an yang hangat. Karina buru-buru menyibakkan rambutnya yang berantakan, berusaha menata diri seolah tak ada yang baru saja
memaksakan senyum, tapi senyum itu jelas terlalu dipaksakan, sepe
kinya berat, penuh arti, seperti sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Ketika pintu kamar tertutup r
Ada kecemasan yang perlahan membesar, rasa bersalah yang memb
ris tak terdengar. Tubuhnya masih gemetar, sis
ng sedang bergolak. "Kita harus lebih hati-hati," katanya dengan suara tegas
ia yang bila terbongkar, akan menghancurkan semuanya. Bukan hanya
ti ada beban tak kasat mata yang terus menghimpitnya. Jantungnya berdetak tak beraturan, iramanya kacau seperti drum yang dipukul tanpa
mencengkeramnya, seperti tang
ngi dengan kepura-puraan. Tatapan yang tadi dilemparkannya bukan tata
terpejam, berharap bisa menenangkan pikirannya yang terus berputar liar, mengulang kejadian di ruang tamu berula
buka mengagetkannya. Karin
angkah pelan mendekati Karina, mengulurkan tangan dan menyentuh bahunya dengan lembut. Namun, saat tangannya
tanyanya dengan suara l
di wajah Abraham, ketakutan yang mereka simpan bersama, s
ya lirih, suaranya bergeta
ebal, Abraham tetap berusaha menjadi jangkar di tengah badai itu. Ia dudu
ia menemukan tempat bernaung sementara, tempat aman untuk beristirahat meski hanya sebentar. Abrah
pasti, bukan?" ucap Abraham dengan suara p
belum sepenuhnya hilang, tapi kehadiran Abraham di sampi
yang tergerai menyentuh bantal dengan halus, sementara matanya terus menatap pria di hadapannya. Tatapa
mbut yang mencoba menenangkan badai emosi yang baru saja mereka lalui. Keheningan yang tadi terasa mencekam
Abraham lembut di telinga Karina, sebelum bibirn
ini, dalam kehangatan sentuhan Abraham, ia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam perasaan