seolah dunia berhenti berputar. Tak ada suara lain selain d
nalnya," lanjutnya dengan nada santai
bukan sekadar taruhan biasa. Ini soal harga diri.
ing, mengiris keheningan seperti sembila pisau. Nama yang t
ri sana. Suara teriakan teman-temanku meng
kekacauan di kepalaku. Berkali-kali ku tarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, namun percuma ka
. Di ruang tamu, Ayah dan Ibu sudah menunggu, duduk berdampingan di
kah pelan,
" Perintah
sesuatu yang terasa berbeda malam ini. Terlalu berbeda. Bahkan jauh lebih m
mata, aku bisa melihat Ayah tamp
amu me
nyaan yang kupikir akan keluar. Biasanya,
aik saja, 'kan?
saja?" sahutnya datar, tak terseny
k pelan. Deg-degan
senang jad
tusias, aku mulai bercerita tentang balapan, suara mesin, detik-detik sebelum g
napas panjang.
h tidak akan melarangmu lagi mela
ontak membuatku
ngan sat
bergantian. Keduanya tersenyum. Senyuman yang penuh makna. Alarm di
g penghafal Al-Qur'an. Kalau kamu bisa penuhi syarat ini, silakan. Mau melakukan apa pun setela
i, Y
sama sekali. Kam
seakan berhe
an tatapan ayah yang tak bisa kutembus. Tatapan yang tadinya h
atu pun kata yang mampu kubalas. Dadaku sesak
emikirkannya, Yah." Perlahan aku melangkah menjau
Rumah yang biasanya dipenuhi canda dan suara televisi, malam
lalu menutupnya rapat di belakangku. Tak ada
gigi, berganti pakaian, lalu kembali ke kamar. Makan mal
njang yang biasanya mampu meredakan penat. Tapi
hampa langit-langit kamarku dengan perasaan dan
uatu yang mudah
anya seperti dua dunia yang
ngabaikannya, semakin
akan bara yang menyala dalam dadaku. Sia-sia. Napasku tersengal pelan, jantungku berdetak
g menggumpal di kepala. Tapi semakin kesadaranku menipis, semakin dalam aku teng
bangun dengan napas terengah dan dada sesak, seolah baru saja lolos dari sesuatu yang tak terli
rtinggal di tempat lain, di dalam kegelapan lembap yang terasa kun
mengingat kembali potongan-poton
ertarik ke dada, bahunya bergetar dalam isakan sunyi. Rambut panjangnya kusut, menjuntai hin
aku dalam
nahannya dari telingaku. Mulutnya bergerak, namun dunia sekitarnya seolah dibungkam
inya. Tapi tubuhku selalu terkunci di tempat,
temu, entah kenapa, hatiku terasa ditikam oleh sesuatu yang tak bisa kugam
lam dada, meninggalkan jejak panas dan perih yang tak kasatmata. Tenggorokanku tercekat, seolah ada gumpalan
terlihat, beban yang tak kukenal, tapi terasa begitu akrab. Seakan tubuhku mengingat sesuatu yang pikir
a sekedar bunga tidur? Tapi ini terlalu