita yang mungkin jarang dibicarakan, namun nyata dalam kehidupan. Karena tak semua kisah hidup berjalan lurus dan suci seperti yang kita bayangkan. Di balik senyum, ada luka. Di balik keputusan, ada dilema. Dan di balik romansa, ada rindu yang tak selalu sederhana. Romantika hidup ini terlalu berharga untuk sekadar diabaikan. Kadang, justru dari cerita-cerita yang kita anggap "gelap" itulah, kita bisa menemukan cahaya: tentang siapa kita sebenarnya, dan apa yang sedang kita cari di dunia ini. Selamat membaca. Semoga ada yang bisa dipahami... dan barangkali juga ada banyak manfaatnya dari hanya sekedar hiburan semata. Mohon maaf jika banyak hal yang masih kurang nyaman untuk dibaca. Terima kasih.

Konten

Bab 1 Godaan - 1

BRAK!

Suara benturan keras mengiringi terbukanya pintu kamar mandi.

"ADUH!" seru seorang remaja pria terperanjat dan panik. Tubuh telanjangnya tak mampu bergerak, hanya bisa menatap pintu.

"Eh, maaf! dikira nggak ada orang," sergah seorang wanita berpakian serba tertutup yang tampak juga terkejut. Meski suaranya terdengar terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang tak sengaja masuk ke kamar mandi saat ada orang lain.

Wanita itu berdiri mematung di ambang pintu, wajahnya tegang, mata terbelalak dan mulut sedikit terbuka. Tapi sejurus kemudian, ekspresinya berubah kendur dan tenang, bahkan seulas senyum tersungging samar. Wanita itu sangat tahu apa yang sedang dilakukan anak tirinya.

"Astagfitullah!" Remaja pria itu kembali berseru tersadar dari terkejutnya.

Tangannya refleks meraih handuk yang tergantung di kapstok, lalu melilitkannya di pinggang, menutupi bagian tubuh yang seharusnya tak boleh terlihat oleh siapa pun, apalagi ibu tirinya. Dia tak peduli dengan tangan dan batang senjatanya yang penuh dengan busa sabun.

"Maaf, Hafiz!" Wanita yang oleh kebanyakan warga kampung dijuluki 'Ustazah Susan' itu kembali berucap dengan nada lebih lembut.

"Bu, mau ngapain?" tanya Hafiz, mencoba tenang, meski kesal. Jantungnya masih berdebar, malu dan canggung menjadi badai kecil yang berkecamuk dalam dadanya.

Susan tidak langsung menjawab. Matanya tetap memandangi selangkangan anak tirinya yang tampak menyembul di balik handuknya. Lalu ia menoleh ke belakang memastikan tak ada siapa-siapa di luar sana. Kemudian kembali menatap Hafiz dengan sorot mata yang sulit diartikan. Bersalah, kagum, atau malah berhasrat?

"A-anu..., ibu mau ambil sabun cuci," katanya pelan, tersenyum manis dengan mata tetap tidak beralih dari handuk yang melilit pinggang Hafiz.

"Ambilah, lalu segera keluar, Bu!" kata Hafiz, berusaha tetap sopan meski suara meninggi.

Susan mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangganya mengambil sabun cuci. Namun tidak langsung keluar, malah bersandar pada kusen pintu kamar mandi yang sempit.

"Hafiz..." panggilnya lirih.

Hafiz mengerutkan dahi dan menatapnya. "Ya?" jawabnya singkat.

"Ternyata kamu sudah dewasa dan makin gagah..." ucap Susan lirih dan manja.

Deg!

Jantung Hafiz makin berdegup tak karuan.

Sebelum ia sempat bicara lebih jauh, Susan sudah membalikkan badan dan menutup pintu perlahan, menyisakan udara yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Hafiz berdiri kaku, tak bersuara. Kedua tangannya erat menggenggam handuk di pinggangnya seolah takut direbut atau terlepas.

Tak lama kemudian dia mulai menggayung air dan membasahi sekujur tubuhnya. Namun meski semuanya telah basah dan penuh busa sabun. Sebagian tubuhnya masih gemetar karena sangat kaget. Pikirannya terombang-ambing, mencari penjelasan rasional.

'Kenapa dia masuk tanpa ketuk pintu dulu? Jangan-jangan memang sengaja?' pikir Hafiz cemas. Ia bahkan menduga kalau ibu tirinya, mengintip dulu sebelum masuk. "Dan bodohnya kenapa aku juga lupa mengunci pintu."

Setelah mandi Hafiz keluar dengan tubuh berbalut handuk di pinggangnya. Saat masuk rumah, ia sedikit tertegun karena mendapati ibu tirinya sedang duduk di kursi tamu, sibuk dengan ponselnya, dalam pakaian yang tak biasa. Daster mini sangat kontras dengan pakaian syar'i yang biasa dikenakannya. Padahal tadi saat masuk kamar mandi, masih mengenakan gamis dan jilbab.

Hafiz memalingkan muka dan mempercepat langkahnya menuju kamar. Begitu sampai di dalam, ia menghela napas lega, merasa sedikit aman. Tetapi, belum sempat mengambil pakaian untuk dipakainya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Hafiz lagi-lagi lupa mengunci pintu kamar itu.

Hafiz sedikit melonjak, darahnya serasa berhenti mengalir saat melihat ibu tirinya berdiri di ambang pintu menatapnya nanar sulit dijelaskan.

"Boleh ibu masuk sebentar?" tanya Susan lembut, terkesan ganit.

Hafiz terdiam, detak jantungnya kembali tak beraturan. Ia mencoba untuk tetap tenang, meski rasa cemas dan bingung terus menghantui.

"Mau apa, Bu?" tanya Hafiz dengan suara pelan, mencoba terdengar biasa.

Susan menatapnya, lalu maju selangkah, sementara Hafiz refleks mundur beberapa langkah dengan sorot mata curiga yang semakin dalam. Ia berusaha menahan diri untuk tidak berteriak atau melawan, tetapi perasaan risih semakin membuncah.

"Jangan takut, Fiz." Suara Susan terdengar lebih pelan, hampir seperti berbisik. Namun, kata-kata itu justru semakin membuat jantung Hafiz berdegup lebih kencang.

Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri, merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa dikendalikan.

"Kamu nggak suka ibu masuk kamar ini?" tanya Susan.

"Tapi aku belum pakai baju, Bu!" Hafiz berusaha menetralisir keadaan. "Memangnya mau apa sih?" Nadanya mulai terdengar lebih tegas.

Susan mendekat lagi, tangannya terulur ke arah Hafiz, seakan ingin menyentuhnya. Refleks, Hafiz meloncat ke atas ranjang, berdiri dengan kedua lututnya di atas kasur. Tubuhnya gemetar, dan rasa takut mulai menguasai dirinya.

"Kamu sudah gila ya, Bu?" bentak Hafiz hampir berteriak, kesal dan tidak tahu harus bicara apa lagi.

"Jangan berteriak begitu, Hafiz, aku ini ibumu!" bentak Susan dengan nada yang penuh tekanan dan wajah mendongak.

"Ibu hanya mau bilang, ayahmu sudah loyo, sudah lama nggak bisa memberi nafkah batin pada istrinya. Sedangkan aku sebagai istrinya masih membutuhkan itu!" Suara Susan bergetar, seperti hendak menangis.

Namun Hafiz tak merasakan empati, semua yang dikatakannya terdengar janggal dan mengada-ada. Hafiz merasa cukup banyak mengenal ayahnya. Bahkan seminggu yang lalu, tak sengaja dia masih sempat mendengar ayah dan ibu tirinya sedang melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri dengan sangat bergairah.

"Bu, aku memang anak tirimu!" ujar Hafiz, dengan suara yang lebih tegas namun agak bergetar. "Tapi maaf, bukan berarti harus menuruti semua keinginanmu yang aneh itu. Apapun adanya ayahku, beliau tetaplah suamimu!"

Susan sedikit mencibir, "Daripada kamu ngocok sendiri di kamar mandi, bukankah berbagi itu lebih baik? Kita bisa sama-sama puas dan jaga rahasia, Hafiz!"

Hafiz mendengus kesal, malu dan risih. Suasana seketika menjadi tegang, dingin dan membeku. Tatapan Susan berubah sangat mengerikan, laksana pemburu yang mengunci mangsanya.

"Hafiz, kamu mau bantu ibu, kan?" pinta Susan lembut.

"TIDAK!" bentak Hafiz spontan penuh amarah.

"Kalau begitu, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!" balas Susan tiba-tiba dengan suara yang mulai meninggi.

"Ya, aku akan segera pergi. Tadi mampir ke sini hanya sekedar numpang mandi, tidak lebih!" jawab Hafiz makin tegas.

"Cepetan keluar! Kalau kamu tidak mau membantu ibumu, jangan pernah datang lagi ke sini!" bentak Susan sambil cepat-cepat keluar dari kamar.

Ia baru tersadar, andai Hafiz menyerang secara fisik, tentu dirinya akan celaka. Selain fisiknya lebih tinggi, besar dan kuat, Hafiz juga menguasai ilmu bela diri yang diajarkan ayah dan kakeknya sejak masih kecil.

Hafiz tak buang waktu. Usai berpakaian, ia langsung pergi dengan motor matiknya ke rumah neneknya, tempat yang selalu terasa aman dan menenangkan.

Di saung kecil di tengah sawah, Hafiz duduk memeluk lutut, menatap padi yang mulai menguning. Siang tampak cerah, tapi hatinya gelap. Perasaannya campur aduk: malu, marah, jijik dan kecewa.

"Ustazah Susan..." gumamnya pelan, "Julukan dan penampilanmu nggak sesuai sama kelakuanmu, Bu," gumamnya lirih.

Hafiz bukan anak polos. Sejak SMP, ia sudah kenal sisi gelap dunia dewasa walau hanya melalui internet. Tapi sejauh apapun dia melenceng, masih punya batasan. Susan tetaplah istri ayahnya, ibu tirinya - yang sangat tabu untuk disentuh secara seksual, apapun alasannya.

Hafiz mengusap wajah dengan sebelah tangannya. Sorot mata dan bisikan menggoda dari ibu tirinya masih terbayang jelas. Ia menunduk lesu, tubuh bongsornya terasa kecil di tengah sawah luas.

Ia sadar, kini rumah ayahnya tak lagi terasa surga, tapi sudah menjadi neraka. Namun andai pun ia mau bicara terbuka, siapa yang akan percaya? Ayahnya pun pasti tidak akan percaya.

"Kalau sama anak tiri saja berani begitu, bagaimana dengan lelaki lain?" bisiknya. "Ayahku sudah loyo? Omong kosong!" lanjutnya geram.

Angin berhembus, menerbangkan daun-daun kering. Hafiz tahu, ini belum akhir. Tapi untuk sekarang, ia memilih menjauh dan memang sebenarnya sudah sejak lama menjauh. Tadi Hafiz datang ke rumah ayahnya benar-benar hanya buat numpang mandi, setelah main bola dengan teman-temannya. Dan saat dia datang rumah memang dalam keadaan sepi.

Sementara itu di rumahnya, Susan duduk termangu di kamarnya, merenungi apa yang baru saja terjadi.

Di satu sisi dia sangat bersyukur Hafiz tidak berontak dan menyerang dirinya, namun di sini lain dia juga merasa marah karena telah ditolak dan dilecehkan oleh bocah yang sejak enam tahun terakhir menjadi anak tirinya.

Walau Hafiz tinggal dengan nenek dari almarhum ibunya, namun sedikit banyak Susan merasa sudah ikut merawat dan membesarkannya.

Sebenarnya, sebelum nekat menerobos masuk kamar mandi, Susan sudah lama mengintip Hafiz dari luar. Ia tahu semua apa yang dilakukan anak tirinya di kamar mandi saat itu. Dan karena itulah ia sangat berhasrat, lalu masuk ke kamar mandi tanpa permisi, dengan harapan Hafiz bisa melayani atau melampiaskan hasratnya, daripada onani. Namun ternyata berakhir mengecewakan.

"Tunggu saja pembalasanku, Hafiz. Kamu pasti akan menyesal telah merendahkan ibu tirimu. Kamu belum tahu siapa aku sebenarnya!" geramnya.

Setelah cukup lama merenung, Susan kembali lagi pada kegiatannya sebagai ibu rumah tangga. Ia baru selesai mencuci piring di dapurnya.

Dengan tubuh hanya berkemben handuk hijau, ia bersiap masuk kamar mandi untuk mandi. Namun ia teringat, kain panjang yang biasa ia kenakan setelah mandi masih tergantung di jemuran belakang rumah.

Dengan langkah cepat dan hati-hati, ia berjalan keluar dapur, menyusuri jalur sempit menuju jemuran. Matahari sore masih menggantung rendah, menyorotkan cahaya hangat di sela-sela dedaunan pisang dan pagar bambu.

Saat ia menjulurkan tangan hendak meraih kain panjang itu, pandangannya tanpa sengaja tertumbuk pada sosok Rizal-lelaki muda anak tetangganya dan berteman dekat sejak masih kecil dengan Hafiz.

Rizal berdiri membelakanginya, memandangi hamparan sawah milik Pak RW yang terbentang luas di depannya. Sehabis shalat dia memang sering nongkrong di sana, sendirian kadang juga bersama beberapa temannya.

Susan langsung panik. Ia reflek membalikkan badan hendak kembali masuk ke dapur. Namun langkahnya justru tergelincir. Entah karena batu licin atau tanah basah, hingga tubuhnya terhempas ke tanah.

"Aduuuuh!" serunya spontan, tangan kanan buru-buru menahan dada, memegangi handuk yang nyaris melorot dari tubuhnya. Rasa sakit dan malu bercampur menjadi satu.

Rizal sontak menoleh, matanya melebar melihat Susan tergeletak sambil meringis kesakitan. Beberapa bagian tubuhnya tampak terbuka karena handuknya tersingkap, untung saja tidak sampai terlepas.

"Bu Ustazah!" Rizal yang berkaos dan bersarung, langsung berlari mendekat. "Astagfirullah, jatuh ya, Bu? Sini, saya bantu..."

Susan tidak langsung bangkit. Pergelangan kaki dan lututnya terasa perih. Pahanya juga nyeri karena terbentur batu kecil.

"Aduh... aduh... sakit, Zal," keluhnya pelan, napasnya tersendat menahan rasa sakit. Ia masih memegangi handuknya erat-erat, tak berani menatap Rizal yang kini bersimpuh di sebelahnya.

Rizal, dengan gugup dan canggung, mengulurkan tangan untuk membantu. Susan pun, dengan ragu dan malu yang memuncak, menerima bantuan itu. Sementara dada dan hatinya terasa sama-sama berdebar tak karuan.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 21 Godaan   06-12 09:55
img
1 Bab 1 Godaan - 1
23/04/2025
2 Bab 2 Godaan - 2
23/04/2025
3 Bab 3 Godaan - 3
23/04/2025
4 Bab 4 Godaan - 4
23/04/2025
5 Bab 5 Godaan - 5
23/04/2025
6 Bab 6 Godaan - 6
23/04/2025
7 Bab 7 Godaan - 7
23/04/2025
8 Bab 8 Godaan - 8
23/04/2025
9 Bab 9 Godaan - 9
23/04/2025
10 Bab 10 Godaan - 10
23/04/2025
11 Bab 11 Godaan - 11
27/05/2025
12 Bab 12 Godaan 12
31/05/2025
13 Bab 13 Godaan 13
01/06/2025
14 Bab 14 Godaan
03/06/2025
15 Bab 15 Godaan
04/06/2025
16 Bab 16 Godaan
04/06/2025
17 Bab 17 Godaan
11/06/2025
18 Bab 18 Godaan
11/06/2025
19 Bab 19 Godaan
11/06/2025
20 Bab 20 Godaan
12/06/2025
21 Bab 21 Godaan
12/06/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY