jatuh menimpaku, menyebabkan gegar otak ringan, hanya untuk melengkapi hari yang sempurna. Namaku Arya, hampir tiga puluh, sebuah usia di mana orang-orang seharusnya sudah punya karier mapan, renc
pertinya aku sendiri adalah pembawa sialnya, sebuah anomali magnetis yang secara
di tengah jalan-kemudian mogok di tengah jalan lagi. Tepatnya, di depan genangan air raksasa yang baru saja disiram bus kota, membuatku basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dengan pakaian yang kini mirip habis memenangkan lomba menyelam di selokan, aku menatap email penolakan kerja ke-17 bulan ini di layar ponsel yang retak, yang layarnya juga sepertinya ikut meratapi nasi
ng menempel di dinding seperti lumut purba, sisa-sisa makanan yang lupa dibuang entah sejak kapan dan kini berevolusi menjadi ekosistem baru, dan mungkin sedikit bau keputusasaan yang menguar dari setiap pori-pori, menempel di udara
a lagi yang kau punya untukku? Gempa bumi lokal? Invasi alien yang hanya menargetkan apartemenku ini? Atau mungk
rlalu bagus untuk Arya". Interiornya minimalis, dengan sentuhan tanaman hijau di mana-mana yang terlihat sangat mahal dan terawat, dan kopi yang harganya bisa untuk makan tiga kali di warteg l
h melihatnya di berita, di acara talkshow eksklusif yang hanya bisa kutonton di TV tetangga, bahkan mungkin di mimpiku setelah aku terlalu banyak minum kopi murahan. Rambut hitamnya selalu sempurna, seolah setiap helainya sudah diikat janji suci untuk tidak pernah berantakan, bahk
pul majalah Forbes edisi terbaru, lengkap dengan senyum smug dan jam tangan seharga motor bututku. Aku? Aku bahkan tak bisa membuat janji dengan tukang cukur tanpa drama, apalagi berdialog dengan orang selevel itu tanpa gagap dan menumpahkan minuman. Dia adalah berlian yang
pada diriku sendiri, dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Sudah miskin, sekarang jadi penguntit kafe. Hidupku benar-benar
reka yang tak pernah habis dan selalu tersedia), muncul dengan beberapa kaleng bir murah. Mereka datang menagih utang, tentu saja-utang, utang janji yang tak pernah kutepati-tapi be
p lo ini... inspirasi buat orang-orang yang merasa hidupnya buruk. Mereka bisa lihat
r yang rasanya seperti air cucian piring fermentasi, dengan
ke bawah. Di sana, seekor anjing kampung kurus dengan bulu cokelat kusam sedang mengais-ngais sisa makanan
yang baru saja mendapat wahyu dari dewa keberuntungan. "Gue dengar, kalau lagi sial banget,
uat para dewa pun bergidik. "Lo waras? Itu anjing liar, Jon! Bisa kena rabies, kencing nanah, ata
g di ambang keputusan penting hidup atau mati, atau setidaknya di ambang memenangkan lotre. "Ayo,
u memandangi anjing itu, lalu ke wajah-wajah tak tahu malu teman-temanku yang menunggu dengan antusias, seolah mereka sedang menonton pertunjukan sirkus gratis. Apa lagi yang b
u seolah aku baru saja menawarkan kontrak film Hollywood atau setidaknya sebungkus sosis. Aku berjongkok di depannya. Aroma sampah, bulu basah, dan entah apa lagi,
UR
at, bahkan mungkin ingin memuntahkan seluruh isi perutku sampai ke usus buntu. Anjing itu hanya menatapku dengan bingung, lalu menggelengkan kepalanya dan kembali mengais sampah, seolah aku adalah manusia paling aneh yang pernah
dan terbang ke planet lain. "Ini adalah titik terendahku! Titik nol! Kalau setelah ini aku tidak jadi miliarder, aku akan gen
, aku tidur dengan mimpi buruk tentang anjing yang mengejarku dengan lidah menjulur, menuntut jilatan balasan, dan Sarah Wijaya yang menatapku dengan tatapan jijik. Aku tidak tahu bahwa, jauh di lubuk hatiku, insiden menjilat anjing itu adalah detonator sebuah bom waktu k