n, langkah Alda terasa berat ketika melewati pekarangan rumah. Tak ada suara
a napas panjang. Jemarinya lemas membuka kerudungnya, menjatuhkannya begitu saja di atas ranjang, lalu dudu
tentang derita batinya. Ia tahu, Bah Duloh bukan kyai, bukan psikolog. Tapi ada sesuatu dalam diri Bah Du
ntal. Pikirannya melayang-layang, mencoba meredam gejolak yang sedari tadi menggunca
ra riuh di halaman depa
luar lewat celah jendela. Dodi sudah turun dari mobil, lalu membuka pintu belakang. Arga ik
imis dan rapi. Ia mengenakan kemeja kotak lengan panjang yang digulung sampai siku, celana jeans biru gelap, da
i mata yang teduh. Gaya berpakaiannya sederhana tapi bersih dan terawat. Bahkan dari jauh, aura 'anak b
enalin dulu ke istri saya," katanya, kemudian menoleh ke dalam r
, lalu melilitnya seadanya ke kepala tanpa cermin. Perasaannya masih tercekat, entah karena sisa perc
ga sudah berdiri di depan
dia akan bantu di lapangan. Penempatan di unit budidaya
pan. "Assalamuala
engkung sedikit, tidak sepenuhnya senyum, tapi c
Bu. Terima kasih sudah
n. "Tapi karena kamu dititip perushaan ke
agi. Ada sedikit kegugupan di wajahnya, seperti anak muda yang t
dua kamar kosong, kamu pilih aja. Biasanya dipakai mahasiswa magang ju
," jawab E
s, tapi tetap hormat. Tidak dibuat-buat. Tapi justru keso
ulu sama area sekitar. Besok ikut Pak Jamal ke lapa
ak," uj
t Elkan, ya," pinta Arga, lalu menoleh pada Al
h," jawa
Uun membawa nampan berisi dua
ta Mak Uun sambil
gap. "Terim
truksi membereskan kamar yang akan ditempati Elkan. Alda sempa
re itu berbeda. Langit belum berubah warna, tapi
ngar mendekat dari halaman depan. Derak roda besi menghantam kerikil dan tanah pekarangan yan
keluarlah seorang lelaki berperawakan kekar, berkulit legam, dengan topi lapangan dan sepatu bot. Wajahnya keras, tapi sorot
a lantang, berat, menggema
lam!" sahut A
gkit reflek. I
ini Elkan, yang mau magang di Afdeling Barat,"
wah, seolah sedang menilai barang baru. Tapi ekspresinya ti
ya nyali gak kamu, Dek?" tanyan
, lalu menjawab, "Say
ngan gampang ngeluh. Di lapangan, yang d
Elkan diam-diam. Ia tidak tahu kenapa, tapi mendengar suara Elkan berbicara tega
gidul, sementara Alda sudah
samping, biar Pak Jamal gampang koordinasi. Bes
medan." Jamal kembali menatap Elkan. "Bawa sepatu lapangan, ya. Dan jang
," jawab E
rah dapur, menyeka ta
k, Emak antar. Nanti bisa sekalian
ar Elkan cepat-cepat s
Dulu bekas gudang teh, kini sudah direnovasi jadi mess sederhana-bersih, terang, dan cuku
" kata Mak Uun sam
n dan pel menyambut segar. Seprai bergaris biru-putih baru d
, panggil aja Emak.
Terima kas
au betah, tiga bulan bi
itu. Masih tertinggal di ruang tamu-di tatapan singkat Bu
lda berdiri termenung, menatap ke arah mess di sebelah rumah. Tirai tipis di depannya bergoyang pelan tertiup angi
ah masuk kamar dan tidak lupa menutup pintu atau membuka jendela k
ejanya satu per satu. Tidak dengan gerakan menggoda, tidak juga sok gaya-ia hanya sedang
a terpaku adalah apa ya
t rata dengan garis otot yang samar namun jelas, bahu yang lebar dan proporsional. Bukan kekar berlebihan, tapi ter
p sosok asing dari jendela yang tak sengaja terbuka. Ia reflek mundur satug lebih rumit dari sekadar melihat tubuh muda laki-laki tak berbaju. Apa yang ba
bil mencoba menenangkan napas yang tak beraturan. Tapi bayangan dada Elkan yang
terjadi hanya dal
duduk di halaman depan, entah sedang membicarakan apa. Suara mereka m
iri sendiri, menahan detak jantung
ali ini ia tidak menangis, tidak pula gelisah seperti saat kembali dari gubug Bah Duloh. Tapi waj
erupai rasa... be
*
a ini pada daftar pustaka
cerita yang paling ba
Cinta Gigo
manku
Nakal Ay
ihan Mam
Menantu
r Besan d
as Para