Henry memejamkan mata, tangannya meremas pinggang Karina lebih erat. "K-Karina..." gumamnya tertahan. "Kamu gila..."
Karina tak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu kembali menggoyang dengan lebih dalam, lebih cepat, membuat tubuhnya melengkung karena dorongan sensasi yang merambat dari bawah perutnya hingga ke dada. "Hahh... aahh..." desahannya makin terdengar jelas, tak lagi tertahan, mengalir bebas seiring gerakan yang semakin liar namun tetap indah.
"Ahh... ahh... Henry...," Karina mendesah sambil mendongak, rambutnya tergerai ke belakang, keringat menetes di lehernya yang berkilau.
Henry membuka matanya sebentar, menatap Karina dari bawah, melihat bagaimana tubuhnya melengkung setiap kali bergerak turun. "Kamu... gila enaknya... ahh... Karina... terus... jangan berhenti..."
"Aahh... ahh... ya... di situ..." suara Karina mulai pecah, tubuhnya bergetar, matanya mulai kehilangan fokus. Napasnya tersengal, dan setiap desahnya terdengar lebih dalam, seperti gelombang panas yang tak kunjung reda. Ia terus bergerak, memimpin ritme dengan tubuhnya yang lentur, setiap hentakan membawa mereka makin dekat ke tepi ledakan yang sudah lama tertahan.
Henry tak mampu lagi menahan suaranya. "Aahh... gila... Karina... kamu ngebuat aku... aahh..."
"Aahh... Henry... jangan... jangan berhenti... ya... ya..." suara Karina meninggi, dadanya naik turun cepat, tubuhnya mengejang sesaat sebelum meluruh lagi dalam pelukan Henry.
Ruangan kini dipenuhi dengan desahan, bisikan, dan suara tubuh yang masih bergerak pelan, menurunkan tempo sambil menjaga keintiman yang masih terasa membara. Di tengah panasnya suasana, hanya suara napas dan detak jantung yang tersisa, menandai betapa dalam mereka tenggelam dalam satu sama lain
***
Beberapa Minggu sebelum hari itu tiba...
Malam itu, Karina masih sibuk di dapur, merapikan sisa makan malam dengan telaten. Meja makan sudah bersih, tak ada yang tertinggal, kecuali aroma ayam panggang dan sambal tomat yang masih melekat di udara.
Tiba-tiba, sepasang tangan memeluknya dari belakang.
Tubuh Karina langsung kaku. Hidungnya menangkap aroma familiar, parfum pria, halus tapi tajam, menyelinap masuk ke napasnya tanpa izin.
Abraham.
Jantungnya berdetak tak karuan. Tangan yang semula bergerak teratur kini terhenti. Ia menahan napas, pikirannya berputar cepat mencari cara untuk bersikap biasa. Tapi begitu ia menoleh, yang ia temui hanya senyum nakal pria itu.
"Maaf, Pak... takut ada yang lihat," bisiknya, nyaris tak terdengar. Bukan karena malu, tapi karena sadar betapa gila situasi ini.
Abraham hanya tertawa kecil. Suaranya berat, santai, nyaris seperti sedang menggoda. "Maaf? Emangnya aku ngapain?"
Napasnya menyentuh telinga Karina, hangat dan dekat. Terlalu dekat. Lalu jemarinya menyusuri pipi Karina dengan lembut, seperti menyentuh udara.
"Pak... nanti ada yang lihat," ucap Karina, menunduk. Tangannya mencengkeram kain lap erat-erat, seolah bisa meredam getaran yang mulai menyebar dari dadanya.
"Rumah ini kosong, Karina," bisiknya. "Dan kamu... kamu cantik banget malam ini."
Karina terdiam. Lidahnya ingin menolak, ingin mengatakan bahwa ini salah. Tapi tubuhnya sudah lebih dulu menyerah. Ia tak bergerak. Tak menjauh. Bahkan tak berkedip.
"Aku serius, Pak... kalau ketahuan..."
"Karina," potong Abraham lembut, "berapa kali harus aku bilang... cukup panggil aku Abraham."
Suara itu. Tenang, tapi penuh tekanan halus. Setiap kali pria itu mendekat, logika Karina menguap entah ke mana. Yang tersisa cuma rasa. Campur aduk. Hangat, gugup, berbahaya. Dan anehnya... ia tak ingin lari.
"Abraham, gimana kalau kita ketahuan?" tanya Karina sambil menghela napas berat.
"Hmm, kita goyang di depan mereka aja, kasih tahu betapa panasnya permainan kita," jawab Abraham sambil tersenyum nakal.
"Sudahlah, berhenti main-main. Aku mau bersih-bersih, cepat selesaikan semua ini," balas Karina.
"Aku tunggu," kata Abraham tetap di tempatnya, memperhatikan selingkuhannya yang menjalani tugasnya sebelum nanti melayani dia di ranjang yang panas.
Akan tetapi, bukan Abraham jika tidak nakal. Ia benar-benar tak tahan melihat godaan yang ada. Belum sempat Karina menyelesaikan pekerjaannya, ia menarik tubuh wanita itu dan langsung mencium bibirnya dengan panas. Bibirnya segera menempel lembut pada bibir Karina dalam ciuman yang penuh gairah dan lama terpendam. Aroma kopi samar dari napas Karina berpadu dengan wangi khas tubuh Abraham, menciptakan keintiman yang hangat di ruang tamu yang hening.
Ciuman itu perlahan berubah jadi lebih dalam, bibir mereka saling mengecap dengan lembut lalu berganti menjadi sentuhan yang lebih ganas dan penuh nafsu. Lidah Abraham menyelip masuk, mengeksplorasi mulut Karina yang terbuka, sementara tangan-tangannya semakin menguasai, menggenggam dan meremas seolah tak ingin melepaskan.
Tangannya juga mulai bergerak nakal, menyusup ke dalam baju Karina, meremas dada wanita itu hingga Karina mendesah halus di sela ciuman.
Namun ketenangan itu segera pecah. Suara langkah kaki pelan terdengar menuruni tangga, mengejutkan mereka berdua. Jantung Karina dan Abraham berdetak kencang. Ciuman itu berhenti seketika, tubuh mereka membeku.
Henry, anak Abraham, muncul di ambang pintu. Matanya tertuju pada mereka dengan tatapan sulit diartikan.