Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Janda Rasa Melon
Janda Rasa Melon

Janda Rasa Melon

5.0
44 Bab
14.6K Penayangan
Baca Sekarang

CERITA DEWASA LUAR BIASA Janda Rasa Melon, bukan cerita biasa-biasa. Mungkin ada beberapa adegan yang sekilas ada kemiripan dengan yang lain, tapi saat kamu masuk lebih dalam, kamu akan tahu, ini benar-benar beda. Karena akan mengajakmu menyelam, bukan hanya menikmati. Di balik gejolak batin, ada pesan yang mendalam. Tentang cinta, keraguan, dan cara memahami pasangan-lebih dari sekadar fisik dan nafsu semata. 'Janda Rasa Melon' bukan cerita dewasa yang hanya dipenuhi 'Oh yes oh no' atau sekedar hiburan receh yang bisa dilewatkan begitu saja. Tapi ini cermin untuk siapapun yang sedang mencari atau sudah punya pasangan. Selamat membaca dan merenung di setiap bab-nya yang sarat makna.

Konten

Bab 1 Janda

Di bale bambu depan warung Bu Susi, dua perempuan paruh baya tengah duduk berselonjor, mengunyah rengginang dan sesekali menyeruput teh manis dari gelas bercorak bunga. Suara ayam tetangga sesekali menyela percakapan mereka, bersaing dengan bunyi motor yang menderu dari kejauhan.

Bude Ami, janda beranak dua yang dulu sempat jadi primadona ronda malam, duduk termenung sambil mengipas-ngipas dirinya dengan kain serbet lusuh, usai membantu Bu Susi menggoreng bakwan.

"Aku tuh ngerasa aneh, Rin..." gumamnya lirih, seolah berbicara pada angin pagi.

"Apanya yang aneh, Bud?" sahut Rini, sahabat sejawat sesama janda beda usia, yang sedang asyik menyesap rokok kretek sambil menggoyang-goyangkan kakinya di ujung bale. Rini tak punya anak, tapi buah dadanya seperti ibu menyusui bayi kembar.

"Kita ini... kayak makin gak laku. Dulu mah tiap sore, tiap malam ada aja yang nyenggol. Sekarang? Lewat depan pos ronda aja kayak hantu tak kasat mata. Jangankan brondong, aki-aki aja kaya bisa liat kita."

Rini tertawa pendek, sinis. "Lha iya. Kita udah dianggap bukan cabe lagi, Bud. Kita tuh... apa ya... kayak rempah-rempah jadul. Wanginya cuma buat yang ngerti aja."

Tapi Bude Ami tak tertawa. Matanya malah menyipit menatap jalan, tempat Vina, biasa melintas dengan langkah pelan dan pakaian kerja yang modis, atau naik ojeg yang katanya tukangnya sampai antri.

"Sejak si Vina tinggal di kampung kita, dunia para janda berubah drastis, Rin" desis Bude Ami, nada suaranya seperti menahan geram. "Punya suami tapi gaya dia kayak janda muda. Jalan dikit, paha keliatan. Senyum dikit, yang di pos ronda langsung duduk tegak."

Rini mendengus. "Aku liat sendiri kemarin. Mang Usup tukang sayur aja sampe nabrak tiang listrik gara-gara mandangin dia terus. Padahal si Vina cuma jalan biasa sambil nenteng belanjaan dari warung."

"Ya ampun, Rin... Aku aja sekarang kalau ngajakin si Ujang, malah pura-pura sibuk goreng tahu. Kata temennya sih lagi fokus sama si Vina. Sakit banget hatiku. Walau cuma gocap sekali naik, kan bisa buat beli beras."

Mereka terdiam sesaat. Hanya suara cericit burung dan seruput teh yang terdengar. Lalu, tiba-tiba Bude Ami menepuk pahanya, seperti mendapat wahyu. "Aku yakin si Aroh, si Ijah, si Mumun dan yang lainnya, pasti merasakan hal yang sama. Sekarang janda turun pamor, bini orang malah kesohor."

"Berat emang. Terus kita harus gimana, Bud?"

"Gimana kalau si Vina, kita ajak gabung, Rin."

"Gabung apa?" Rini melirik waspada.

"Ya... gabung ke lingkaran kita, janda rasa rawit, tangguh dan mengigit. Kita ajak dia arisan, pengajian, atau paling nggak duduk-duduk sore sambil ngerumpi. Biar dia ngerti rasanya jadi single parent di kampung. Sekalian siapa tahu auranya nular ke kita."

Rini menggigit bibir bawahnya, berpikir. "Strategi pansos ya?"

"Ya... numpang eksis lah, Rin. Daripada duduk begini terus tiap hari kayak patung warung. Kita dekati dia pelan-pelan, akrabin. Biar lelaki di kampung kita mulai melirik kita lagi."

"Kalau dia gak mau?"

Bude Ami meneguk tehnya sampai bunyi. Matanya menyipit nakal.

"Kalau dia nolak, ya tinggal kita goreng aja namanya. Gosipin pelan-pelan. Bilang dia suka godain suami orang. Suka ngeretin brondong juga, Biar satu kampung gak percaya lagi."

Rini terkekeh, lalu menepuk-nepuk lutut Bude Ami. "Kamu jahat, tapi aku suka."

Mereka masih duduk di bale bambu, tapi kali ini dengan posisi agak menunduk, seperti dua konspirator ulung tengah merancang kudeta kecil. Angin kampung yang semilir membawa aroma warung dan suara kambing dari kejauhan, tapi obrolan mereka tetap berpusat pada satu nama: Vina.

"Eh, tapi kamu berani gak ngadepin suaminya? Si Ryan itu anak mantan kades kita loh." bisik Bude Ami, matanya menyipit, seolah ada bayangan Ryan mengintip dari balik pohon pisang.

Rini menyeringai santai. "Alah, Pak Abdullah kan udah gak tinggal di sini. Lagian si Ryan itu belum tentu anak kandungnya. Liat aja mereka itu beda banget kaya bumi dan langit."

Bude Ami mengangkat alis, setengah tak percaya. "Jangan sembarangan, Rin. Si Ryan emang kurus, letoy, item, ngomong pelan, kerjaan di sawah. Tapi kasih sayang Pak Abdullah justru paling besar sama dia. Katanya kebutuhan bulannya pun masih disubsidi."

Rini menjulurkan lidah, mengejek. "Prest... Pak Abdullah tuh baik bukan karena si Ryan, tapi ada maunya sama si Vina, menantunya. Hihihi."

Tawa kecil meledak di antara mereka. Bukan karena lucu, tapi karena tergoda bayangan skandal besar yang mungkin sedang mereka ciptakan sendiri.

"Wajar sih," sambung Bude Ami, tak mau kalah, "Lah Pak Kades yang sekarang aja katanya diam-diam suka nanyain si Vina."

"Hih, dasar lelaki. Lihat jidat bening dikit, langsung lupa istri di rumah, apalagi sama kita-kita pelanggan lama."

"Balik lagi ke topik. Jadi gimana, si Vina ajak gabung aja? Berani gak ngadepin suaminya?"

Rini menghela napas, lalu menepuk-nepuk pahanya sendiri. "Ya... kita pikir-pikir dan cari celah dulu, deh. Sambil jalan sambil mikir gitu loh. Nggak bisa ujuk-ujuk terjang, nanti kita malah kelihatan lapar dan dicurigai suaminya."

Bude Ami manggut-manggut, lalu menatap lurus ke jalan setapak yang biasa dilewati Vina berangkat dan pulang kerja.

"Bener, gak usah buru-buru. Tapi kalau proyek ini berhasil, yang lain juga pasti ikut gabung lagi sama kita. Janda Rasa Rawit bakal berjaya lagi."

Mereka tertawa pelan, kali ini seperti dua bidak catur yang sadar akan posisi masing-masing - tak punya kekuatan besar, tapi licik, sabar, dan berani bergerak dalam bayang-bayang.

"Eh, tapi gimana dengan Bu Susi, dia pasti gak setuju si Vina gabung. Secara dia merasa tersaingi."

"Biarin aja. Bu Susi kan emang punya suami, ngerasa janda. Kalau dia gak setuju, kita tinggalin aja. Lagian Bu Susi gak nambah aura sama geng kita. Malah adi beban."

"Oke deh, kalau gitu, mulai sekarang kita harus rancang strategi jitu."

Mereka pun toast dengan wajah semringah penuh harapan. Sepertinya permainan besar akan segera dimulai.

^*^

Di bawah pohon ketapang dekat lapangan voli SMAN 14, Haikal dan Daren duduk santai sambil nyemil gorengan. Plastik es teh bergoyang pelan di tangan mereka, sesekali diteguk sambil melihat anak-anak lain berlalu-lalang di jam istirahat.

"Eh, Kal," Daren mulai dengan nada pelan, "lu ngerasa gak sih, Bang Andri sama Bang Dayat tuh kayak ngebet banget sama Mbak Vina?"

Haikal nyengir, menyikut pelan lengan temannya. "Ya elah, nenek-nenek bau tanah aja mereka si digodain, apalagi Mbak Vina. Padahal udah punya bini dan anak, dasar ojek rasa buaya."

Daren cengengesan. "Tapi emang sih, Mbak Vina itu beda. Matanya, senyumnya, jalannya... asli, aura selebgram banget. Gue yakin, semua cowok yang pernah ngeliat dia pasti... ya, langsung ngebayangin yang aneh-aneh malamnya, hahaha."

"Termasuk kita," timpal Haikal sambil tertawa kecil.

Daren mengangguk cepat. "Tapi gue masih heran, kenapa dia mau sama Mas Ryan?"

Haikal mendesah. "Namanya juga jodoh. Tapi gue akui sih, auranya Mbak Vina emang kuat banget. Seksinya elegan, gak kayak emak-emak komplek yang doyan pamer paha."

"Kalau menurut gue," Daren nyeruput es teh plastiknya, "walau punya suami, tapi vibe-nya tuh janda banget. Ada sisi liar yang susah dijelasin. Lu ngerti kan?"

Haikal ngangguk. "Nyokap gue pernah bilang, dulu waktu nikah sama Mas Ryan, dia emang janda. Tapi cuma bentar nikah sama suami pertamanya, terus gak jelas."

"Serius, Bro? Gue kira perawan-bujangan." Daren melotot.

"Ya, gak banyak yang tahu. Kayaknya mereka emang nutupin. Mungkin Mas Ryan malu dapetin janda, hehehe."

"Hah! Yang harusnya malu tuh Mbak Vina, dapetin suami jelek banget."

Haikal gak nyahut. Pandangannya kosong, terbang ke beberapa hari lalu, saat Vina memeluknya dari belakang di atas motor. Hampir aja oleng motornya, saking gak fokusnya.

"Eh, ngomong-ngomong," Daren kembali angkat suara, "mereka udah lama nikah tapi kok belum punya anak ya? Menurut lu siapa yang payah?"

Haikal nyengir nakal. "Ngeliat fisiknya sih... Mas Ryan yang kurang garang, hehehe."

"Eh, kata lu tadi dia janda. Punya anak gak dari suami pertama?"

"Nah itu dia. Misteri, Bro. Gak ada yang tahu. Kayaknya emang ditutup-tutupin. Bisa jadi malah... Mbak Vina yang mandul."

Daren angkat bahu. "Mungkin. Tapi ya sudahlah, bukan urusan kita."

"Bukan urusan kita, tapi bahan coli tiap malam," goda Haikal.

"Anjay, setuju! Jujur gua bahkan rela kalau diminta antar-jemput dia tiaap hari. Pelukannya... bisa bikin tidur nyenyak seminggu penuh."

"Lu jangan ngelampiasin ama kambing ya, Bro."

"Gila, mending dilampiasin sama Bude Ami atau Bu Rini. Tua-tua keladi, Bro. Mereka masih sangar goyangannya, gocap bisa dua kali crot, hahahaha."

Haikal nyaris cerita soal beberapa hari lalu, dia sempat anterin Vina. Tapi dia tahan. Daren saingan berat. Sekali tahu, bisa-bisa besok Daren yang nongkrong depan rumah Vina duluan.

"Eh Bro, pernah mikir gak... sebenernya Mbak Vina tuh gak puas sama Mas Ryan?"

"YES." Daren langsung jawab mantap. "Dari gosip emak-emak, selain kurang ganteng, Mas Ryan itu emang kurang jantan."

"Dan gue ngerasa, Mbak Vina itu emang sering ngasih kode."

"Kode gimana?" tanya Daren antusias.

"Kalau pas ngobrol, mata dia tuh suka fokus ke selangkanagn kita. Dan sumpah aja, kadang punya gue suka berdiri parah cuma karena diliatin dia."

"Itu dia. Gue juga sering ngerasa gitu. Tatapannya tuh... emang panas banget penuh gairah. Tapi gak murahan. Jinak-jinak merpati gimana gitu."

"Sejak kenal deket sama dia, gue males banget main sama yang lain."

Daren melongo. "Lu udah gak main lagi sama Bu Iis?"

"Bu Mila yang udah transfer sejuta aja, gue tolak."

"Gokil, lu serius banget ya."

Haikal menatap serius. "Gue mau serius kejar Mbak Vina."

Daren cengar-cengir. "Tapi berat Bro. Saingannya banyak banget. Selain gue, masih ada Bang Andri, Bang Dayat, Pak RW, Ustaz Umar dan..."

"Gue siap singkirin mereka semuanya. Bahkan... suaminya."

Daren tertawa, lalu mencondongkan kepala, berbisik cukup lama ke telinga Haikal. Setelahnya, Haikal menatapnya dengan alis terangkat.

"Lu serius?" tanya Haikal pelan.

Daren cuma senyum penuh arti. "Kita coba aja dulu. Namanya juga usaha."

"Bahaya gak?"

"Justru makin enak kalau gede risikonya, Kal."

Mereka saling adu pandang dan memainkan alisnya, seolah sepekat atas sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar khayalan siswa kelas tiga SMA. Dan rencana itu telah mereka susun, entah kapan dieksekusinya.

^*^

PERINGATAN!!!

Bersiaplah untuk menangis tersedu-sedu tertawa terbahak-bahan, tegang urat syarat hingga tubuh panas dingin dan tak terasa lendir hangat meleleh dengan sendirinya.

JANDA RASA MELON, adalah Kisah Nyata yang benar-benar beda dengan cerita-cerita yang pernah ada. Bahasanya sederhana, lugas, tegas, penuh makna namun asik mengalir indah laksana Sungai Ciliwung yang sedang panas bergelora.

Ending sudah pasti mencengangkan.

Selamat membaca, jangan lupa masukan dalam daftar bacaan alias pustakamu.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY