/0/24027/coverbig.jpg?v=313234484b4830d23091694d3b77c83c)
Godaan Liar Sang Ustazah ini memuat unsur kedewasaan yang cukup eksplisit dan ditujukan khusus untuk pembaca berusia 21 tahun ke atas. Bukan untuk mengajak pada dosa, bukan pula untuk menghakimi siapa pun. Cerita ini hadir sebagai bentuk refleksi dan hiburan, menyentuh realita-realita yang mungkin jarang dibicarakan, namun nyata dalam kehidupan. Karena tak semua kisah hidup berjalan lurus dan suci seperti yang kita bayangkan. Di balik senyum, ada luka. Di balik keputusan, ada dilema. Dan di balik romansa, ada rindu yang tak selalu sederhana. Romantika hidup ini terlalu berharga untuk sekadar diabaikan. Kadang, justru dari cerita-cerita yang kita anggap "gelap" itulah, kita bisa menemukan cahaya: tentang siapa kita sebenarnya, dan apa yang sedang kita cari di dunia ini. Selamat membaca. Semoga ada yang bisa dipahami... dan barangkali juga ada banyak manfaatnya dari hanya sekedar hiburan semata. Mohon maaf jika banyak hal yang masih kurang nyaman untuk dibaca. Terima kasih.
Siang menjelang sore, angin berembus lembut menyusuri sela-sela daun. Riana dengan busana muslimah dan kerudung syar'I yang besar, duduk seorang diri di bawah pohon nangka tua di sudut belakang rumah megahnya.
Tempat itu sudah lama menjadi favoritnya. Destiansi paling damai untuk melepaskan lelah, atau sekadar menenangkan hati yang galau.
Dari situ, siapapun bisa melihat hamparan sawah yang seolah tak berujung, gunung menjulang tinggi di kejauhan, dan sungai berkelok yang memisahkan dua sisi kampung, seperti dua dunia berbeda yang dipisahkan oleh sungai raksasa.
Suasana rumah sedang sepi. Anak-anaknya tidur siang setelah makan, Bi Yati masih sibuk di dapur, dan Arga, suaminya masih di ladang bersama puluhan pegawainya. Sibuk mempersiapan panen perdana jagung dan ubi jalar organik yang rencana akan diekspor ke Singapura.
Riana menghela napas panjang. Tangannya meraih ponsel dari pangkuan, lalu membuka kontak. Ia menatap nama di layar sejenak sebelum akhirnya mengetuk tombol hijau. Erlin, sepupu sekaligus sahabt sejatinya sejak SMA dulu.
Tak perlu menunggu lama.
"Halo, sayaaaangg..." suara di seberang langsung menyapa ceria, khas Erlin yang selalu terdengar penuh semangat.
Riana tersenyum kecil. "Lagi ngapain, Nek?"
"Lagi nungguin anak-anak pulang sekolah... sambil maskeran, tahu gak, Ri. Pake lumpur laut mati. Hidup emak-emak kota yang sok sibuk banget ya!"
Riana terkekeh pelan. "Enak ya hidup kamu, kayaknya adem terus."
"Bohong banget itu kalimat. Hidup adem dari mana? Suami sering dinas luar kota, anak-anak makin cerewet, asisten malah kabur minggu lalu. Tapi ya udahlah, hidup tetap harus cantik!"
"Pantes kamu glowing terus..."
"Gak kayak kamu, glowing dari hati, Bu Ustazah. Gimana kabar di gunung sana?" goda Erlin.
Riana terdiam sejenak, lalu tertawa tipis. "Aku lagi di bawah pohon nangka, tempat pavorit kita. Biasa mau curhat nih... boleh, ya?"
"Oh wow, kalau kamu udah nyari pohon nangka, pasti curhatnya dalam dan berat, nih. Hahahaha."
Diam sejenak. Riana menarik napas, lalu mulai bicara pelan. "Aku capek, Lin. Capek... nahan semuanya sendiri. Seperti yang sering aku omongin, Mas Arga kayaknya makin parah banget. Kayak nggak ada tenaga sama sekali. Udah berobat ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Tetap loyo, hambar, seolah tak ada harapan lagi."
"Duh..." Erlin hanya berseru tertahan.
"Dan aku, Lin. Aku masih ngerasa hidup. Masih ngerasa butuh, gairahku masih menggebu-gebu. Masih ngerasa pengen dicium, dipeluk, dirayu, disentuh dan dipuaskan tentu saja."
Di seberang, Erlin tidak langsung menjawab. Ia tahu benar, ini bukan curhat biasa, suara Riana pun terdengar dangat pilu.
"Kamu masih normal, Ri," katanya akhirnya. "Sangat wajar, karena kamu perempuan dewasa. Istri yang masih muda, sehat, cantik. Punya kebutuhan, punya gairah. Yang gak normal itu kalau kamu pura-pura nggak punya lagi. Atau kamu bohongin diri sendiri."
Riana memejamkan mata. "Tapi aku malu, Lin... Aku ini......."
"Ustazah?" potong Erlin cepat, lalu tertawa. "Please deh. Gak semua orang religius itu aseksual. Kamu bukan malaikat, Ri. Kamu manusia biasa, istri, dan ibu. Gak dosa punya hasrat. Yang dosa itu kalau kamu nyakitin orang atau menyimpang."
"Tapi... aku takut. Takut lama-lama meledak, Lin. Aku gak tahu harus gimana?"
"Makanya kamu cerita. Aku selalu ada kok buat kamu. Tapi aku juga harus jujur... kalau Mas Arga gak berubah, dan kamu terus nyangkal perasaan kamu sendiri, kamu bisa hancur pelan-pelan. Aku tahu kamu kuat, tapi kamu juga punya batas."
Riana terdiam. Langit biru di atas kepalanya tampak begitu damai, tapi dadanya sesak oleh badai kecil yang tak kunjung reda.
"Ri..." suara Erlin kembali terdengar lembut, "kamu harus mulai pikirin cara untuk tetap waras tanpa harus menyakiti siapa pun. Kalau kamu butuh liburan, kabur sebentar, atau sekadar nginep ke Batam, di tempatku, bawa anak-anak, datang aja. Atau... kamu bisa atur ke psikolog, atau apapun yang bikin kamu lega."
"Terima kasih, Lin... Kamu tahu nggak, kadang aku cuma butuh denger kalimat kayak gitu. Yang bikin aku ngerasa gak sendirian. Aku kangen kamu datang ke rumahku, kita bisa ketawa-ketiwi lagi di sawah."
"Kamu gak sendirian, Ri. Walau saat ini kita jauh, aku akan selalu ada buatmu."
Siang makin merangkak menuju sore. Angin yang tadi hangat perlahan berubah menjadi sejuk, membelai jilbab Riana yang sebagian melayang-layang. Ia masih duduk di bawah pohon nangka, ponsel menempel di telinga, suara Erlin masih mengalir dari seberang, menemani kesendiriannya yang terasa lebih ringan sejak tadi curhat.
Setelah topik soal Arga mulai mereda, pembicaraan mereka pun ngalor ngidul. Dari keluhan jadi ibu dua anak, tren skincare terbaru, gosip artis yang viral, sampai drama tetangga Erlin di Batam yang selingkuh dengan guru les anaknya.
"Serius, Ri, emak-emak sekarang serem. Udah kayak sinetron stripping," kata Erlin sambil tergelak.
Riana ikut tertawa kecil. "Kamu juga kan suka drama. Bedanya kamu nonton, bukan main peran."
"Eh siapa tahu suatu hari nanti, aku main juga. Tapi bukan sebagai pelakor ya, paling jadi... detektif."
Riana hanya menggeleng sambil senyum-senyum.
Sampai akhirnya, setelah jeda yang agak panjang, suara Riana terdengar lebih pelan. "Lin... sebenernya aku tuh... akhir-akhir ini... suka kepikiran seseorang."
"Lho? Maksudnya?" tanya Erlin cepat, nadanya berubah jadi waspada sekaligus penasaran.
"Entah ya... mungkin karena aku lagi kosong, lama kesepian, atau karena... ya gitu deh. Tapi aku ngerasa... aku jadi mikirin terus orang itu, sampai kebawa mimpi."
"Eh, eh, eh... ini mulai seru nih," kata Erlin antusias. "Mantan SMA? Jangan bilang si Reihard? Ih, dulu kamu tuh tergila-gila banget sama dia..."
"Bukan!" Riana langsung membantah cepat.
"Atau... Mas Arif? Dulu anak himpunan kampus yang suka anterin kamu tiap pulang kajian kan?"
"Bukan juga, Lin, aku malah gak tahu dimana dia sekarang..." Riana terdengar makin gelisah.
"Hmm..." suara Erlin terdengar seperti sedang menahan tawa. "Kalau bukan mantan... jangan-jangan... Dodi?"
Riana tercekat. "Apaan sih... Dodi mah masih kecil!"
"Eh jangan salah, dia udah pemuda loh. Lumayan manis, ganteng. Badannya juga udah kaya pendekar, tinggi, tegap. Pasti suka curi-curi pandang pas nganter kamu, ngaku deh..." goda Erlin dengan nada geli dan menggoda.
"Lin... please!" Riana memijit pelipisnya, separuh kesal, separuh malu.
Erlin malah tambah menjadi. "Atau... astaga... jangan bilang... Bah Duloh loh! Yang sering kamu bangga-banggain itu. Yang kamu bilang semangatnya kayak anak muda. Yang kamu sebut 'jimat kampung' segala."
"Erliiin!"
"Aduh, jangan ya Ri... tolong... jangan bilang kamu terobsesi sama aki-aki itu."
Riana langsung meremas rok panjang yang menutupi lututnya. Mukanya memerah seketika.
"Gila aja kamu, Lin... sumpah kamu tuh kalo ngomong suka....."
"Eh jangan marah dulu dong, Sayang... aku cuma bercanda and nebak. Tapi cara kamu diam itu... hmm... mencurigakan, hahahaha."
"Ya ampun Erlin... aku tuh... nggak tahu harus bilang apa. Yang jelas bukan mereka. Aku cuma lagi... kacau. Mungkin cuma butuh perhatian aja. Udah ah!"
"Oke, oke. Aku nggak akan maksa. Tapi kamu harus janji satu hal."
"Apaan?"
"Jangan main api. Aku gak mau lihat kamu jatuh ke tempat yang salah cuma karena kesepian. Terus berdoa semoag Mas Agra segera sembuh dari petakanya."
Riana menghela napas. Lama. "Aku tahu, Lin. Makasih udah dengerin aku."
"Kapan pun, sayang. Kamu tahu ponsel dan bahkan pintu rumahku selalu terbuka. Dan mulutku... ya biasanya sih gak terlalu terbuka ke orang lain. Rahasiamu aman, kok."
Mereka tertawa pelan bersama. Obrolan pun perlahan ditutup, bukan karena topik selesai, tapi karena anak-anak sudah mulai bangun, dan Bi Yati mulai memanggil dari dapur.
Riana menatap ponsel di tangannya, lalu mengangkat wajah menatap langit yang mulai berubah warna. Entah kenapa, tebakan Erlin soal Dodi terus bergema di kepalanya. Padahal ia tidak bilang apa-apa. Tapi... dari semua tebakan itu, kenapa yang satu itu membuat jantungnya berdebar lebih cepat?
Setelah obrolan panjang dengan Erlin yang masih membekas di kepala, Riana mencoba mengalihkan pikirannya dengan aktivitas ringan. Ia mengambil selang dari samping rumah, mulai menyiram bunga-bunga di halaman depan. Anggrek, mawar, melati, dan beberapa tanaman hias gantung yang tumbuh subur berkat tangan dinginnya.
Air menyembur lembut, membasahi dedaunan dan kelopak-kelopak bunga yang bermekaran. Tapi pandangan Riana justru tak fokus pada tanaman.
Di samping garasi, Dodi sedang mencuci mobil Fortuner putih. Celana pendek dan kaos oblong yang dikenakannya sudah agak basah, menempel di tubuh. Keringat bercampur cipratan air membuat kulit Dodi terlihat lebih mengilap di bawah cahaya senja.
Otot lengannya tampak tegas saat ia menggosok kap mobil dengan sabun busa, dan sesekali rambut depannya ia sapu ke belakang karena terhalang pandangan. Bahkan tonjolan di selangkangannya sesekali menampakan wujurdnya, saat dia menarik tangannay ke atas.
Riana mencoba tetap tenang, namun ekor matanya jelas memperhatikan gerak-gerik pemuda 25 tahun itu. Nafasnya tak seirama dengan irama selang yang ia genggam. Ada detak tak biasa yang mulai menyusup perlahan.
Dodi, meskipun hanya 'anak kampung sini,' justru jadi sosok paling diandalkan oleh Arga. Ia bukan sekadar sopir, tapi hampir seperti tangan kanan dalam mengelola kebun dan para pekerja. Disiplin, cekatan, dan dikenal jujur. Dan Riana tahu betul, di antara para pekerja, hanya Dodi yang sering ikut Arga berdiskusi soal strategi, pembagian lahan, bahkan pemasaran hasil panen.
Dodi bukan pemuda kampung sembarangan, dia lulusan STM Pertanian.
Namun yang membuat Riana saat ini tak bisa mengalihkan pandangannya... bukan soal kerja keras Dodi. Tapi postur tegapnya, sorot matanya yang tenang, dan cara ia menyeka pelipis dengan t-shirt basah itu, entah kenapa terasa terlalu jantan, terlalu macho dan laki banget.
Selang air yang dipegang Riana sempat mengarah tak tentu, membuat rok panjangnya sedikit basah karena terpental dari tanah. Ia buru-buru mematikan keran, lalu menarik napas panjang. Berpura-pura sibuk membetulkan pot yang sudah rapi.
Dodi melirik sekilas ke arahnya dan tersenyum sopan. "Bu, airnya muncrat ke sini, loh," katanya beranda santai.
Riana gugup, tersenyum kaku. "Maaf, Dod, ibu nggak sengaja."
"Gak apa-apa, Bu. Kalau Ibu yang muncratin mah... saya ikhlas," jawab Dodi cepat, lalu tertawa kecil sambil kembali membasuh mobil.
Riana terdiam. Ucapan sederhana itu, entah kenapa terdengar seperti godaan yang dibungkus canda. Tapi juga bisa jadi hanya gurauan biasa bagi anak-anak kampung sini.
Ia buru-buru masuk ke rumah, padahal belum semua bunga tersiram.
Dadanya masih berdegup pelan, bertanya-tanya mengapa akhir-akhir ini godaan itu seolah datang silih berganti dari berbagai arah.
^*^
"Hasrat Ayah Tiri Perkasa" Di balik wajah teduhnya, Om Farhat menyimpan bara hasrat yang tak pernah ia ungkap. Sebagai suami baru ibunya, kehadirannya di rumah seharusnya menjadi pelindung bagi Naya, gadis remaja yang masih mencari jati diri. Namun, batas-batas kesopanan mulai kabur ketika perhatian kecil berubah menjadi tatapan berbeda, sentuhan ringan menjadi godaan terlarang. Naya terjebak dalam pusaran perasaan yang membingungkan-antara benci, penasaran, dan ketertarikan yang tak bisa ia sangkal. Sementara Pak Bram, dengan wibawa dan kekuatan yang dimilikinya, terus bermain di ambang dosa dan kehormatan. Mampukah mereka mengendalikan hasrat yang semakin membara? Ataukah mereka akan terjerumus dalam hubungan yang mengancam kehancuran keluarga?
"Aku kehilangan istri, anak, dan harga diriku. Tapi malam itu... aku menemukan kembali siapa diriku sebenarnya." Ketika sebuah surat menghancurkan hidupnya, Jovan terseret ke dalam pusaran kenangan, dendam, dan nafsu. Dalam pelariannya mencari jawaban, ia justru menemukan kekuatan untuk bangkit-dan jejak bayang istri yang telah menghancurkan segalanya. Pemburu Nafsu – Jejak Bayang Istri yang Kabur Sebuah kisah lelaki yang terjerat masa lalu, dan perjuangannya untuk menemukan kebenaran... walau harus menantang batas dirinya sendiri.
“Good, kamu juga bisa mengelaborasi tugas itu, yang penting misi utama tidak terabaikan. Ingat kita hanya waktu maksimal tujuh bulan!” “Siap komandan!” “Kamu mesti tahu bahwa Madam Elva tidak sembarangan ngambil anak buah. Dia bukan germo kelas bawah yang menipu anak gadis di kampung buat dijual di kota. Ya, mungkin dia pernah atau masih juga begitu sih, dengar-dengar jaringannya menyediakan buat semua pangsa pasar.” Nikita masih terdiam menyimak. “Itu nanti kamu cari tahu saja. Yang jelas banyak anak buahnya itu high class, dan punya profesi utama bukan hanya sebagai pelacur: Ada yang masih mahasiswi, wartawan, sekretaris, perawat, atau malah istri orang yang diabaikan suaminya. Kamu bisa paham kan tipe seperti apa orang-orang yang bekerja sama dengan kamu nantinya.” Kompol Rudy menambahkan,
"Usir wanita ini keluar!" "Lempar wanita ini ke laut!" Saat dia tidak mengetahui identitas Dewi Nayaka yang sebenarnya, Kusuma Hadi mengabaikan wanita tersebut. Sekretaris Kusuma mengingatkan"Tuan Hadi, wanita itu adalah istri Anda,". Mendengar hal itu, Kusuma memberinya tatapan dingin dan mengeluh, "Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?" Sejak saat itu, Kusuma sangat memanjakannya. Semua orang tidak menyangka bahwa mereka akan bercerai.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Pernikahan itu seharusnya dilakukan demi kenyamanan, tapi Carrie melakukan kesalahan dengan jatuh cinta pada Kristopher. Ketika tiba saatnya dia sangat membutuhkannya, suaminya itu menemani wanita lain. Cukup sudah. Carrie memilih menceraikan Kristopher dan melanjutkan hidupnya. Hanya ketika dia pergi barulah Kristopher menyadari betapa pentingnya wanita itu baginya. Di hadapan para pengagum mantan istrinya yang tak terhitung jumlahnya, Kristopher menawarinya 40 miliar rupiah dan mengusulkan kesepakatan baru. "Ayo menikah lagi."
Ketika mereka masih kecil, Deddy menyelamatkan nyawa Nayla. Bertahun-tahun kemudian, setelah Deddy berakhir dalam keadaan koma akibat kecelakaan mobil, Nayla menikah dengannya tanpa berpikir dua kali dan bahkan menggunakan pengetahuan medisnya untuk menyembuhkannya. Selama dua tahun, Nayla setia, mencari kasih sayangnya dan ingin melunasi utang budinya yang menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi ketika cinta pertama Deddy kembali, Nayla, yang dihadapkan dengan perceraian, tidak ragu untuk menandatangani surat perceraian. Meskipun dicap sebagai barang bekas, hanya sedikit yang tahu bakatnya yang sebenarnya. Dia adalah seorang pengemudi mobil balap, seorang desainer terkenal, seorang peretas jenius, dan seorang dokter ahli. Menyesali keputusannya, Deddy memohon pengampunannya. Pada saat ini, seorang CEO yang menawan turun tangan, memeluk Nayla dan menyatakan, "Enyah! Dia adalah istriku!" Terkejut, Nayla berseru, "Apa katamu?"