tangan gemetar, setiap serpihan terasa seperti belati yang menoreh hatinya. Ruangan yang tadinya terasa dingin kini membeku, seolah seluruh
ana ia bisa keluar dari neraka ini? Ia tidak memiliki siapa pun yang bisa ia curhati. Orang tuanya akan memaksanya bertahan demi nama baik keluarga. Reyha
ntu depan suite. Aurora menegang. Adam pulang. Biasanya, Adam akan pula
sebelum Adam memasuki ruang tengah. Pria itu muncul di ambang pintu, kemejanya sudah keluar dari celan
manusia yang melihat orang lain dalam kesulitan, terlepas dari semu
. "Uhuk... Aurora?" gumamnya, suaranya serak dan
yang terlalu berat dan ketidakseimbangannya, ia tidak siap. Adam ambruk ke depan, tubuhnya yang besar menabrak Aurora. Karena pos
i mulut Adam. Jantungnya berdebar kencang. Dalam posisi yang
hangatan yang tak ia dapatkan dari siapa pun selama ini, entah mengapa memicu sesuatu yang gelap dalam dirin
ncoba mendorongnya, tapi Adam terlalu ber
tuh tubuh Aurora. Aurora merasakan tangannya merobek kancing-kancing piyama sutranya, satu per satu. Kai
anya tercekat. Ia panik, seluruh tugar. Pikiran Adam telah dikuasai alkohol dan nafsu sesaat. Ia tidak melihat Aurora sebag
alir deras lagi di pelipisnya. Ia memejamkan mata, berharap semua ini h
k berhenti. Dengan kekuatan yang dipicu al
bisa memejamkan mata, membiarkan tubuhnya pasrah, berharap ini semua segera berakhir. Ia merasa seperti direnggut, diobrak-abrik, dihancurkan seutuhnya. Pria yang adalah su
Tubuhnya yang berat masih menindih Aurora selama beberapa detik, lalu ia te
merasa kotor, tercemar, dan hancur berkeping-keping. Ia tidak tahu berapa lama ia berbaring dii tubuhnya, lalu berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia berdiri di bawah shower, membiarkan air dingin mengalir membasahi tubuhnya, mencoba membersihkan diriny
s di sofa, wajahnya tenang seolah tak terjadi apa-apa. Melihatnya tidur pulas seperti itu, kemarahan dan
uh dari Adam, dari sofa, dari semua yang mengingatkannya pada malam terkutuk itu. Ia duduk di sana, memeluk lututnya erat, tubuhnya masih gemetar dan m
Ia mengerang pelan, lalu membuka matanya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaik
k Aurora yang meringkuk di pojok ruangan. Gadis itu duduk bersandar ke dinding, lutut ditekuk ke dada, memeluk dirintakan. Ia tidak ingat apa pun yang terjadi semalam. Ingatannya buram, kabur oleh alko
kit serak. Ia tidak merasakan penyesalan a
awab. Ia tetap mekilasan bayangan samar melintas di benaknya, sesuatu tentang dorongan, jatuh, dan
, sedikit lebih tajam. Ia tidak suka m
dan bengkak, wajahnya pucat. Tatapan matanya yang
k, nyaris tak terdengar. "
yang kau bicarakan? Aku tidak melakukan apa-
nyelimuti Aurora. Bagaimana bisa Adam begitu kejam, begitu tidak peduli? Ia telah m
ipenuhi keputusasaan dan kemarahan yang membara. "Ka
encekam. Ia terdiam sejenak. Otaknya berusaha memproses informasi itu, menghubungkannya dengan fragmen-fragmen
Aurora, dan jijik pada dirinya sendiri karena telah kehilangan kendali. Tapi yang paling kuat ada
h datar. Tidak ada penyesalan, tidak ada
bagai suami," kata Adam, suaranya sangat dingi
hal itu sebagai kewajiban? Itu bukan kewajiban, itu adalah kekerasan, pemerkosaan! Adam memperlakukannya
a. Suara gemericik air dari shower terdengar beberapa saat kemudian, seolah Adam mencuci semua "k
dari sebelumnya. Rasa sakit itu begitu dalam hingga ia merasa sulit bernapas. Ia diperlakukan seperti objek, bukan manusia yang memi, rambutnya tersisir rapi, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia bahkan tidak melirik Aurora
am, suaranya santai, normal. S
Pintu tertutup, meninggalkan keheningan yang memekakkan. Di luar, hari sudah cerah. Dunia s
da dirinya sendiri, pada Adam, pada pernikahan ini. Aurora bangkit perlahan, berjalan menuju balkon, menatap kota yang sibuk di bawahnya. Ia merasa ingin melompat, ingin melarikan diri dari semua ini.