pun telah masuk kembali. Aku te
alan belakang, memutar lebih jauh, hanya supaya tidak harus melewati rumah Haji
ang sekolah bersamaku, sekarang mungkin sedang menyapu teras sa
ekampung, semuanya satu suara: Fitri baik-baik saja. Fitri sudah belajar mencintai suaminya. Fitri sudah me
ahu, itu s
tidak terlalu merasa bersalah. Cerita yang disulam dari rasa bersalah, ditutup rap
bisa tumbuh dari paksaan. Bahwa waktu akan mengubah rasa takut menjadi sayang, m
t generasi mereka pun menyerah pada jalan hidup yang sudah dig
empat bulan sudah a
wati gang belakang yang sepi. Bau masakan dari dapur rum
pakah Fitri sedang memasak
an karena bahagia, tapi kare
aku yang terlalu keras memegang kenangan kami, s
semua kemu
aku ingin dunia ini jujur: bahwa memaksa seseorang menikah
itu lahir dari kelelahan, dari kepasrahan, dari ajaran turun-te
Fitri, tapi untuk kekuatannya. Karena kalau bahagia sudah tak bisa ia pilih, semoga seti
ula ke warung Fitri?"
ningku mengernyit. "Ke w
arung Fitri aja, sekalian
Nama itu seperti stempel baru, merek yang ditempelkan ke hidup sahabatku - seperti menutupi
ang sudah lama tak kupijak. Rasanya seperti berjalan ke masa lalu yang tak ingin kuhadapi. Ini mungkin pertemua
etalase kaca, tersenyum ceria melayani pelanggan. Tubuhnya tampak lebih berisi, pipinya agak tembam, kul
A yang pulang sekolah sambil lari-lari kecil di jalan kampung, tapi
nya melebar, tangannya melambai seperti dulu, seo
ahku sebentar, yuk!" ajaknya seraya merapikan jilbabnya, se
alu terang. Terlalu cerah. Terlalu rapi untuk jadi nyata. Aku kenal Fitri. Aku tu
cil. "Ayo, Rin, sekalian ketemu anak-anakk
ca, tertawa sambil bercanda bahwa ia bisa akting menangis kapan pun dibayar. Tapi yang kulihat sekarang bukan akting menangis
mpat kuatur suaraku, kata-kata itu lolos, lirih, pa
nunduk, menatap lantai te
. Aku tahu matamu, aku tahu hatimu. Aku tahu mana senyum yang
ebuah topeng yang tiba-tiba kehilangan naskah. Matanya
sebentar. Dua gadis kecil yang dulu bergegas berangkat sekolah bersama, kini berdiri di dua
pnya kirih sambil tersenyum, matanya berbina
nggak bisa dusta. Aku dikasih warung ini sama suamiku, dia fokus dengan usaha penyerwaa
ng sudah diulang berkali-kali supaya terdengar meyakinkan. Bukan kalim
nyetujui cerita yang ia ciptakan. Tapi di balik sorot matanya yang berbinar, aku menan
u tetap tahu. Kebahagiaan yang ia tunjukkan bukan untuk Haji Atma. Bukan karena pernikah
gia yang tumbuh dari sesuatu yang bisa ia genggam, yang ia atur sendiri, yang m
a berdebat, apalagi merusak senyum
ambil menakar gula ke plastik bening, lalu menyelipkan beberapa
m buat Ibu kamu,
yang keluar dari mulutku. Aku hanya tersenyum tipis, mencoba mem
rang terasa seperti garis pemisah antara dua dunia. Dunia sebelum Fitri dijodohkan, dan du
*