ah di Desa Sukatani ketika aroma bawang p
endidih di atas kompor, ulekan saling beradu dengan batu cobek, dan suar
i bintang dalam tiap keramaian, sedang mengiri
tuknya, jangan-jangan, sama kaya punya Pak Arga segini juga ya? Hihihi
ian pura-pura sibuk sambil menahan tawa. Biar bagaimana pun Riana adalah istrinya Arga s
arurat tuh, Bu Ustaz. Ini terong gak kaleng-kaleng.
ulai memerah. "Ah, emak-emak ini, sukanya ngomongnya ke situ-si
n', ikut nimbrung, "Terong itu banyak manfaatnya, loh! Bikin awet muda, kence
sih lebih percaya sama serum dan salon, ya. Tapi ya... boleh lah nanti coba makan
uh mele
, tapi ibu-ibu yang lain nyebutn
oleh. Tatapannya tajam seperti pisau. Mulutnya mencibir t
, iya bener! Aku tuh mau ngomong, tapi gak enak ada
polosnya, malah menimpali, "Mbak Mia, emangnya itu terong dari kebun Ustaz Basri? L
ama Bi Yati tuh!" sahut Mbak Mia denga
sri' tuh... yaa itu... konon katanya, punya Ustaz Basri tuh seg
agi. Tapi tida
kaget, meski ekspresiny
AN
i membeku. Mbak Mia berdiri berkacak pinggang, n
. "Apa sih untungnya kalian ngatain
ulekan. Tidak ada suara sendok. Han
satu per satu. "Apa salah Us
yang m
ak sendiri buat saya! Dia bantu ngajiin anak-anak kita, ngajarin kita baca Qur'an, k
"Mbak Mia, maaf ya... Bi Yati cuma be
, itu pelecehan! Kalau mau bercanda pun harus tahu batasnya! Coba Bi Y
ucat, ibu-ibu yang
ki kepedulian sama pendidikan agam anak-anak kita. Dia orang baik, ngajar ngaji anak kita deng
a? Lebih tinggi dari kita yang tiap kumpul cuma bisa gosip da
. Udah gak kuat di sini," pungka
ur. Suaranya makin jauh, tapi keheningan yang
erkata apa. Dapur yang tadi ramai kini jadi sunyi. Hanya suara p
Riana menoleh ke Bi Yati
ti, beneran punya Us
elagapan, mukanya merah. "A-a-aduuh Bu, saya cuma
iana sambil mengangkat al
-pura motong kol, ada yang pura-pura ngulek
iana akhirnya sambil menepuk dahi. "Kita
i senyuman masih meng
ng Basri'. Bener kata Mbak Mia, dia itu guru ngaji kita. Lagian., gimana
Bu Ustaz?" celetuk Mak Sari, disa
tawa. "Dasar emak-emak...
atas dulu ya, mau rebahan bentar. Dari kem
ak-emak kompak, sambil ma
ernyawa. Tawa-tawa kecil mulai bertebaran lagi, menggoda udara yang sej
meski tak sekeras sebelumnya. Ada rasa canggun
i dua. Wajahnya masih terlihat lelah, ta
ek, susulin gih Mbak Mia. Jangan dibiarkan dia pergi dengan hati panas. K
a menunjukkan rasa tak enak. Tadi mereka memang ikut menertawakan
ang, pura-pura tak mendengar, tapi
g tua, paling tenang, pali
edikit pucat. "Haduh..." desah
annya lembut, tapi hatinya teguh. Kalau sudah merasa dilecehkan atau orang terdekatny
inya yang maju, mungkin tak ada yang cuku
apur. Suasana di belakangnya masih hening. Ibu-ibu yang lain hanya menatap pungg
nggungnya sedikit pegal. Tapi pikirannya masih berkecamuk. Ia memejamkan mata se
li naik ke
i dapur sebelum naik kembali ke ke kamarnya. Ia menatap terong itu lekat-lekat, memiring
tanda tanya. 'Masa sih segede dan sepanj
ingat betul bagaimana tadi Bi Yati sempat gelagapan saat ditanya soal
di tangannya, meremasnya
ini kenapa mala
diri, rasa ingin tahu itu tak kunj
siapa. Hidupnya lurus. Cukup dengan Arga, lelaki satu-satunya yang i
dan ukuran", tapi juga karena keadaan suaminya. Ia bukan perempuan bodo
Riana tiba-tiba mengarah pada Bah Duloh, Dodi, Petugas Pake
erongnya Bah Duloh. Tidak sebesar terong yang sedang dipegangnya. Tapi mungki
ee
lahan. Riana refl
rpeleset, da
ya meluncur ke udara, j
ah!" te
*
mengandung adegan dewasa yang eksplisit tanpa sensor. Hanya