ungkusan gula di dapur. Bau masakan Ibu sudah m
Ibu tanpa menoleh, masih sibuk m
u," jawa
ya," katanya sambil menoleh s
pelan sambil meny
tanyanya, menunjuk cemilan-ce
singkat sambil menyerah
erbinar seperti baru menerima
alannya. Kamu lihat, Rin, ternyata hidup tuh kadang nggak perlu cinta-cintaan dulu b
di
mahnya sambil mengir
t suami mapan, punya usaha, dikasih warung, sekarang hidupnya udah terjamin. Cantik juga sekaran
bu yang bicara dengan nada ringan, seolah yang baru ia
lan, seperti mau bica
n orang tua, bisa berdiri di atas kaki sendiri. Cinta nanti bisa nyusul. Orang zaman dulu juga gitu. Ng
am hati, aku ingin teriak: 'Bu, Fitri itu bukan bahagia - d
a sekolah. Setidaknya sampai tamat SMA sebentar lagi, aku masih bisa memilih, m
ang masih hangat di tangan. Rasanya manis, tapi di lidahku pahit - seperti hidup kami, yang
n ditraktirnya karena dia bukan lagi yang dulu. Sekarang dia sudah sukses, tapi langkahku terhenti saat melihat seoran
tu condong ke arahnya, bicara pelan, sesekali tersenyum. Fitri... matanya berbinar, tawanya menggoda-bukan seperti F
h, aku bahagia, Rin." Mungkinkah bahagia itu
ngung dan perih. Sore itu, di kedai tempat kami dulu tertawa kecil bersama, aku melih
mungkin ia hanya merindukan lagi rasanya d
g berbeda di wajahnya. Semringah. Bukan senyum basa-basi atau senyum sopan kepada pelang
soal guru-guru, teman lama, cerita-cerita kecil yang dulu terasa besar. Aneh, dari awal sampa
r-benar mengantarkan paket, lengkap dengan tanda tangan dan catatan retur. Sekilas
r, ya. Ini mau aku bungkus
benarnya aku ingin memastikan, ingin tahu ke mana arah cerita ini, tapi ak
tanya harus diretur, wajahnya tetap cerah, senyumnya tetap manis. Tapi ada yang tak mereka perhatikan: keringat di pelipir kedua
ungan yang terlalu banyak bercampur jadi satu. Aku pamit pelan, pul
punya mimpi besar dan cinta pertama pada Andri yang begitu tulus. Tapi ya sudah. Aku ha
ci. Lebih karena hatiku sendiri yang sudah terlalu sesak melihatnya terlalu dekat - seperti menatap foto l
war cabai. Kadang di jalan, terburu-buru membawa barang dagangan, kadang tertawa di atas motor boncengan, bukan dengan suaminya.
. Dalam hati aku hanya berdoa pelan: semoga Fitri tidak semakin jauh. Semoga masih ada jalan pulang
menolong. Bukan karena aku tak peduli - tapi karena aku tahu, dalam hidup yang pelik ini, kadang
ang jalan, di depan warung Bu Tarmi, ibu-ibu kampung lagi ngumpul. Mereka ngobrol sambil seseka
ng Fitri sekarang udah lain," suara Bu Tarmi d
an, anak-anak Haji Atma tuh kelihatan malah makin
di warung. Kadang pulang malem, katanya nyari belanjaan, tapi kok sering keliatan sama le
yang suka nongkrong di warungnya Mbak Ijah, janda genit?" u
mereka, bilang, "Udahlah, jangan su'udzon," tapi hatiku sendiri udah nggak tenang. Dari caranya Fitri n
bu cerita hal yang sa
punya anak yang ahrus diurus, ya walau anak tiri. Punya suami yang udah repot nanggung dia. Eh, malah
g muncul dari kosong. Selalu ada percikan nyata yang bikin api nyala. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, a
*