Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Suamiku Dingin, Hatinya Beku
Suamiku Dingin, Hatinya Beku

Suamiku Dingin, Hatinya Beku

5.0

Pahitnya cinta masa lalu membuat Adam menjadi sosok yang dingin dan tak tersentuh. Ia membenamkan diri dalam tumpukan pekerjaan yang tak ada habisnya, seolah mencari pelarian dari segala rasa. Sampai suatu hari, Aurora, seorang mahasiswi kedokteran semester akhir, hadir dalam hidupnya dan menjadi istrinya dalam waktu singkat. Pernikahan tanpa cinta, hasil perjodohan yang tak bisa ditolak, membuat Adam merasa hidup dalam tekanan tanpa akhir. Setiap pagi dilewatinya dengan sikap dingin, tak pernah menunjukkan kehangatan kepada Aurora yang selalu berusaha peduli dan perhatian. Hingga suatu ketika, sosok ketiga hadir membawa kehangatan di keseharian Aurora. Akankah wanita yang merasa kesepian itu mampu bertahan demi ikrar suci pernikahan mereka?

Konten

Bab 1 Ikatan tanpa cinta

Adam berdiri di ambang altar, setelan jas hitamnya membalut tubuh tegapnya dengan sempurna. Lampu kristal memancarkan cahaya keemasan, memantul pada ornamen-ornamen mewah di seluruh aula resepsi hotel bintang lima itu. Gemuruh obrolan para tamu, dentingan sendok pada piring porselen, dan alunan musik klasik yang lembut, semuanya seharusnya menciptakan suasana kebahagiaan. Namun, bagi Adam, semua itu terasa seperti simfoni neraka yang mengiringi upacara pengorbanan dirinya.

Matanya lurus ke depan, kosong, tak sedikit pun berpaling pada Aurora, sosok anggun di sampingnya yang kini resmi menyandang nama belakangnya.

Aurora. Gadis itu mengenakan gaun putih bak putri di dongeng, kain brokatnya menjuntai anggun hingga menyapu lantai, detail payet dan mutiara menghiasinya dengan indah. Rambut hitamnya digelung rapi, menyisakan beberapa helai ikal lembut membingkai wajahnya yang dipulas riasan tipis, menonjolkan mata indahnya yang kini memancarkan keraguan sekaligus harapan. Ia mencoba tersenyum, berulang kali melirik Adam, berharap secercah kehangatan, atau bahkan sekadar pengakuan akan keberadaannya. Namun, Adam tetap diam, seolah Aurora hanyalah patung porselen tak bernyawa di sampingnya.

Bagi Adam, pernikahan ini adalah penutup paksa dari babak hidupnya yang penuh warna, diisi dengan ambisi dan pengejaran karier tanpa henti. Usianya baru 32 tahun, puncak kejayaan sebagai seorang arsitek muda yang karyanya mulai diperhitungkan. Ia seharusnya merayakan setiap proyek besar yang ia selesaikan, menikmati kebebasan yang ia genggam erat setelah bertahun-tahun berjuang. Namun, kebebasan itu kini terenggut. Terenggut oleh sebuah janji yang pernah diucapkan ayahnya di masa lalu, sebuah ikatan bisnis yang disepakati sebagai "perjodohan" bagi anak-anak mereka. Dan sialnya, ia adalah satu-satunya putra yang harus menanggung konsekuensinya.

"Adam, ini demi kebaikan kita semua. Perusahaan membutuhkan stabilitas," suara berat ayahnya, Pak Dirgantara, masih terngiang jelas di telinganya. Kalimat itu diucapkan dengan nada otoriter, tak terbantahkan, seolah nasib Adam hanyalah bidak catur dalam permainan bisnisnya. "Aurora itu gadis baik-baik, anak Pak Wijaya. Keluarganya terpandang, silsilahnya jelas. Apa lagi yang kau harapkan?"

Apa lagi yang ia harapkan? Adam mendengus dalam hati. Ia berharap cinta. Harapan yang dulu pernah ia miliki, dan kini hancur berkeping-keping. Nama Clara muncul dalam benaknya, memicu rasa sakit yang familiar. Clara, cinta pertamanya, belahan jiwanya, wanita yang dulu ia kira akan menemaninya hingga tua. Kenangan tentang tawa Clara yang renyah, sentuhan tangannya yang lembut, janji-janji masa depan yang mereka rajut bersama. Semua lenyap dalam semalam, saat Adam menemukan Clara di pelukan pria lain, di apartemen mereka sendiri. Pengkhianatan itu merobek-robek jiwanya, meninggalkan luka menganga yang tak pernah sembuh sempurna. Sejak itu, Adam bersumpah, tidak akan pernah lagi membuka hatinya. Ia tak akan membiarkan dirinya rapuh, tak akan membiarkan orang lain memiliki kekuatan untuk menghancurkannya lagi. Cinta itu hanya ilusi, jebakan yang mematikan.

Karena itulah, ketika ayahnya menyebutkan perjodohan, Adam menolak keras. Ia tak butuh wanita. Ia tak butuh cinta. Ia hanya butuh pekerjaannya, kesibukan yang membuatnya lupa akan sakit hati, lupa akan kehampaan. Namun, Pak Dirgantara tidak pernah menerima penolakan. Pria tua itu menggunakan segala cara, bahkan ancaman untuk mencabut semua akses Adam ke proyek-proyek penting, hingga memblokir aset-asetnya. Adam, yang selama ini selalu patuh, akhirnya menyerah. Lebih karena lelah berdebat daripada setuju.

Dan di sinilah ia sekarang, berdiri di altar ini, mengenakan cincin di jari manisnya, berpasangan dengan wanita yang tak dikenalnya, tak dicintainya. Sebuah lelucon pahit yang harus ia telan.

Aurora di sampingnya merasakan aura dingin yang memancar dari Adam. Hatinya mencelos. Sejak awal pertemuan mereka yang canggung, ia sudah bisa merasakan penolakan itu. Adam tak pernah menatapnya lama, tak pernah berbicara lebih dari sepatah dua patah kata, selalu menjaga jarak. Aurora tahu ini perjodohan. Ia juga tahu Adam dipaksa. Ia bahkan sempat mencoba untuk menolak.

"Maaf, Ayah, tapi aku tidak bisa menikah dengan orang yang bahkan tidak mengenalku," Aurora memberanikan diri suatu malam, setelah makan malam formal dengan keluarga Adam yang terasa mencekam. "Aku ingin menikah karena cinta, karena pilihan."

Ayahnya, Pak Wijaya, yang dikenal sebagai pengusaha baja yang disegani, hanya menghela napas. "Aurora, ini bukan tentang cinta semata. Ini tentang stabilitas bisnis, tentang masa depan kita. Keluarga Dirgantara adalah mitra penting kita. Kau tahu, Ayah tidak bisa menolak permintaan Pak Dirgantara."

Aurora tahu betul. Ia adalah putri tunggal, dan satu-satunya yang diharapkan bisa meneruskan kejayaan keluarga Wijaya. Ayahnya selalu mendidiknya untuk bertanggung jawab, untuk selalu memikirkan kepentingan keluarga di atas segalanya. Dan perjodohan ini, meski menyakitkan, dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab itu. Aurora yang lembut, yang selalu patuh, akhirnya tak punya pilihan. Ia hanya bisa berdoa. Berdoa agar Adam, sang suami paksa, suatu hari bisa melihatnya, menerimanya, bahkan mungkin... mencintainya. Ia tahu itu adalah harapan yang sangat tipis, tapi setidaknya, ia ingin membangun rumah tangga ini perlahan, setapak demi setapak.

Namun, harapan itu langsung runtuh bahkan di hari suci ini. Sepanjang upacara, Adam tak sekalipun menatapnya. Tak ada senyum simpul, tak ada genggaman tangan hangat, tak ada bisikan manis seperti yang ia lihat di film-film romantis. Saat ijab kabul diucapkan, suaranya datar, tanpa emosi. Saat tiba waktunya bertukar cincin, tangannya bergerak cepat, seolah ingin segera menyelesaikan formalitas yang menyebalkan ini. Dan kini, saat mereka berdiri di depan ratusan pasang mata, Adam masih tak peduli.

Aurora merasa seperti boneka yang dipajang, hanya objek tanpa perasaan. Rasa malu dan sakit hati menusuk-nusuk dadanya. Ia ingin menangis, berteriak, lari dari semua ini. Tapi ia tahu ia tidak bisa. Ia harus tetap tersenyum, berpose untuk foto-foto yang akan mengisi album kenangan yang ia tahu takkan pernah mereka buka bersama.

Pesta usai menjelang tengah malam. Kaki Aurora terasa pegal, senyumnya kaku, dan hatinya terasa hampa. Adam tak pernah meninggalkannya sendirian di panggung, itu saja satu-satunya hal yang bisa ia syukuri. Tapi interaksi mereka nol. Ia hanya berdiri di sana, seperti penjaga, bukan seorang suami.

Ketika mereka akhirnya tiba di suite pengantin yang mewah, suasana canggung itu semakin pekat. Ruangan itu disulap romantis dengan kelopak mawar di lantai, lilin beraroma, dan sebotol sampanye dingin di atas meja. Ini seharusnya menjadi malam yang indah, malam pertama bagi sepasang suami istri yang baru saja mengikat janji. Tapi yang ada hanyalah kebisuan yang memekakkan telinga.

Aurora melepas tiara dari kepalanya, membiarkan rambutnya tergerai. Gaun pengantinnya yang berat terasa menyesakkan. Ia melirik Adam, yang sudah melepas jasnya dan melonggarkan dasinya, berdiri di dekat jendela, menatap ke luar kota yang berkilauan. Punggungnya tegap, seolah ada dinding tak terlihat yang melindunginya dari sentuhan dunia luar.

"Aku... aku akan membersihkan diri," Aurora memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar. Ia menunggu reaksi Adam, berharap ada respons, anggukan, atau bahkan pandangan singkat. Tapi tidak ada. Adam tetap diam, tak bergerak sedikit pun.

Dengan hati-hati, Aurora melangkah menuju kamar mandi, membawa tas kecil berisi perlengkapan pribadinya. Ia membasuh wajahnya, membiarkan air mata yang tertahan sejak tadi mengalir bebas. Di cermin, ia melihat pantulan dirinya yang rapuh. Ini bukan pernikahan yang ia impikan. Jauh dari kata romantis, jauh dari kata bahagia. Ia sudah menikah, tapi merasa lebih kesepian dari sebelumnya.

Ketika ia kembali ke kamar, mengenakan piyama sutra sederhana, Adam masih di posisi yang sama. Ia tidak bergerak, tidak melirik. Aurora menarik napas dalam, memberanikan diri mendekat.

"Adam...?" panggilnya pelan.

Adam akhirnya berbalik. Tatapannya dingin, tak terbaca. Ada sesuatu yang keras, tak berperasaan, di kedalaman matanya yang gelap.

"Kau tidur di sofa malam ini," katanya, suaranya datar, tanpa intonasi.

Jantung Aurora serasa dihantam palu. Ia menegang. "Apa...?"

"Aku bilang, kau tidur di sofa," ulang Adam, nada suaranya sedikit lebih tajam. "Aku tidak akan berbagi ranjang denganmu."

Mata Aurora memanas. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia tahu Adam tak menginginkannya, tapi ia tak menyangka penolakan itu akan sekejam ini. Di malam pernikahan mereka, sang suami menyuruhnya tidur di sofa? Ini lebih buruk dari yang ia bayangkan.

"Tapi... ini kan kamar pengantin..." Aurora mencoba memprotes, suaranya tercekat.

Adam melangkah mendekat, matanya menyorot tajam. "Dengar, Aurora. Pernikahan ini hanya formalitas. Kau tahu itu, aku tahu itu. Jangan berharap lebih. Aku tidak akan pernah menyentuhmu. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Jadi, jangan coba-coba memaksakan hal-hal yang tidak ada."

Kata-kata itu bagai belati yang menusuk langsung ke jantung Aurora. Air mata yang sudah ia tahan mati-matian akhirnya tumpah ruah. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa ia tidak pernah memaksakan apa pun, bahwa ia hanya ingin mencoba. Tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Ia terlalu sakit. Terlalu hancur.

Adam tidak menunggu jawabannya. Ia berbalik, melangkah menuju pintu kamar tidur, membuka kuncinya, lalu masuk dan membantingnya tertutup, meninggalkan suara "klik" kunci yang memekakkan telinga di kesunyian suite mewah itu. Ia mengunci diri, mengurung dirinya dari Aurora, dari "istrinya".

Aurora terdiam, berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh sisa-sisa dekorasi romantis yang kini terasa bagai ejekan. Kelopak mawar di lantai, lilin yang menyala redup, semuanya menjadi saksi bisu kehancuran hatinya. Rasa dingin merayap ke seluruh tubuhnya, bukan karena suhu ruangan, melainkan karena kesepian yang menusuk tulang. Ia melihat sofa panjang di sudut ruangan, sofa yang akan menjadi tempat tidurnya malam ini. Sofa yang menjadi simbol nyata dari pernikahan tanpa cinta ini.

Dengan langkah gontai, ia mendekati sofa, membaringkan tubuhnya yang lelah di sana. Piyama sutra yang lembut terasa dingin di kulitnya. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha mencari kehangatan yang tak ia dapatkan dari sang suami. Air mata terus mengalir, membasahi bantal sofa. Ia terisak tanpa suara, mencoba meredam tangisnya agar tidak terdengar hingga ke balik pintu kamar yang terkunci rapat itu.

Malam itu, di malam pernikahan Adam dan Aurora, bukan janji-janji manis atau sentuhan kasih yang mengisi udara, melainkan kebisuan, air mata, dan rasa sakit yang mendalam. Sebuah awal dari babak baru yang entah akan membawa mereka ke mana.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY