esai. Kuhentikan langkah kakiku begitu suara familiar menyusup ke
hat siapa yang datang. Moge hitam. Jaket kulit.
knya. Ia berhenti tepat di depanku, menyunggingkan senyum miring
a santai seolah kami hanya dua ke
i balik dada, gejolak itu masih belum reda, perdebatan di kantin tadi masih menggema
menyimpan niat lain? Apa kau bisa menjamin
annya tenang, bahkan terlalu tenang. Tapi justru itulah yang membua
basa-basi. K
, dengan nada ringan yang terdengar seperti senjata
ku dingin, tatapanku tajam seperti bel
elangan tanganku, gerakannya cepat, menghentik
upa taruhan
sinis. "Ah, jadi itu maksudmu?" Nada suaraku rendah,
usup seolah sedang mengukur keteguhan hat
balik, melenggang pergi tanpa menoleh sedikit pun, membiar
, aku akhirnya tiba di sebuah bangunan sederhana, pusat studi kanak-kanak yang tampak biasa di mata siapa pun. Tapi tidak u
idor sempit yang mulai lengang. Tanganku menyentuh pegangan tangga besi, dingin dan sedi
saat aku mendorong pintu dan masuk. Tenang. Datar. Tap
ela. "Tadi pria itu menemuiku," ujarku pelan tanpa mengalihkan
enyodorkan sege
p sedikit, lalu berkata, "Aku bingung. Ak
ggu. Menatapku, seakan ingin menelusuri isi pikiranku y
, aku haru
ar namun penuh makna. "Menurutku, kau nggak usah dat
ak bisa dibagi. "Itu bukan solusi, Zay. Kalau aku nggak pergi, mere
yah selalu berada di sisi yang sama. Mereka memandangku dari kacamata yang sama. Memandangku l
lu sibuk menjaga harga dirimu. Tapi, apa kau pernah berpikir seberapa
terc
luka. Tidak meninggalkan jejak. Kata-kata Zayden hanya lewat seperti an
keluar rumah. Melanggar janji. Mengabaikan
u. Kali ini saja izinka
p... satu, du
ma pria itu diteriakkan bertubi-tubi, menggelegar
putar
a ini kupendam. Motor melesat bagai peluru, menembus angin yang menyayat kulit, menyalip bayangan-bayan
ran kemenangan di ujung jemari, denyut nyata di dada. Tapi justru di detik itulah, dari s
dentum tak karuan saat roda motorku mendadak berge
egalanya terasa berhenti dalam sekejap. Tubuhku terlempar ke udara, seolah waktu melambat. Dunia berputar tak menentu.
yang membungkus kesadaranku. Suara yang terasa
suk mataku, seperti ribuan jarum dingin menari-nari di pelupuk. Semuanya ber
am rongga kesadaranku yang tersisa. Tapi perlahan, suara itu memudar, tergantikan oleh ki
Cuit
a ada suara burung? Kemana perginya suara jeritan dan der
an langsung menyerbu penglihatanku, bukan cahaya lampu jalan atau lampu rumah sakit seperti yang kuha
h di
a. Angin menyelinap dari sela-selanya, membawa aroma kayu basah yang berpadu dengan bau tanah lembab. Di
mata. Denyut nyeri yang samar menjalar perlahan di setiap persendian, menyisakan
i, aku memindai ruangan asing itu. Di mana aku? Bukankah seharu