ada hal besar yang dibahas, tak ada keputusan penting yang ditetapkan. Tapi dalam perc
bergerak, tapi di dalam rumah kecil itu, waktu seakan berjalan lebih p
atanya menatap wajah menantunya dengan intens beberapa
l menggaruk pelipisnya, "kamu
Allah, Pak. Sejauh ini saya sangat bahagia. Mas R
hnya tak langsung tenang. Ada jeda yang
rus, maaf, maaf nih ya, Vin... ibumu itu, akhir-akhir ini sering bilang ke
enyungah pisang go
a perlahan luntur, berganti den
apak sendiri nggak pernah maksain. Cuma... yah, tahu
tangannya mengelus-ngelus gelas teh yang m
a. Tapi kalau ada yang bisa dibantu, atau... kalau kamu butuh apa-apa, bila
pis, tapi matanya
a kasi
ua di langit-langit yang terdengar berdengung. Pak
li ya? Aromanya mirip gorengan simbok waktu
sedikit lega karena per
anyaan sederhana yang menyisakan gelombang pelan di dalam dad
angan tangan kirinya, lalu meneguk si
yusul Mas Ryan ke sawah, sekalian ngobrol sebentar. Abis itu bali
ak. Saya titip salam buat Ibu, Mas Ridw
sedikit kusut. Lalu dari saku celananya, ia mengeluarkan sebua
rezeki kamu numpang lewat Bapak. Gak usah bilang-bilang sama M
ntak. Biasanya dia menerima uang tit
n aja, buat
, bukanlah amplop dan isi amplopnya. Tapi Pak Abdullah diam sejenak. Ia menatap wajah Vina-dalam, tenang, namun seperti menyimp
erlalu... dalam. "Bapak doakan, semoga kamu cepat diberi momongan," bis
k Abdullah menunduk sedikit, lalu mengecup keningnya dengan lembut dan dalam rurasi yang agak l
il menepuk pelan punggung Vina. Suaranya
a mampu berdiri terpaku di ambang pintu. Mengiringi kepergian ayah
ri. Tak lama, suara mesinnya menghilang di tikungan. Namun detak di dada Vina justru belum mereda. Ia masih ber
erus berjalan. Jauh dari sosok Ryan yang lebih kurus, pendiam, lusuh, dan kadang terlalu pasrah pada kead
u, kening Vina yang dicium hangat itu justru terasa panas seperti baru tersen
mengingat lagi kronologi kedatangan mertuanya. "Katanya udah dari kemarin di ruma
an ayah mertuanya. Pikirannya masih tak bisa lepas dari kejadian barusan yang sangat tida
pelukan seorang ayah mertua pada menantunya.
elas ia merasakan ada sesuatu yang kenyal namun keras di bawah perut lelaki palmboyan itu yang menekan perutnya.
mata, lalu me
..." katanya mencoba menenangkan diri. Tapi detak jantung
dan gesekan piring sejenak membantu mengalihkan pikirannya. Namun bayangan wajah Pak Abdullah, tatapan
nya sehangat da
au apa yang terjadi itu, benar-benar di
i atas meja makan, kini mula
n perhatian mertua, atau justru im
*
h berdesis panas, tapi ia belum juga turun. Matanya menatap kosong ke hamparan hij
yeruak justru bayangan senyum dan tubuh mungil menantunya. P
hfiru
ri anaknya. Namun justru kesadaran itu membuat batinnya sem
m pelan dahinya. "Bodoh!" des
tampak... lemah. Tak seperti dua kakaknya. Dan entah mengapa, dalam benaknya m
angkahnya pelan, seakan setiap tapak menambah beban. Ia datang unt
dalam dirinya. Sesuatu yang tak seharusnya ada. Vina dalam baluta
beban pikiran yang tak layak. Ia berniat bertemu Ryan, bicara soal sawah, warisan, atau apa pun... tapi sekar
ecil tempat Ryan berteduh. Suara langkahnya membuat Ryan m
n Bapak langsung balik lagi k
. "Sekalian mampir ke kamu.
yang tak sanggup diurus Ridwan. Ryan pun menolak dengan alasan yang sama. Pak
gung soal Vina. "Kalau bosan di kampung, mainlah ke Karawang. I
k antusias. "I
puk bahu anaknya sebelum berpamitan. Tak lupa dia pun menitipkan s
elum bisa melupakan hangat tubuh menantunya itu. Ada getaran yang tak bisa ia jelaskan, apalagi abaikan. Bahka
an, ia berhenti. Menatap ponsel
t ke Karawang, Vina besok
, balasa
dulu sama Vina, bisa
napas berat. Dalam hati, ia bertanya pada dirinya sendiri, "Kenapa
*

GOOGLE PLAY