ara sejuk dari pegunungan di kejauhan menyelinap pelan di antara sela-sela dedaunan. Riana meng
kebiasaan kecil yang kini jadi semacam terapi jiwa di tengah
ke mana. Ada percakapan dengan Erlin beberapa hari lalu yang belum juga ia lupakan. Pe
s menoleh. Sebuah mobil logistik kecil berhenti tepat di depan pagar. Se
n berwarna hitam yang agak sempit membuat langkahnya tampak mantap namu
anyanya ramah sambil memb
aket. Namun sesuatu pada pria itu... entah postur tegapnya, tatapan matanya, atau cara dia men
elalu mengarah ke sana setiap b
ujung kerudung, berusaha tetap terlihat
Jakarta, ada tanda tangan ya," ucapnya sambil menyera
. Pria itu tampak tak menyadari, tersenyum ramah seperti biasa. Tapi tidak bagi Riana. Ada aliran aneh
." katanya, suaranya nyb pria itu, masih dengan senyum kecil yang memikat
masuk ke dalam rumah dan menenangkan diri. Ada rasa malu yang me
nangka besar di sudut halaman. Tapi bayangan pria tadi masih melekat dalam
inya mulai berubah? Atau selama ini ia hanya terla
awar yang belum mekar. Tapi kali ini, hatinya yang seperti t
aju masuk ke halaman rumah yang luas itu. Debu tanah berterbanga
n samping dan belakang motor. Kedua motor itu berhenti di dekat dapur
egawai minimarket langganan yang biasa mengantarkan be
elepas helm dan menurunkan karung pertama. Senyumnya
kalian nyampenya," jawab Riana
bi, sambil ikut menurunkan barang belanjaan dari motornya. Kaos hitam yang dikenakannya sedikit b
kecil-kecilan aja. Pak Arga kan baru ekspor p
Julian, tapi tatapannya bukan ke arah rumah atau barang-barang, melainkan ke arah da
g. Sesekali Riana menangkap lirikan mereka di sudut matanya. Cara mereka bicara pun jadi lebih santai dari biasa
ini, anak dua, tapi masih kayak cewek baru nikah," cele
tipis. "Ah, kalian ada-ada aja. Mungkin karena saya sering kena air w
wudhu harus dikemas dan dijual,
kecil dalam dirinya. Getar yang tak sepenuhnya bisa ia tolak. Apakah karena sudah terlalu lama hidup tanpa pu
ang. Riana pura-pura sibuk membuka catatan untuk mengecek barang, padahal pikirannya mulai berkelana tak tentu arah
r Raisa dan Rayhan ke sekolah. Di rumah
lai tidak karuan. Tapi kenyataannya, batas antara godaan dan rasa ingin dihargai terasa mak
iring makanan kecil yang tadi pagi sempat dibuatnya. Pisang goreng hangat dan kue talam da
r. Kalian pasti belum sempat istirahat dari p
opi langsung dari Bu Ustazah," kata Robi sambil t
aih satu potong pisang goreng. "Kalo begini m
menyibukkan diri menyuap sedikit kue talam, agar tak terlalu canggung mengha
ca, bahkan tentang jagung yang katanya laku keras di Singapura. Tapi lama-
nya nggak berubah dari pertama kali kita antar belanjaan ke s
ta suka salfok liat Ibu jalan dari bal
rasa geli sendiri. Ia tahu, kata-kata itu berlebihan. Tapi di sisi lain... ada rasa yang menyeruak dalam dada
arahin sama pacar kalian lho,"
ya siapa-siapa. Cuma bisa kagum dari jauh," balas Julian,
ketegangan. Tatapan mereka terlalu terang, terlalu berani. Bahkan gelak tawa yang terden
kan cangkir yang sudah kosong. "Udah ya, kalian la
a pintu pagar depan terdengar terbuka. Tawa kecil anak-an
iring Raisa dan Rayhan masuk. Suara itu seperti angin seg
Bi Yati dengan senyum yang terasa jauh lebih natural dibanding sebelumnya. Robi d
g tampak biasa, tapi menyimpan bara yang bisa menjalar sewaktu-waktu. Ia tersenyum send
in
si muncul dar
, Bu Ustazah, hari
a me
enyuman Julian dan Robi, tatapan mereka yang terla
yar beberapa detik, lalu dengan s
amun kepalanya tetap riuh. Bukan karena pesan itu terlalu penting. Tapi kar
Riana men
*