ng dingin dan sepi, namun setidaknya Sintia memiliki ruang untuk bernapas, untuk merawat Dika, dan sesekali mencoba peruntungannya meluluhkan hati Rio. Kini, bahkan ruan
dan selalu mendukung Rio. Ia pandai berbicara, dengan senyum menawan yang mampu menyembunyikan niat sebenarnya. Nyonya Dirgantara, yang selalu mendambakan menantu dari kalangan terpandang, dengan cepat terpikat oleh pesona
ata-kata pedas, bahkan di depan Clara atau para pelayan. Seolah-olah, kehadiran Clara memberinya kekuatan dan alasan untuk semakin menekan Sintia.
rapa teman Rio dan relasi bisnis. Sintia, yang memang sudah merasa tidak nyaman, memilih
" tanya Rio, suaranya dingin dan menusuk. "Ka
"Maaf, Rio. Aku t
kan dirimu di depan tamu-tamu pentingku. Jangan pernah berpikir kau bisa bersembunyi t
n gaun sederhana dan wajah pucat, ia berjalan di samping Rio menuju ruang tamu yang penuh dengan
mah, namun ada nada terselubung di balik keramahann
Kau tahu, dia memang sedikit pemalu." Rio menekan kata 'p
ek tontonan yang sengaja dipamerkan untuk menegaskan dominasi Clara dan Rio. Ia merasa malu, terhina, dan sangat kecil. Sepanjang pesta, Sintia hanya berdiri di sudut
ahwa Rio dan Dika jarang berinteraksi. Jika Dika mendekati Rio, Clara akan segera mengalihkan perhatian Rio atau menyuruh pengasuh Dika, Bi Narsih, untuk menjauhkan Di
a, melihat Dika tertawa riang. Untuk sesaat, hati Rio merasa sedikit terusik. Ia merasakan dorongan samar untuk
u dengar ada restoran Italia baru yang sangat enak di pu
Oh, benarkah? Ide bagus, Clara. Aku
tidak menyadari bahwa ia baru saja kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan ayahnya. Rio p
ya ia melupakan putranya sendiri. Dika, yang begitu polos, tidak tahu betapa beruntungnya ia memiliki seorang ibu yang mencintainya tanpa syarat. Sintia s
ntukan, dan jaminan biaya pengobatan ibunya. Ia tidak boleh mengklaim hak atas harta Rio, bahkan tidak memiliki hak suara dalam keputusan penting keluarga. Yang paling menyakitkan, ia tidak diizinkan untuk mengganggu k
an kehidupan yang layak, setidaknya secara materi. Ia tahu, jika ia melawan, ia akan kehilangan segalanya. Rio terlalu berkuasa, dan ia tidak memili
at kembali malam terkutuk itu, mencoba mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas obat dan alkohol yang diberikan kepada Rio. Apakah ini memang hanya kecelakaan? Atau
tu. Prioritasnya saat ini adalah bertahan, melindungi D
idang desain grafis, sebuah keahlian yang ia miliki sebelum insiden itu. Ia mencoba melamar pekerjaan secara daring, diam-diam, tanpa
nolak lamarannya tanpa alasan jelas. Sintia mulai curiga. Apakah ini ada hubungannya dengan Rio? Apakah Rio sengaja menutup semua aksesnya untuk mendapat
orotan media. Rio tampil lebih bahagia dari sebelumnya, dan Clara selalu berada di sisinya, tersenyum dan memancarkan aura kebahagiaan. Di mata publik, mer
. Ia merasa seperti tahanan di rumahnya sendiri. Para pelayan pun, entah karena perintah dari atas atau karena takut pada Clara, mulai memperlakukan Sintia
h wanita yang diakui, wanita yang dicintai Rio, dan tidak ada yang bisa merampasnya darinya. Ia seringka
terbuka, dan Sintia bisa melihat Rio dan Clara sedang bercanda, saling memeluk, terlihat sangat bahagia. Hati Sintia mencelos. Rasa s
ahagiaan Rio dengan wanita lain, di rumah yang sama, di saat ia sendiri hidup dalam penderitaan, adalah ha
k yang ceria dan aktif, namun setiap kali ia mencoba mendekati Rio, ia selalu dihindari atau dijauhkan. Hal ini mulai memengaruh
menggantikan figur seorang ayah. Ia mencoba menjelaskan kepada Dika, dengan kata-kata sederhana, bahwa ayahnya sedang sangat sibu
orang wanita dengan rambut panjang yang ia gambar sebagai ibunya, seorang anak kecil yang ia gambar sebagai d
gambar keluarga kit
digambar Dika terlihat tersenyum, berbanding terbalik deng
h!" Dika berlari keluar ka
pai di depan pintu ruang kerja Rio, yang kebetulan sedikit terbuka. Dika melihat Rio se
tuk Ayah!" Dika berseru, be
ngsung berubah dingin. Clara tersenyum t
anya Rio, na
ecilnya. "Ini Dika gambar keluarga kita, A
akin mengeras saat melihat figur dirinya yang tersenyum. "Ayah tidak terse
annya, lalu melemparkannya ke
ng baru saja tiba di ambang pintu, menyaksikan semuanya. Hatinya mencelos. Ia ingin
Dika bertanya, s
lara menimpali dengan lembut, namun ada na
edu-sedu, membenamkan wajahnya di bahu Sintia. Sintia merasakan air mata panas menet
dengan tangisan putranya sendiri. "Bawa dia keluar, Sintia. Aku tidak su
dari ruang kerja Rio. Clara hanya tersenyum tipis sa
n. Ia mencium kening Dika, mengusap punggungnya. "Tidak apa-apa, Nak
nya, ia tidak peduli jika Rio menyakitinya. Tapi Rio tidak seharusnya menyakiti Dika, putranya sendiri, darah dagingnya sendiri. Amarah
n kuat, sementara Sintia dan Dika semakin terpinggirkan. Sintia terus mencoba mencari celah untuk keluar dari situasi i
ri perlakuan kejam yang ia terima, dan terutama, dari tekadnya untuk melindungi Dika. Ia tidak bisa terus-menerus
ndatangani sangat membatasinya. Ia mencoba mencari celah, sekecil apa pun, yang bisa ia manfaatkan. Ia juga mulai mencari informasi tentang penyakit
aruhi Rio. Ia mencatat semua percakapan yang tidak sengaja ia dengar, mencari tahu kelemahan mereka, atau informasi yang bisa ia gunakan di kemu
lemah yang tidak akan pernah bisa melawannya. Clara juga, terlalu asyik menikmati kemenangan dan posisinya sebagai nyonya rumah, tidak m
pat, dan suara mereka terdengar jelas. Mereka sedang membahas tentang sebuah proyek bisnis besar
bisa meningkatkan nilai saham perus
emastikan tidak ada kesalahan
mun, ia mencatat poin-poin penting, nama-nama perusahaan, dan tanggal-tanggal krusial. Ia tidak tahu menga
g dirawat di rumah sakit mewah dengan fasilitas terbaik dari keluarga Dirgantara, tiba-tiba mengalami komplikasi. Dokter me
hubungi Rio, menjelaskan sit
Clara, terdengar dingin di telepon. "Bukankah semua biay
bilang, jika tidak segera diberikan, kondisinya bisa m
erharap aku akan selalu menuruti semua permintaanmu," kata Rio, nadanya jengkel. "Dan jan
sebagai "masalah sepele". Hatinya terasa dicabik-cabik. Ia menyadari, Rio tidak akan pernah benar-benar
Rio, tetapi selalu dihindari. Ia menghubungi rumah sakit, dan mereka mengatakan obat
il. Itu adalah satu-satunya harta berharga yang ia miliki. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk menjualnya. Ia pergi secara
ang tega menelantarkan ibunya, marah pada dirinya sendiri yang begitu tidak berdaya. Ia menyadari bahwa ia
un, kini berubah menjadi tekad baja. Ia tidak akan lagi menjadi wanita yang lemah dan pasrah. Ia akan m
u bagaimana caranya, atau kapan ia akan melakukannya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak akan menyerah. Sin
rluka, dan wanita yang diremehkan. Rio mungkin berpikir ia telah menang, tetapi ia tidak tahu bahwa ia telah mencip
ya. Ia sering pulang larut malam, atau bahkan tidak pulang sama sekali, beralasan sibuk dengan pekerjaan. Clara selalu menem
mecat beberapa pelayan lama yang ia anggap terlalu dekat dengan Sintia, dan bahkan mengambil alih urusan dapur, me
okumen yang kadang tergeletak begitu saja di meja, dan memperhatikan setiap interaksi Rio dengan rekan bisnisnya. Otaknya yang cerdas, yang selama ini terpendam, mulai
dengar, dan pikiran yang merencanakan. Ia terlalu sibuk dengan Clara, dengan pekerjaan, dan dengan keh
t sangat bahagia, memegang tangan Clara, dan menatap matanya dengan penuh cinta. "Clara, a
ku juga mencintaimu, Rio.
nya dengan lembut. "Dika, Mama janji. Mama akan membuat Ayahmu menyesali semua perbuatannya. Mama ak
man yang tak terlihat. Ia bukan lagi wanita yang lemah. Ia adalah Sintia Wijaya, wanita yang a
ini terasa seperti pemicu. Pemicu untuk sebuah bal