a hari
a. Keringat mengalir di pelipisnya saat ia menghela napas panjang, meletakkan sabit
musibah. Dia sangat ingin membantu, namun persyaratan itu terlalu besar risi
sung sekejap. Tiba-tiba terdengar s
ualaikum
sudah berdiri di hadapannya dengan pakain muslimahnya. Membawa rantang makanan. Padahal istri majikanny
ari kaosnya yang entah tergeletak di mana. Tubuh tuanya yang keriput dan kurus-meng
ng?" tanya Bah
ng nganterin makanan buat Abah," lanjut Alda sambil tersenyum lembut, t
erkebunan itu selalu mengantar makanan pada Bah
u pake caping, kan panas?" tanya Bah Duloh sambil tergopoh
gubug kebun. Suasana di dalam terasa hening. Hanya suara angin yang m
air kopi yang dimasukan ke dalam botol air mineral, lalu menuangk
ih canggung, berusaha fokus pada makanan di depannya. Tapi entah
n tiba-tiba datang siang bolong b
ngan Bah Duloh, Alda m
a lirih, hampir
nggu lanjutan ucapan is
rita sesuatu," Alda menundu
ludah makin dag-di
n..." Alda menggantungkan kalimat
na arah pembicaraan Alda. Sebuah kabar yang seharusnya tidak dia dengar d
seolah sedang mencari k
lda akhirnya, masih dengan suara pelan, tapi cukup jelas
dia masih sehat." Bah Duloh bertan
ca-kaca. "Mas... Arga lemah syahwat
de
godam, benar-benar tak menduga Alda aka
pi pikirannya seperti kabur. Ia ingin memberikan solusi, tapi tak tahu harus berkata apa. Buk
an bercerai?
nak, saya juga udah pe
aa
meledak di tel
lum?" Suara Bah Duloh terasa mengamba
berobat, tapi gak ada
bicaraan macam apa?' tan
ngakuan Alda. Keringat yang tadinya hanya akibat pa
mentara Bah Duloh berusaha keras untuk tetap terlihat teBah Duloh terdengar lebih serak dari biasanya. Kepu
ri kan bukan boneka, tapi juga punya kebutuhan batin. Bahkan
E
mbar genteng rumah di musim kemarau. Napasnya tercekat, kepalanya langsu
Tapi ya, ya itu... Ya, gimana ya...?" Ba
mencondongkan tubuhnya sedikit. "Makanya, Ba
ikannya. Aroma yang biasanya hanya lewat sekilas ketika ia sesek
mungkin... mungkin minta didoakan ke kyai aja du
Bah... Gak ada perubah
ambu, piring, dan ke arah kakinya yang masih banyak tanahnya. Lalu berdeham, berusa
ma butuh tempat buat ngeluh, bukan buat nyari solusi. Abah su
tuanya gemetar saat menyentuh
g sabar ya, Neng
angkit. "Saya tahu Abah pasti bisa m
ntaan yang paling dia takutkan,
erin keluhan saya," katanya dengan senyum
atanya mengikuti langkah Alda yang kelu
dan jagung, Bah Duloh menyandarkan punggung ke dindi
gumamnya denga
k tangannya. Lalu rebahan telentang
justru dari majikan yang su
yang dirundung nestapa batin. Sudah banyak suami-istri yang datang padanya,
i jembatan, menjadi penyelamat rumah tangga yang mulai retak, menjadi p
ngkah terakhir yang tak pernah ia ceritakan secara gamblang. Syarat yang
menjadi bagian dari masalah-untuk menyerahkan diri, secara lahir maupun
bagian dari tirakat dan pengembalian energi yang diyak
hatinya dingin. Beku. Sebab kali ini yang datang bukan sembarang perempuan. Bukan pasie
n sekadar mantan buruh perkebunan, melainkan keluarga. Dua anak muda yang selalu menyapanya deng
yang tak bisa ditimbang dengan logika. Mereka ad
n itu datang ju
yelesaikan masalah itu hingga tuntas, ia harus menjalani satu tahap terakhir. Sebuah
ia jelaskan dengan kata-kata. Alda terlalu mulia dan agung untuk disentuh ole
tidak mungkin m
dah rapuh oleh waktu. Napasnya berat, seperti memikul dosa yang
.. andai saja bukan istrinya
i bukan pada batas kemampuan,
lu pernah ia lalui. Karena harga dari satu pertolongan, bisa
alu mahal untuk dibayar, bahkan o
a harga diri Arga dan Alda, dua mantan majikannya yang telah lama ia anggap seperti
aha dengan cara
*