pena yang tak bergerak di atas buku tebal. Harusnya ia fokus pada teori filsafat yang rumit di hadapannya, tapi pikirannya melayang jauh, menceritakan kemba
g selalu menular, tatapan mata yang tajam namun menenangkan, dan cara menjelaskan materi yang selalu berhasil membuat topik paling membosankan sekalipun terdengar menarik. Rambut hitamnya kadan
li berubah menjadi sedikit kikuk. Kata-kata yang biasanya mengalir lancar tiba-tiba macet di tenggorokannya, senyumnya terasa kaku, dan jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia mencoba menyembunyikan perasaannya, berpu
memilih kursi di barisan tengah agar bisa melihat Bima dengan jelas tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia mencatat setiap kata yang diucapkan Bima, bukan hanya materi kuliah, tapi juga le
i tangga dari lantai tiga. Tangannya penuh dengan buku dan laptop. Tanpa sengaja, kakinya tersandun
m khawatir. "Banyak-banyak bawa barang,
maskulin dan segar. Jantungnya berpacu lebih kencang dari biasanya. Sejak saat itu, setiap kali mereka berpapasan
Berputar di
m kuliah. Setiap lagu cinta yang didengarnya seolah bercerita tentang perasaannya. Setiap film romantis
g di kantin, sambil menyikut lengannya. "Dari
a lo kayak ada bintang-bintangny
gkal dengan lemah. "Apaan sih kalian! A
gkalnya. Kekaguman itu sudah berevolusi menjadi sesua
sesuatu yang bisa mengobati rasa penasarannya. Namun, Bima adalah orang yang cukup tertutup di dunia maya. Tidak ada akun pribadi yang ia temukan, hanya beberapa artikel mengenai kontribusinya
anya tentang materi yang tidak ia pahami (padahal ia sudah sangat memahaminya), atau meminta rekomendasi buku. Bima selalu me
padahal teman kelompoknya sudah bersedia mengantarkan. Ia berharap bisa bertemu Bima secara pribadi,
Pak," sapa
tipis terukir di bibirn
dari kelompok saya," kata Risa, menyema mengambil map itu. "S
ah,
tak seperti drum. Ia ingin mengatakan sesuatu, apa s
sedikit tentang tugas akhir nanti. Kira-kira topik apa
ehatan Mental Remaja' cukup menarik, Risa. Atau 'Peran Teknologi dalam Membangun Literasi Digital Masyaraka
k penelitian, menunjukkan betapa berdedikasinya ia pada bidangnya. "Saya... saya tertarik pada yang berk
nti kalau ada ide spesifik, jangan
Terima kas
rakhir. Namun, ia merasa ada secercah harapan. Bima sepertinya tidak keberatan dengan kehadirannya, ba
Balik K
ya. Setelah sekian lama, orang tua Risa, yang memang memiliki hubungan baik deng
u malam, di meja makan. "Ada kab
g pengusaha sukses dengan jaringan bisnis yang luas. Risa jarang bertemu de
a, dan mereka punya keinginan untuk
Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan mengalami hal seperti itu. Ia selalu
mana?" tanya Risa, suaranya te
ranya Om Surya yang dosen itu,
kap Bima, Bima Putra Wicaksono, tiba-tiba terdengar sangat familier. Selama ini ia hanya memanggilnya Pak
uar biasa. Ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan! Pria yang selama ini ia cintai
bar yang merekah di wajahnya. Ada campuran antara ra
ksi Risa. "Iya, Sayang. Kenapa?
a terdengar cicitan. Ia merasa sangat bahagia, hing
tidak pernah berinteraksi secara intens karena perbedaan usia yang cukup signifikan (Bima lebih tua delapan tahun dari Risa) dan kesibu
u Bima, entah itu di koridor atau di ruang kelas, ia merasa ada percikan kebahagiaan yang membakar jiwanya. Ia bahkan berani sedi
ra makan malam keluarga. Suasana canggung sempat menyelimuti Risa di awal, tapi kebahagiaannya lebih be
Bima di kampus, ya, Risa?" canda Ay
isa, adalah senyum persetujuan. Senyum yang mengatakan bahwa Bima juga bahagia dengan
g santai di teras belakang. "Gimana kuliahnya, R
mperbaiki panggilan, pipinya merona.
kalau begitu. Dosennya gala
yang baik banget," katanya sambil meliri
Tapi Risa mengabaikannya. Mungkin Bima hanya lelah, atau ia memang tipe orang yang tidak terlalu ekspresif. Risa terlalu larut dalam kebahagiaannya sendiri u
i Balik S
akukan, meskipun masih dalam tahap awal. Risa merasa di awang-awang. Ia seringkali memimpikan masa depannya
emang bersikap ramah, seperti biasa. Kadang-kadang ia akan mengirimkan pesan singkat untuk menanyakan kabar atau sekadar mengingatkan jadwal pertemuan kel
nya. "Mungkin dia ingin menjaga jarak karena statusnya sebagai dosen." Ia mencoba menepis kera
Bima, seorang dosen senior bernama Pak
sekali tidak melihat Bima seceria ini.
ut. "Se-cer
a sekarang terlihat lebih baik. Kamu beruntung mendapatkan Bima. Dia
an. "Masa su
ma sejak kuliah, bahkan berencana menikah. Tapi Clara meninggal karena kecelakaan mobil setahun
nah mencintai orang lain? Dan orang itu... meninggal? Mengapa Bima tidak
a fakta bahwa Bima menyembunyikan hal sebesar itu darinya. Ia akan menjadi istrinya! Bukankah
an yang menewaskan seorang wanita bernama Clara Anindita, seorang seniman muda berbakat. Ada foto-foto Bima di sana, dengan wajah y
an dikhianati. Selama ini, ia membangun istana pasir di atas kebohongan. Bima tidak mencintainya. Ia tahu itu sekarang. Bima ha
yang jauh, ketiadaan sentuhan hangat. Semua itu kini memiliki makna yang mengerikan. Bima
? Bagaimana mungkin ia begitu dibutakan oleh perasaannya sendiri hingga
yang harus
Keputusan Ta
ini berubah menjadi pendiam. Tawanya tak terdengar lagi. Senyumnya hanya tipis, seolah dipaksakan. Ia sering menyendiri, menghabis
m saat mereka sedang belajar kelompok. "Kok
ala. "Nggak apa-apa, kok, cu
kiran apa? Cerita aja, Ris.
g-agungkan ternyata adalah fatamorgana? Bahwa pria yang ia cintai ternyata masih mencintai mendiang
ha keras menampilkan wajah ceria, senyum yang dipaksakan, dan obrolan ringan yang terasa seperti beban berat. Bima, di sisi lain
berambut panjang. Wanita itu mengenakan gelang perak dengan liontin hati yang sama persis dengan yang ia lihat di foto-foto pemakaman Clara. Foto it
i. Kebahagiaan Bima saat bersamanya adalah ilusi. Bima tidak bahagia. Ia hanya sedang melanjutkan h
tunya jalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari kehancuran yang lebih dalam. Ia tidak bisa hidup
penuh, Risa tah
ng tuanya. Tas punggungnya sudah ia siapkan semalam. Di dalamnya hanya ada pakaian seadanya, beberapa buku, dan dompet kecil. Ia ti
Tujuannya adalah sebuah kota kecil di ujung pulau Jawa, tempat bibinya tinggal. Bibinya adalah seorang pelukis yang hidup tenang dan
ngis untuk semua kebahagiaan yang semu, untuk semua impian yang hancur, dan untuk cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ia tahu keputusannya ini akan menyakiti
idak peduli lagi. Yang ia pedulikan adalah dirinya sendiri, hatinya
n masa lalu yang penuh kepedihan itu. Ia akan menghilang, sepenuhnya. Ia akan belajar untuk mencintai dirinya sendiri lagi, dan mungkin, s
u tidak aneh, karena Risa tidak selalu mengiriminya pesan. Namun, ketika ia pergi ke dapur dan melihat orang tua Risa panik mencari putri mer
Papa d
tu untuk sendiri, untuk menyembuhkan diri. Jangan cari Risa.
cinta d
i
ang kali. Tidak ada nama Bima di sana. Tidak ada penjelasan. Hanya sebuah kepergian tanpa jejati ia mencintai Clara. Ia tahu ia masih menyimpan Clara di sudut hatinya. Ia tahu ia hanya menerima perjodohan ini karena ingin mencoba melanjutkan hidup, karen
dak menunggu
Penyesalan karena mungkin telah menyakiti Risa tanpa ia sadari. Penyesalan karena
cari tahu ke teman-teman Risa, tapi tidak ada yang tahu kemana
a belajarnya, ada sebuah buku filsafat yang terbuka. Di sebelahnya, ada selembar ke
senyum yan
ang perlah
p tatapmu
diriku yan
ernah tah
nyi di ba
nah melihat
g di das
kan langkah
jejak yang
ahaya di
an cinta y
dak pernah menyadari seberapa dalam Risa terluka. Ia terlalu sibuk dengan kesedihan
ya calon istrinya, tapi juga seorang gadis yang tulus mencintainya, dan yang kini telah pergi, membawa serta senyum dan tawa yang pernah ia miliki. Ia ti