serak, setiap kata terdorong keluar bersama
aku mau nggak mau dijo
at dari kami, duda dengan tiga anak yang sulung bahkan hampir se
ecil dengan dinding papan tembok sudah mengelupas catnya, aku duduk bersila di lantai, merangkul Fitri er
bilang, ini kesempatan. Katanya, makin lama makin susah dapat jodoh. Aku nggak pinter, R
rapuhnya posisi kami di mata orang yang bahkan harusnya jadi pelindung. Kami bukan didengar, tapi ditentukan.
u. Kamu bukan beban. Kamu sahabatku, kamu perempuan yang punya hak untuk
ahuku, tubuhnya berat, seperti semu
alam diriku. Aku takut jadi istri orang yang bahkan aku nggak
ti ingin menahan setiap serpihan
kamu aman, biar kamu bisa tetap sekolah, tetap jadi dirimu yang
n, bukan sekadar karena sedih, tapi di dalam pelukan itu ada bahasa yang hanya bisa dimengerti
ang sempit itu. Aku ingin bicara, ingin memberi janji, tapi di kampung kami, kat
ke kota, Rin,
i kerja kali, syu
ahan aja,"
ya mimpi, ya. Jangan biarin siapa pun bunuh itu semua. Simpan a
bahuku. "Terima kasih, Rin... kalau bukan k
satu bagian dari masa muda kami direbut, dan yang tertinggal hanya dua perempuan
tahari pagi memantul di kain tenda seadanya, tapi rasanya bukan panas yang membua
eadanya, senyum tipis dipaksa hadir di bibir yang sudah lelah menangis semalaman. Tangannya gemetar
tih, suaranya berat tapi tenang, seolah yang terjadi hanya s
kuketahui namanya terlihat bosan. Si bungsu yang cantik malah sempat menguap lebar, tidak paham betapa di
is haru, mengusap mata, mengucap syukur. "Alhamd
matanya bukan air mata bahagia, tapi luka yang diteteskan pelan-p
ang menatap mereka dengan senyum, seolah ini adalah akhir yang baik dari sebua
ng tajam dalam hidup kami? Seharusnya kami membicarakan masa depan pendidikan, merancang rencana setelah lulus nanti, bukan m
ur perlahan. Kakiku gemetar, napasku sesak. Aku tidak sanggup mengikutinya sampai tuntas. Aku melangkah keluar dar
ini bukan akhir bagi Fitri. Tapi langit diam. Dunia tetap berjalan, seolah pernikahan itu
itri tidak sedang memulai babak baru dalam hidupnya, ia sedang dipaksa m
ayan besar untuk ukuran kota kecamatan. Posturnya gagah, tinggi tegap, perangainya sopan, bahkan suka menyalami tetangga kalau lewat
etani biasa seperti ayah dan ibuku. Tapi entah mengapa, di kampung kami, anak perempuan, bisa tiba-tiba berubah fungsi -
arah jalan yang masih ramai orang pulang dan pergi ke resepsi dad
orang anak dijadikan
diri seorang perempuan di
ang, tapi pada hidup yang terlalu berat untuk ditanggung bersama
h murahan tentang gadis-gadis miskin di negeri ini, yang selal
pernah kamu bagi di bawah pohon dekat sekolah, barulah kamu sadar: klise itu bukan cerita - itu kenyat
menahan amarah yang sudah tak
a hanya membe
reka menjual masa d
diam, menyebutnya takdir, menyebutnya jala
adi saks dari sebuah pernikahan yang sebenarnya bukan pernikahan, mel
jalan kampung yang biasanya penuh tawa kini teras
tanya ingin punya toko kue, tentang rencananya menyusul kakak sepupunya
*