iwanya yang terasa menganga. Ia mandi, mencoba membersihkan diri dari semua jejak kotor itu, namun rasanya sia-sia. Cermin memantulkan bayangan di
caman Adam yang tak terucapkan, semuanya membungkamnya. Siapa yang akan percaya padanya? Bahkan jika ada yang percaya, apa yang bisa mereka lakukan? Ia ad
akit yang biasanya menenangkan, kini terasa menyesakkan. Ia mencoba fokus pada ceramah dosen, pada laporan kasus yang harus ia kerjakan, tapi
-bayangan Adam terus menghantuinya. Ia merasakan mual yang luar biasa, kepalanya berdenyut tak tertah
aik saja?" Suara Re
aku. Pandangannya gelap, dan ia merasakan dirin
kampus. Aroma minyak kayu putih menyengat hidungnya
nada suaranya lega. "Kau pingsan tadi. Kau b
kit, tapi kepalanya masih pening. "Aku... aku
ebih dari itu, Ra. Kau sudah kurus, dan matamu selalu
Reyhan melihat kerapuhannya. "Tidak ada. Benar-bena
num atau makanan ringan yang dibelinya. Kehadiran Reyhan, perhatiannya yang tulus, bagai setitik embun di tengah gurun. Aurora merasakan kehan
n Aurora sudah makan, menemaninya saat jaga malam, dan menawarkan diri untuk membantu tugas-tugasnya
berjalan keluar gedung fakultas. Reyhan melihat
mbut. "Aku tahu ini bukan urusanku, t
nusuk tepat ke inti lukanya. Ia me
n. "Aku tahu kau menikah karena perjodohan, t
ana ia bisa mengatakan bahwa suaminya sendiri telah memperlakukanny
esuatu yang tidak beres. Dengan hati-hati, ia mengangkat tangannya,
tubuhnya. Itu adalah sentuhan yang lembut, sentuhan kepedulian. Tapi bagi Aurora, sentuhan itu memicu kenangan mengerikan
seolah Reyhan adalah predator. "Jangan sentuh aku!"
nya menunjukkan keterkejutan dan kebingungan. "Aur
tidak bersalah. Tapi trauma itu begitu dalam. "Maaf, Reyhan," bisiknya, m
gangguk pelan, menyimpan pertanyaan di benaknya. Ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu ya
ihkan diri, mengganti pakaian, dan mencoba fokus pada tugas-tugas koasnya. Namun, bayangan se
ah tidak ada yang terjadi. Bangun, sarapan tanpa berbicara, lalu pergi bekerja. Aurora berpikir mungkin ia
tamu, membaca buku teks anatomi sambil mendengarkan musik klasik dari
s," kata Adam, suaranya datar, namun a
ya. "Apa maksudmu? Aku harus ke kampu
kampus," ulang Adam, tatapannya
etiap aspek hidupnya, setelah ia menyakitinya dengan begitu keji. Adam ingin memastikan ia tidak bisa mencari kebahagiaan lain, ti
anya bergetar. "Aku sudah semester akhir! Aku harus menyel
Aurora. Sebagai istriku. Kau tidak perlu gelar atau p
at pahit. "Setelah semua yang kau lakukan padaku? Setelah kau
dekat, matanya menyala marah. "Jangan
sudah terlalu banyak menelan, terlalu banyak menahan. "Aku tidak akan memb
tatan medis Aurora yang tergeletak di meja samping. Buku itu adalah harta Aurora, berisi rin
ta sinis. "Baiklah. Mari kita lihat b
kekuatan brutal. Suara robekan kertas tebal itu memekakkan telinga Aurora, mengoyak jiwanya. La
bukan hanya buku. Itu adalah simbol dari mimpinya, kerja kerasnya, dan satu-satunya jalan keluar yang ia lih
engan rasa putus asa yang dalam. Ia berlutut, mencoba meraih s
u kamu merasa tidak bahagia, kenapa nggak pergi saj
l di benak Aurora. Pergi?
an oleh kalimat Adam selanjutnya, yan
Aurora yang masih berlutut. "Kamu nggak akan bisa keluar dari rumah i
adalah burung dalam sangkar, dan Adam adalah penjaganya yang kejam. Ia tidak hanya menyakitinya secara fi
liki kekuatan untuk melawan. Ia hanya bisa merasakan kehancuran yang tak berujung. Malam itu, di antara serpihan buku catatan medisnya, Aurora