ndirian, kini begitu saja pasrah pada takdir yang ditentukan orang lain. Ia menerima pe
yang diam-diam ia bungkus dengan senyum tipis? Mungkin juga jalan pintas, untuk keluar dari p
n tipe yang mengeluh, selalu bisa bersyukur pada keadaan meski sulit. Tapi mengapa kini ia ta
rnya, ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Hal-hal yang masih ber
mungkin hanya topeng dari kebahagiaan palsu. Enggan melihat perjodohan itu dijadikan
s tercekat. Sebenarny aku yakin, ayah dan ibu tidak akan pernah menyetujui perjodohanku dengan lelaki tua
h Merlin dan Faldo, yang selama ini tak ubahnya kucing d
gan itu sudah berubah. Mereka kini satu keluarga. Bagaimana mungkin permusuhan
bahwa wanita yang akan dinikahi ayahnya adalah Merlin. Atau justru... ia tahu,
aldo mengajakku bertemu kembali di sebuah café kecil dekat kampus. Suasanany
nggaruk kepala, ekspresinya campur kaget dan geli.
ap di benaknya, tapi kesempatan bicara baru ada s
asa dia bener-bener jadi ibu tiriku, Rin. Lagi
nyum tipis. Rasanya aneh sekaligus
kali ini. "Tapi sekarang... aku cuma pengen kita kembali
njang, menata kata-k
aja. Aku nggak sanggup pacaran sama anak tiri sahabatku sendiri
rbayangkan pacaran apalagi menjadi menant
s membayang di wajahnya, tapi aku j
erti. Memang
sakit. Kami sepakat berpisah baik-baik, tanpa drama. Kali ini be
ri cewek di kampusmu atau di mana saja," ucapku lirih saat berj
ng atau susah, Rin. Bukan soal dekat atau jauh. Cinta itu soal hati. Beda kampus...
menusuk, mengguncang pertahanan yang sudah susah payah kubangun. Napas
r mataku tak mengkhianati ketidakteguhan hati. "Tapi... ini soal
di tipis sekali, tap
en jujur. Aku nggak mau kamu salah paham soal per
dalam, jantung masi
i. Aku cuma nggak mau bikin kita ribet, atau bikin orang sa
api itu nggak mengubah rasa cinta dan perhatian aku
ng, lega sekaligus sesak
un sebelum menyalakan mesin, ia menoleh
mal... dan hati kita masih sama, ak
a mampu mengangguk pelan, menatap punggungnya yang kian menjauh.
i dengan pernikahan Merlin dan Pak
iasa saja, orang lalu-lalang, suara klakson, pedagang gorengan memangg
i Farid tersenyum ramah di balik seti
Kebetulan saya baru selesa
Dua anak buahnya duduk di bak belakang, sibuk menjaga barang-
ya, saya mau pulan
n," ujarnya sambil
ng depan. Wangi keringat bercampur par
dengan santai, sesekali melirikku lewat kaca spion. Tatapannya s
u hendak membuka pintu, ia menyelipkan sebuah amplop
eng Erina dan adi
sleting tas. Amplop itu terasa
ar, bingung antara lega,
kasih, P
, namun matanya tetap menatapku pe
an, meninggalkan bau solar dan debu jalanan. Langkahku
pa aku merasa seolah ada benan
ubuhku rebah sebentar, tapi pikiran tak mau diam. Rasanya masih terbayang-bayang
itu terselip rapi di antara buku catatan. Warna cokelatn
n kemarin, Erwan dan Enda sangat dimanjakannya. Beliau pun tetap tak
menutup rapat-rapat. Kugenggam di tangan, lalu kuletakka
asa? Atau... tanda lain yan
ahun itu? Apakah benar nenek sudah melupakannya? Atau ma
*
ya jika tidak siap mental mendapat kejutan-ke

GOOGLE PLAY