s hujan membelai wajahnya. Namun, semua kehangatan itu tak mampu menembus kegelisahan yang bersarang di hatinya. Ningsih duduk di bale
lelah. "Bagaimana, Nak? Sudah dapat info pekerjaan d
Di sana banyak saingan," jawabnya berbohong. Ia tak sanggup menceritakan apa yang sebenarnya terj
an. Di sini juga ada pekerjaan. Kita
embanting tulang di sawah demi dirinya dan kedua adiknya. Ia datang ke Jakarta dengan satu tujuan, membantu m
*
buah klub malam di Jakarta, Mirna sedang larut dalam dunia gelap yang telah lama ia jalani. Pintu ka
ni, seorang pria paruh baya berusia 45 tahun yang telah menjadi langganannya, menatapnya dengan mata penuh nafsu. Pak Boni kini hanya
. Ia merangkak mendekat, mengusap lembut perut Mirna. "Say
kul leher Pak Boni. "Karena saya beda,
amkan mata. "Saya butuh kamu, Mirna. Kamu satu
ahu kan, saya nggak pernah mengecewakan Bapak. Tapi,
a. Berapa pun yang kamu minta.
a akan bikin Bapak bahagi
atap lurus pada tonjolan di balik celana dalam pria itu. Nafsu Pak
Bapak mau apa. Tenang saja,
ya menangkup wajah Mirna. "Ayo,
entuk penis pria itu yang sudah sangat tegang. Hidungnya mencium aroma khas pria, campuran keringat dan gairah. Tanpa ragu, ia meraih u
gan kamar. "Mirna... ah... kamu... kamu meman
Pria itu terus mengoceh, memuji-muji Mirna, betapa liar dan binalnya dia, betapa ia tak pernah bertemu wanita seperti Mirna. Mirna hanya men
*
ersenyum puas. Mirna merapikan pakaiannya, mengambil
telepon kamu, ya
normal, seolah tidak ada apa-apa yang baru s
hari. Ia tahu Ningsih tidak akan pernah mengerti dunianya. Namun, ia juga tahu, ia harus melakukan apa saja demi uang. Tanpa u
berdoa agar ia bisa menemukan jalan keluar dari kebingungannya. Ia tahu, ia harus memutuskan, apakah ia akan kembali ke Jakar
*
un kabar baik dari Jakarta. Beberapa kenalannya di sana memang memberikan informasi lowongan, tapi semuanya tidak sesuai dengan harapannya. Ada yang kerjanya terlalu berat, ad
n singkat dari Mirna terus ber
ngsih? Sudah
os, dia masih nun
yan banget. Bisa buat b
teng pertahanan Ningsih. Ia mencoba menahan diri, membalas seperluny
jinya jutaan. Belum lagi bonusnya. Kamu pikirin lagi de
erenung. Betul, semua ini demi uang. Demi kedua adiknya. Apakah i
Mirna. Suaranya terdengar ragu-r
tahu, rencananya berhasil. "Tuh kan, aku bila
u cuma mau kerja jadi pelayan, Mir. Yang kayak
ya. "Iya, Ningsih. Tentu saja. Kamu akan jadi pelayan. Pokok
tanya Ningsi
esok aku jemput di terminal," kata Mir
a sedikit kelegaan karena akhirnya ia mendapat p