Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Janda Rasa Melon
Janda Rasa Melon

Janda Rasa Melon

5.0
6 Bab
356 Penayangan
Baca Sekarang

BUKAN CERITA DEWASA BIASA Janda Rasa Melon, bukan cerita biasa-biasa. Mungkin ada beberapa adegan yang sekilas ada kemiripan dengan yang lain, tapi saat kamu masuk lebih dalam, kamu akan tahu, ini benar-benar beda. Karena akan mengajakmu menyelam, bukan hanya menikmati. Di balik gejolak batin, ada pesan yang mendalam. Tentang cinta, keraguan, dan cara memahami pasangan-lebih dari sekadar fisik dan nafsu semata. 'Janda Rasa Melon' bukan cerita dewasa yang hanya dipenuhi 'Oh yes oh no' atau sekedar hiburan receh yang bisa dilewatkan begitu saja. Tapi ini cermin untuk siapapun yang sedang mencari atau sudah punya pasangan. Selamat membaca dan merenung di setiap bab-nya yang sarat makna.

Konten

Bab 1 Tantangan Mendebarkan

Janda Rasa Melon, bukan cerita dewasa biasa.

Mungkin ada beberapa adegan yang sekilas tampak vulgar, tapi saat kamu masuk lebih dalam, kamu akan tahu, ini benar-benar beda. Karena akan mengajakmu menyelam, bukan hanya menikmati.

Di balik gejolak batin, ada pesan yang mendalam. Tentang cinta, keraguan, dan cara memahami pasangan-lebih dari sekadar nafsu semata.

'Janda Rasa Melon' bukan cerita dewasa yang hanya dijejali 'Oh yes oh no,' tapi juga merupakan cermin untuk lebih bersikap terbuka, penuh perhatian dan sanggup memberikan kepuasan maskimal kepada pasangan bercinta.

Selamat membaca dan merenung di setiap bab-nya yang sarat makna.

^*^

Sore itu, matahari tak terlalu terik. Rijat dan Andri duduk di bawah pohon jambu belakang rumah, berbagi segelas kopi dan dua batang rokok kretek. Angin bertiup malas, menggoyangkan dedaunan seperti ikut menyimak percakapan dua sahabat lama.

Andri menyandarkan tubuh ke batang pohon, lalu menatap Rijat yang sibuk mengaduk kopi.

"Jat, istrimu makin ke sini makin segar aja, ya," katanya ringan. "Wajahnya cerah terus. Senyumnya itu, adem banget. Cocok jadi selegram jualan skincare."

Rijat hanya mengangguk kecil. "Mungkin karena kerja di toko, jadi harus rapi terus."

Andri tertawa pelan. "Istriku dulu kerja di toko malah lupa dandan, toko mainan sama. Tapi istrimu memang beda. Cantiknya tuh... alami. Mungkin karena dasarnya dia orang kota, ya."

Rijat menatap Andri sekilas. "Kamu naksir istriku, Ndri?"

Andri buru-buru mengangkat tangan. "Waduh, jangan salah paham. Cuma muji aja. Lagian bukan cuma aku yang bilang, semua orang juga bilang begitu, Jat. Kamu justru harus bangga, orang kampung bisa mendapatkan wanita kota, secantik dia."

Senyum Rijat tipis, sulit ditebak apakah ramah atau menyimpan rasa.

"Pujian boleh. Tapi kadang yang awalnya cuma kagum, bisa jadi lain juga, Ndri."

Andri tertawa lagi, tapi nadanya canggung. "Ah, kamu serius amat, Jat. Aku ini tetangga dan sahabatmu walau usiaku jauh lebih tua. Masa iya aku mau ganggu rumah tangga kamu, sih." Rona wajah Andri sedikit memerah, bukan karena marah tapi malu.

"Semua laki-laki punya potensi ke situ, Ndri. Kadang rumput tetangga memang kelihatan lebih hijau."

"Iya sih, aku sih hanya salut aja sama kamu, Jat. Hebat bisa dapat istri yang bahkan bisa ngalahin istri mudanya Pak Kades."

"Gak usah terlalu ketinggian memuji istri orang, Ndri."

Andri hanya mengangguk, lalu berdiri. "Udahlah, Jat. Nanti malah kita jadi salah paham."

Rijat tak menjawab, hanya mengamati langkah Andri yang menjauh. Rokoknya tinggal puntung, tapi pikirannya belum habis terbakar. Kata-kata Andri barusan menggugah potongan-potongan peristiwa yang dulu tak pernah ia curigai.

Andri teman satu kampung, usianya lima tahun di atas Rijat. Mereka tumbuh bersama saat remaja. Rijat tahu betul sifat Andri-pandai bicara, percaya diri, dan... menarik. Beberapa bulan terakhir, istri Rijat sering menumpang ojek Andri ke pasar atau ke toko tempatnya bekerja.

Harus diakui, Andri unggul secara fisik-tinggi, kekar, kulit bersih, dada bidang karena pernah kerja di pelabuhan. Sekarang kerja serabutan: ojek, bangunan, atau bertani seperti Rijat. Tapi gayanya... selalu penuh percaya diri dan memang punya daya tarik.

'Apakah istriku pernah berpikir hal yang sama tentang Andri?'

Rijat mengusap wajah, lalu berdiri. Di sudut hatinya, muncul rasa yang aneh-antara curiga, takut, dan pasrah. Ia belum tahu apakah ini wajar, atau awal dari sesuatu yang tak bisa ia hentikan. Tapi ia sadar, akhir-akhir ini, dunia istrinya memang terasa semakin menjauh. Dan itu... mungkin bukan sepenuhnya salah istrinya.

Siang berganti senja, dan malam pun tiba.

Udara kampung terasa lebih dingin dari biasa. Rijat keluar sekadar membeli rokok ke warung Bude Sus, mertuanya Andri. Tapi langkahnya terhenti di dekat pos ronda. Dari balik pohon nangka, terdengar dua tawa lelaki yang sangat dikenalnya-Andri dan Duduy.

"Nggak salah sih kalau si Rijat makin betah di rumah," kata Duduy setengah tertawa. "Tapi aku yakin istrinya itu kurang puas. Lihat aja cara senyumnya pas lagi nggak ada suaminya... beda. Menggoda dan seperti mengajak banget."

Andri ikut terkekeh. "Aku juga ngerasa gitu. Istrinya si Rijat itu penuh gelora. Cara dia megang tas, lirikan matanya-itu lirikan cewek butuh banyka rasa kontol yang berbeda, hahaha..."

"Butuh rasa kontol yang berbeda? Hahaha..." Duduy terpingkal, hampir tersedak kopi.

Rijat mematung di balik semak. Mulutnya ingin bersuara, tapi lidahnya kelu. Bukan takut, tapi malu. Karena sebagian kata-kata mereka memang terasa seperti kebenaran pahit yang selama ini ia abaikan. Lebih tepatnya dia sembunyikan.

Andri bicara lagi, kini lebih serius. "Menurutku, istrinya itu udah kepengen punya anak. Tapi ya, tahu sendiri si Rijat gimana. Istrinya penuh gairah dan semangat, suaminya lemas dan payah. Nggak nyambung pasti permainannya, heheheh."

Duduy mengangguk. "Kalau aja si Rijat minta bantuan kita buat...," ucapnya sambil menaikkan alis.

"Beuh, itu bukan bantuan tapi anugerah, Duy. Jangankan satu anak? Sepuluh kali juga aku siap bikin dia hamil, Hahaha..."

Mereka tertawa keras, saling lempar kode. Sementara Rijat berdiri diam, dadanya sesak. Ingin rasanya menerobos semak, memaki, memukuli mereka, tapi tubuhnya tak bergerak. Ucapan mereka seperti belati-menusuk lambat, tapi sangat dalam.

Dan yang paling menyakitkan, ia tak bisa menyangkal. Itu bukan sekadar omongan pos ronda, tapi lagi dan lagi bukti kebenaran yang nyata. Refleksi dari bunga-bunga keretakan rumah tangga yang mati-matian berusaha dia rapatkan kembali.

Rijat berbalik arah. Tak jadi ke warung. Rokok kehilangan urgensinya. Yang lebih mendesak adalah menjawab satu pertanyaan: Masih adakah tempat untuknya dalam hidup istrinya?

Langkah pulangnya terasa berat. Rumah sunyi, tapi kepalanya riuh. Kata-kata Andri dan Duduy terngiang berulang-ulang di benaknya. Seperti kaset rusak yang susah dihentikan walau sangat menyakitkan telinga.

Saat membuka pintu rumah, aroma sabun dan kayu menyambutnya. Ia langsung menuju kamar. Di sana, Vina, istrinya, duduk santai di atas ranjang, ponsel di tangan, senyum-senyum sendiri. Wajahnya bersih tanpa make-up, tapi ada rona segar yang terasa asing.

Rijat berdiri lama di ambang pintu, memandangi istrinya dalam diam. Ingin bertanya, "Sedang chat sama siapa?" Tapi lidahnya kelu. Pemandangan ini tak asing, tapi malam ini terasa lebih menusuk.

Pelan-pelan, ia duduk di tepi ranjang. Kasur memantul pelan, tapi sang istri tak menoleh. Jemarinya tetap sibuk di layar ponsel-seolah dunia nyata tak lagi penting.

"Vin..." suara Rijat serak, "Boleh aku tanya sesuatu?"

Vina menoleh, mengunci ponsel. "Apa, Mas? Tumben serius."

Rijat ragu, lalu mengusap tengkuknya.

"Bang Andri sama Bang Duduy, mereka sering ganggu kamu waktu diojek?"

Vina mendesah, lalu tersenyum tipis. "Ya namanya juga lelaki. Kadang celetuk, goda dikit. Pas boncengan, biasalah begitu."

Rijat menunduk. "Tapi kamu... nggak terganggu, kan?"

"Aku nyaman kok," katanya santai. "Asal jangan diladenin, tapi juga jangan bikin mereka sakit hati. Bisa-bisa malah ribet."

Jawaban itu menenangkan sekaligus menusuk. Rijat memaksakan senyum. "Iya, aku ngerti."

Vina menguap. "Kenapa nanyanya aneh-aneh amat, sih, Mas?"

Rijat menggeleng. "Gak apa-apa. Cuma... pengin tahu aja."

Sunyi kembali. Detik jam berdetak pelan, sementara pikiran Rijat mengulang suara Andri dan Duduy: godaan, tawa, bisikan tentang gairah istrinya. Ia menatap ponsel Vina-kosong tanpa notifikasi-namun bayangan Vina tertawa saat dibonceng lelaki lain, tak juga pergi.

Lampu dimatikan, hanya remang dari jendela. Mereka berdua berbaring seolah tertidur pulas, tapi di dalam dada masing‑masing masih bergolak: Rijat dibelit curiga dan malu; sementara Vina bertanya-tanya dalam hati, apakah keramahnya disalah-pahami oleh para lelaki kampung ini?

Lima tahun sudah Rijat dan Vina menikah. Hidup mereka tenang, meski belum juga dikaruniai anak. Di luar, gosip tetap beredar, katanya salah satu dari mereka mandul, atau Rijat tak mampu memuaskan istrinya.

Tapi mereka tak pernah ambil pusing. Tak merasa perlu menjelaskan pada orang-orang yang cuma melihat dari jauh. Rijat tahu siapa istri dan dirinya, dan Vina pun tahu siapa suaminya. Mereka saling menerima, bukan karena semuanya baik-baik saja. Tapi tk semua hal mesti diceritakan pada semua orang.

Rijat berusia 25 tahun, sedangkan Vina lima tahun lebih tua. Tapi siapa pun akan mengira Vina masih di awal dua puluhan-kulitnya bersih, gayanya anggun, dan tutur katanya lembut. Ia memang perempuan kota, dan kesan itu belum hilang. Tak heran jika kadang orang mengira kalau usia Rija justru yang lebih tua.

Mereka bertemu di kota, saat Rijat masih kerja serabutan dan mencari arah hidup. Vina hadir seperti bayangan indah yang sulit digapai. Vina nyaris tak pernah cerita masa lalunya, dan Rijat pun tak pernah memaksa.

Kini mereka tinggal di kampung yang relatif ramai dan dinamis. Rumah warisan ayah Rijat jadi tempat tinggal mereka. Ayahnya kini tinggal bersama anak perempuannya di kota. Dulu beliau tokoh yang dihormati, jadi kembalinya Rijat di kampung disambut hangat.

Sejak pertama pindah, Rijat tahu, banyak lelaki yang memandangi istrinya dengan cara yang tak pantas. Tapi ia percaya. Vina tahu batas, tahu diri, dan selalu menjaga sikap.

Ekonomi, mereka cukup mapan. Rijat mengurus sawah dan kebun warisan yang luas, tanahnya subur, Vina pun punya kerja sampingan memabntu usaha Bude Ana. Mereka malah sering diminta bantuan oleh tetangga yang kesulitan uang.

Vina juga selalu diandalkan menyambut tamu, bantu prasmanan, bikin suasana hajatan warga jadi lebih hidup dan berwarna, walau godaan justru semkin hebat. Semua dilakukan Vina dengan senang hati, tanpa bayaran. Rijat pun mendukungnya. Bagi mereka itu merupan bentuk pengabdian yang membanggakan.

Semua orang sepakat, jika dilihat dari permukaan, ada satu hal yang mencolok dari pasangan itu: Vina terlalu cantik untuk ukuran perempuan kampung, sementara Rijat terlalu sederhana untuk mendampinginya. Tidak sampai seperti si cantik dan si buruk rupa, tapi ketimpangan itu memang ada.

Dari luar, orang mungkin bertanya-tanya: bagaimana bisa wanita secantik itu memilih pria seperti Rijat?

Di antara tatapan heran dan bisik-bisik yang tak pernah sepenuhnya padam, mereka tetap berjalan berdampingan. Tak pernah membalas cemooh, tak juga membanggakan diri. Karena mereka tahu, perbedaan mencolok di mata dunia, tak pernah bisa menandingi kesesuaian yang hanya bisa dirasakan dalam diam.

Mereka hidup sederhana penuh kehangatan cinta dan rutinitas, walau tanpa mereka sadari, badai kecil mulai berdatangan. Tak dengan teriakan atau bentakan, tapi lewat halusnya angin dan bisikan yang sulit dibedakan.

Seperti bom waktu yang suatu saat mungkin akan meledak.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 6 Para Pengganggu   07-27 18:00
img
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY