"Ini apa-apaan! Lu sudah menghina gue? Menghancurkan hubungan gue dengan Fitri, anak lu yang sudah gue bina selama dua tahun?!" teriak Andri, suaranya menggema di halaman, membuat beberapa tetangga menoleh penasaran. Andri memang arogan.
Fitri berdiri di pintu, bibirnya tampak gemetar, matanya berkaca-kaca. Ia menunduk, tak berani menatap Andri, seolah terperangkap antara cinta dan kewajiban pada keluarganya. Tubuhnya tampak kecil, rapuh di tengah keributan yang begitu besar.
Pak Jaya, ayah Fitri hanya diam, menunduk, wajah pucat. Ayah dan ibuku tampak menahan diri, sepertinya tak ingin menambah keributan. Napas semua orang terasa tercekat; bahkan beberapa tetangga mulai berkumpul di halaman, menyaksikan adegan dramatis itu, bergumam pelan dan saling menatap.
Andri melangkah maju, bambu di tangannya bergetar karena kemarahan yang tak tertahan.
"Lu pikir cuma Haji Atma aja yang berhak bahagia! Gue gak bakal diam? Fitri bukan barang yang bisa lu jual-belikan Jaya!" teriaknya lagi, suara kerasnya membuat beberapa jendela rumah seolah ikut bergetar.
Aku menahan napas, jantung berdegup kencang, merasa seperti menonton pertunjukan yang terlalu nyata, menegangkan, dan... menyedihkan. Dunia yang selama ini terasa aman dan biasa, mendadak berubah kacau hanya dalam beberapa detik.
Andri melangkah lebih dekat, hampir menepuk bahu Fitri, tapi ditahan oleh beberapa lelaki dewasa.
"Fitri, kamu bilang cinta... tapi kenapa bisa secepat ini diberubah ke Haji Atma? Kamu tak peduli perasaanku, Fitri!" suaranya pecah, menembus malam yang sunyi, seolah menahan tangis dan kesal.
Fitri hanya bisa menunduk, air matanya bercucuran di kedua pipinya.
"Aku... aku... aku harus menurut... keluargaku, Ndri... Maafkan aku..." ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
PRANG!
Sekali lagi suara benda keras menghantam sesuatu-mungkin sisa kaca. Andri mengamuk, tubuhnya seakan meledak dalam amarah yang lama tertahan. aku, yang menyaksikan dari kejauhan, merasakan jantungnya berdetak kencang. Dunia kampung yang biasanya tenang, kini berubah menjadi panggung ketegangan penuh emosi yang sulit dipercaya.
Tiba-tiba terdengar suara lantang seorang bapak-bapak, Bang Karta, memotong keributan.
"Andri... tenang, jangan macam-macam di sini!" serunya, berusaha menenangkan Andri yang masih memegang bambu dengan tangan gemetar.
Namun Andri tak mengalah. Matanya masih menyala merah, amarahnya meledak-ledak. "Gue nggak mau tenang! Kalian pikir bisa seenaknya menghancurkan gue begitu saja?!" bentaknya, suaranya mengguncang udara sore itu.
Bang Karta melangkah lebih dekat, mencoba meredam kemarahan Andri. Tapi Andri tiba-tiba menepis tangan Bang Karta, tubuhnya kaku menahan rasa ingin meledak. Kedua lelaki itu saling menatap, napas saling memburu, seolah siap saling bentak atau lebih buruk lagi.
Tak ayal, keributan pun meluas. Warga kampung yang awalnya cuma menonton, mulai berteriak-teriak, berusaha melerai dan menenangkan kedua kubu.
"Eh, jangan sampai berantem di sini!" terika seseorang.
"Tarik si Andri bawa pergi!" teriak yang lainnya.
"Bang Karta, hati-hati!" seru seorang Bapak, suasana mendadak cheos.
Dalam sekejap, Andri ditarik menjauh oleh beberapa pemuda yang mencoba menahannya, tapi ia tetap menolak, berusaha membebaskan diri sambil terus berteriak. Sementara Bang Karta juga ditarik ke belakang oleh kelompok lain, wajahnya tegang, mulutnya masih berteriak menenangkan Andri.
Aku berdiri terpaku, jantungku berdegup kencang, merasa dunia di sekitarku mendadak gaduh dan tak terkendali. Suara teriakan, bentakan, dan gerakan panik warga bersatu jadi kekacauan yang membuat napasku tercekat. Semua terjadi begitu cepat, dan aku hanya bisa menonton dari dekat rumahku, tak tahu bagaimana ini akan berhenti.
Beberapa tetangga mulai mendatangi dan menenangkan orang tua Fitri. Namun kemarahan Andri belum mereda, dari kejauhan dia masih berteriak-teriak di antara kerumunan pemuda yang menahannya. Ia menatap rumah Fitri sekali lagi, wajahnya penuh kecewa, lalu berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya berat, meninggalkan kerumunan dan susana yang mencekam di halaman.
Pak Jaya masuk ke rumah, juga Fitri, diikuti beberapa orang. Fitri menangis tersedu-sedu. Aku tetap berdiri di tempatku, menyaksikan drama yang baru saja terjadi. Hati kecilku bergetar, merasa sedih sekaligus lega karena diriku belum terlibat langsung, tapi aku tahu, hidup orang-orang di sekelilingku kini berubah, dan konflik ini baru permulaan dari kisah yang lebih rumit.
Aku segera masuk ke rumah dan mendekam di kamarku, menutup pintu perlahan, tapi suara-suara di halaman masih terdengar jelas. Beberapa tetangga saling bergumam, nada mereka campur antara heran, kesal, dan seakan menyalahkan Andri.
"Dasar cowok nggak tahu diri, pacaran sama Fitri tapi nggak mau bantu orang tuanya." Terdengar suara seorang bapak tetangga, agak lantang.
"Kerjanya cuma ngojek doang, males ikut nyangkul atau bantu orang tua di sawah, kebun... dasar pemuda sekarang!" sahut yang lain, nada mencemooh.
Aku menelan ludah, dada terasa sesak. Suara mereka nyaris sepenuhnya mengkritik Andri, tapi sesekali terdengar suara kecil yang mencoba membela, nyaris tak terdengar di tengah keributan.
Aku memandang keluar jendela sebentar, mencoba menangkap bayangan orang tuaku. Tapi rupanya ayah, ibu juga kedua adikku maish di rumah orang tua Fitri. Mungkin masih menenangkan situasi atau memberi dukungan moral kepada keluarga Fitri.
Aku menunduk sedikit di balik tirai, hati berdebar-debar, tapi kupaksa tetap diam. Suara-suara dari samping kamarku terdengar jelas, meski bercampur tawa kecil dan gumaman.
"Sebenarnya Haji Atma juga keterlaluan, sih. Padahal nunggu dulu Neng Fitri lulus sekolah, tinggal setahun lagi. Baru aja dia naik ke kelas tiga," suara seorang wanita terdengar lirih, seperti takut terdengar orang lain.
"Mungkin udah nggak kuat, pengen segera belah duren sama perawan, hihihi," timpal suara lainnya, disertai tawa tipis.
"Ya, bisa jadi. Kan udah lima tahun dia ngeduda sejak ditinggalin istrinya," sahut yang lain lagi, nada setengah tak percaya.
Aku menahan napas, merasakan campuran geli dan cemas di dada. Suara mereka makin jelas.
"Heran ya, Haji Atma kan uangnya banyak, kenapa harus maksa Neng Fitri. Kenapa nggak cari yang perawan udah siap berumah tangga atau janda aja sekalian. Kan harus ngurus anak-anaknya juga," suara wanita itu terdengar lagi setengah menggerutu.
"Iya sih. Tapi katanya ada sangkut paut sama urusan utang. Pak Jaya udah lama nggak bisa bayar utang ke Haji Atma," tambah yang lain.
"Emang berapa sih utangnya?" Seseorang kepo, seolah mewakili perasaanku.
"Kurang tahu. Mungkin besar makanya nggak bisa bayar," sahut suara terakhir, seakan menutup pembicaraan.
Aku menarik napas panjang, dada terasa sesak. Semua percakapan itu seperti membuka tabir rahasia yang selama ini Fitri bisikan padaku dengan samar-samar. Dan tiba-tiba, aku sadar bahwa Fitri, teman sebaya yang biasa kuanggap ceria dan mandiri, kini tengah berada di tengah pusaran urusan yang begitu rumit, antara utang, tekanan sosial, dan kehendak orang tua.
Aku menunduk lagi, mencoba menenangkan diri, tapi rasa penasaran tetap menggantung di hati. Suara mereka perlahan mereda, tapi bayangan Haji Atma dan Fitri terus menempel di pikiranku, menimbulkan keresahan yang aneh sekaligus menegangkan.
Aku duduk di tepi tempat tidur, hati berdebar. Dari kamar pun, aku masih bisa merasakan ketegangan di halaman, perseteruan antara Andri dan keluarga Fitri juga tetangga lainnya. Dan bagaimana Fitri kini berada di tengah pusaran yang tak bisa ia kendalikan. Semua terasa nyata, seolah aku ikut terseret dalam drama yang rumit ini, meski hanya menjadi pengamat.
Sebagai sahabat paling dekat Fitri, aku tahu persis siapa Andri. Pemuda itu terlalu banyak gaya, malas bekerja, dan sukanya poya-poya. Punya uang sedikit, habis dipakai minum-minum atau nongkrong dengan teman-temannya. Selama pacaran dengan Fitri, jangankan membantu orang tuanya, membelikan Fitri pulpen saja tidak pernah. Pemarah, egois, dan terlalu percaya diri.
Aku menghela napas pelan, menahan rasa kesal sekaligus prihatin.
Meski begitu, aku juga tidak setuju dengan jalan pintas yang diambil orang tua Fitri: menjodohkan Fitri dengan Haji Atma, lelaki berusia di atas lima puluh, yang bahkan kurasa lebih tua dari ayah Fitri sendiri.
Di satu sisi, aku ingin melindungi Fitri dari Andri. Di sisi lain, aku juga ragu apakah Haji Atma, meski tajir dan berpengaruh, bisa memberinya kebahagiaan. Semua terasa salah dan rumit.
Aku menarik napas panjang, menunduk di kamar, menguping obrolan tetangga sambil merasakan campuran cemas, kesal, dan penasaran. Dunia Fitri, yang selama ini kudengar sebagai kisah manis persahabatan dan cinta muda, kini berubah jadi pusaran tekanan sosial, utang, dan keputusan orang tua yang membingungkan.
^*^