an, ia mengikuti mereka dari belakang. Ia melihat Mirna dan pria itu masuk ke sebuah kamar. Pintu kamar itu tidak tertut
itu mencium leher Mirna, sementara tangan Mirna mengusap rambut pria itu. Suara kecupan dan desahan menggema di kamar itu. Ningsih menutup mulutnya, menahan napas. Ia ta
keluar dari lorong itu. Air matanya menetes. Ia tidak bisa membayangkan di
*
lulus dari SMK di desanya yang tenang di kawasan Bogor. Namun, ketenangan itu tidak sebanding dengan beban di pundaknya. Ayah dan ibunya bekerja keras membanting tulang di s
d dan keberanian, ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Ibunya memeluknya erat-erat sebelum ia berangkat, matan
yang halal buat bantu keluarga kita," jawab Nin
janji akan membantu Ningsih mencarikan pekerjaan. Ningsih membayangkan pekerjaan di kota besar pasti bergengsi, seperti karyawa
a dari yang ia kenal di desa. Rambutnya diwarnai merah menyala, bibirnya dipoles lipstik merah
k Ningsih. "Kamu makin cantik aja, ya. Sini, aku ajak ke
bulat. "Wawancar
n tempat kerjaku lagi butuh banyak karyawa
mpu-lampu neon. Dentuman musik menggetarkan dada, dan aroma alkohol bercampur deng
mpat apa?" tany
awab Mirna santai. "Kerjaan kita gampang kok, cuma ne
ihat Mirna, yang baru beberapa menit lalu masih bersikap ramah, kini berubah menjadi sosok yang jauh lebih berani. Mirna mengenakan gaun mini ketat berwarna merah yang memamerkan lekuk tubuh
seburuk ini. Bahkan, ia melihat beberapa wanita lain yang bekerja di sana terlihat sangat
os. Kamu harus kenalan dulu sama dia,"
ggak mau kerja di si
ngsung menyerah?" jawab Mirna. "Bosnya baik ko
ng jujur dan halal. Tapi Mirna tak mau tahu. Ia langsung membawa Ningsih ke ruangan bos
yang kumuh. Aroma sampah dan selokan menyengat hidung. Kontrakan mereka hanya sebuah kamar k
tempat kayak gitu. Aku mau pulang a
gampang, Ningsih? Di sana gajinya sebulan bisa dapat lebih dari 10 juta, belum
nggak mau kayak kamu,
ria hidung belang itu yang kasih kita uang. Mereka rela kasih uang banyak cuma buat dite
kamar sama mereka?" tanya
lau kamu mau cepat kaya dan bantu orang tua, ya ini jalannya. Di sini kita cuma akting. Kamu nggak perlu be
gak bisa, Mir. Aku malu. Gi
di Jakarta. Lagipula, aku nggak pernah bilang ke orang tua kalau kerjaank
ng, kembali ke desanya, kembali ke keluarganya.
mau pulang beso
"Kamu serius? Se
Ningsih. "Aku lebih baik kerja di saw
ng. Kamu pikirin dulu. Nanti aku bilang ke bos kalau kamu masih p
a berharap, jalan pulang menuju desanya, tidak sesulit yang ia bayangkan. Namun, Mirna tidak menyerah. Ia tahu, Ningsih adalah