oma tanah basah yang menusuk hidung. Ara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini bukan hanya
menatap pintu itu, merasa aneh melihat tulisan yang terlalu besar untuk ukuran
menoleh ke belakang, dan di sana, berdiri seorang pria-lebih tepa
catatan terbuka, seolah dia sedang menunggu seseorang. Matanya-mata yang tajam seperti pisau-menatap Ara tanpa merasa perlu be
suaranya datar, seolah-olah pertanyaan itu bukan untuk mendapat j
h, saya... saya baru
tidak terlalu peduli. "Lo udah terlamba
ta lebih, pria itu melangkah masuk tanpa menunggu jawaban. Ara hanya bisa mengik
gkah ke dalam kelas. Dari percakapan singkat tadi, dia t
ngan ketidakpedulian, sementara yang lain dengan senyuman sinis. Tak lama kemudian, Ara duduk di bangku kosong yang ada
erhatian. Namun, suara tawa keras yang datang dari pojok kelas mengingatkannya bahwa di s
yang muncul, hanya tatapan yang begitu tajam, seolah menembus langsung ke d
ada isyarat, hanya dia
a tahu satu hal-hidupnya di sek