embut menyapu pepohonan, dan suara jang
nya seperti biasa, menawarkan teh hangat, menanyakan lelahnya, namun ada satu hal yang s
si makan. "Katanya kalau kamu mau main ke Karawang, bes
menggantung di bibir. Ia menunduk sediki
s," ucapnya pelan. "Gak enak
gan. Gak tiap bulan lho bis
Lagian, kayaknya belum waktunya. Nanti aja kalau
yang tenang dan tidak banyak alasan. Ia tidak mencium ada yang janggal-baginya,
i. Bukan karena ia ingin menyembunyakan sesuatu, tapi lebih karena dirinya sendiri belum mengerti sepen
mereka. Di luar, suara serangga dan desir angin menjadi satu-satunya latar, s
nnya jauh-melayang-layang ke arah Karawang, ke ar
bir pelan, mere
ang... apakah beliau aka
awarkan makanan, bercerita dengan senyuman ramah dan suara berat yang menenangkan. Lelaki itu mungkin tak mud
jalan-jalan... lalu bagaimana kalau nan
, dan... terlalu lama. Lebih buruk lagi, Vina masih bisa merasakan tekanan samar di perutnya-yang tidak mungkin ia salah tafsirkan.
k memberi tahu Ryan bahwa ia datang tadi siang. Ba
Kenapa tidak sekalian bilang
antara mereka. Halus dan tak kasat mata, tapi nyata. Rasa
yan menggeliat sebentar di s
baik. Terlalu percaya
menjaga dirinya sendiri, karena ia pun tahu... jika terlalu sering berada de
*
g tanpa harus diun
diri di depan cermin di kamarnya. Ia mematut dirinya-rambut dikuncir, blus putih lengan panjang, dan rok hitam yang
sejak subuh, seperti biasa. Pagi-pagi tadi, sempat mengecup keningnya s
atap layar ponsel, bersiap memes
di atasnya, Pak Abdullah duduk tenang, helm masih tergantung di setang, mengenakan jaket kak tergagap, buru-bu
enebak apa yang ia pikirkan. "Kebetulan, Bapak mau balik ke Karawang pagi
nak. "Loh, tapi..
lang kamu gak bisa ikut. Bapak maklum. Tapi setidakn
saja. Tapi bisa juga tidak. Ia tak bisa mengusir bayangan pelukan kemarin. Ia bahkan tak yakin ap
ak Abdullah langsung menyusup ke hidungnya. Bukan wangi ya
ngin pagi lumayan kencang," ujar P
nahan bagian belakang jok, menjauhi tubuh lelaki
kecilnya, Vina tahu... perjalanan pagi ini mungkin akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih rumit dari seka
yum samar di sudut bibirnya, seolah menikmati kebersamaan ini, seolah tak ada yang salah. Tak lama motor sudah berbel
akasih ya, Pak. Hati-hat
ari balik helm, lalu memb
e Ana dan yang lainny
h, Pak." B
pa, Vin. Jangan lupa kalau butuh apa-apa bilang s
ter
uko. Ada sesuatu yang tertinggal di dadanya-sebuah rasa yang b
nak berdenting riang dari speaker kecil di pojok ruangan. Tapi Vina seperti tak benar-benar berada di sana. Tubuhnya sibuk melaya
memejamkan mata, sekilas bayangan itu muncul. Saat dia turun dari boncengan motor, matanya tak sengaja melihat celana Pak Abdullah
atinnya. Vina buru-buru mengutuk dirinya sendiri, menyalahkan pikirannya
emanggil, "Vin, tolong bantu ibu
a cepat, mencoba kem
k termangu di warung kopi pinggir jalan yang te
k...' batinnya, sambil menatap kosong ke arah j
terlalu percaya kalau Ryan yang selalu bertani dan menj
ng, tubuhnya letih, ta
ya menyimpan luka yang dipen
h aku membantunya agar cepat punya anak? Ah,
g satu lurus, penuh keteguhan dan harga diri sebagai seorang ayah mertua. Yang satu l
a, masih tertinggal di kampung, di ruko bahkan di dada Vina, menantu
t oleh Pak Abdullah. Sebuah rasa yang diam-diam tumbuh, menyelinap pelan-
ergaul dengannya. Namun entah mengapa, hanya Vina-istri Ryan, anak bungsunya-yang mampu mengguncang batinnya secara berbeda. Rasa
bayangan Vina tetap datang, lewat hal-hal sepele: langkah anggunnya membawa nampan teh, tawa kecilnya saat menyambut tamu, atau tat
lagi, dengan alasan
*

GOOGLE PLAY