Aku berdiri di halaman luas yang asing, sunyi, dan hampa. Tak ada bangunan, tak ada tanda kehidupan. Hanya hamparan tanah kering dan padat yang terasa pernah menjadi saksi dari sesuatu yang besar pernah terjadi.
Di atas kepalaku, langit malam terbentang seperti lukisan tua. Gelap pekat dengan bintang-bintang yang bertabur sepi. Tak ada suara lain selain detak jantungku sendiri dan desir angin tipis yang mengelus dedaunan entah dari mana.
Aku memutar tubuh, menatap sekeliling dengan dada yang menegang dan napas tertahan. Lalu aku melihatnya, seseorang berdiri di tengah halaman yang sunyi. Diam. Tanpa suara. Namun kehadirannya terasa nyata, begitu nyata, seolah seluruh semesta telah menantikan detik ini.
Ia berdiri membelakangiku, tubuhnya tegap dibalut jubah gelap yang menjulur ke tanah. Namun anehnya, cahaya bintang enggan menyentuh wajahnya, seakan alam pun tak ingin mengungkapkan siapa dia sebenarnya. Semakin kupandangi, sosoknya justru makin kabur.
Di hadapan pria itu, ada seorang wanita. Ia bersimpuh di tanah, tepat di bawah cahaya bulan yang pucat. Rambutnya tergerai panjang, terombang pelan ditiup angin malam. Gaun panjang bergaya kerajaan mengalir di sekeliling tubuhnya, seperti sisa masa lalu yang masih hidup.
Bahunya berguncang pelan. Ia tak bersuara, namun wajahnya menyuarakan segalanya sebuah penderitaan dan luka yang tak pernah sembuh.
Lalu aku menyadari sesuatu yang membuat darahku membeku. Wajah wanita itu... adalah wajahku. Sama persis. Namun lebih tirus. Tatapannya kosong, seperti cermin dari jiwa yang telah retak dan kehilangan harapan.
Saat mata kami bertemu, aku bisa merasakannya sebuah duka yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kata-kata. Rasa kehilangan. Duka yang sudah terlalu lama ia tanggung sendiri.
Dengan seulas senyum tipis, wanita itu berbisik di tengah desiran angin malam, "Tolong aku..." Bukan, itu bukan suara yang keluar dari bibirnya melainkan gema halus yang menyelinap langsung ke dalam benakku. Seperti bisikan angin yang merayap di antara sela-sela waktu.
"Aku sudah tidak kuat..."
Keningku berkerut. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kuucapkan. Siapa dia? Apa maksud ucapannya? Dan siapa pria yang berdiri di hadapannya?
Namun tubuhku membeku. Lidahku kelu. Seolah dunia enggan memberiku celah untuk bergerak. Lalu semuanya berubah.
Tanah di bawah wanita itu mulai retak. Cahaya bintang satu per satu redup, padam seperti lilin kehabisan harapan. Langit malam menghitam, kelam seolah hendak menelan segalanya.
Dan tepat sebelum semuanya runtuh, aku mendengar suara lain, terdengar begitu dekat, begitu dingin, seolah dibisikkan tepat di belakang telingaku.
"Aku adalah bagian darimu, Reyna."
Saat itu aku langsung terbangun. Istighfar meluncur dari bibirku berkali-kali. Jantungku berpacu liar, seolah ingin lepas dari dadaku. Napasku tercekat, gemetar. Tapi mataku, tanpa sadar, langsung menatap ke arah jendela kamar.
Malam telah berganti pagi. Cahaya lembut merambat masuk menembus celah tirai, menyapu sudut kamar dengan sinar keemasan. Dengan tangan gemetar, aku memijat pelipis, mencoba menghapus jejak mimpi yang terasa begitu nyata terlalu nyata.
Baiklah, lupakan. Aku harus fokus pada hari ini. Ada seseorang yang harus kutemui. Bergegas, aku berdiri, masuk ke kamar mandi, lalu berpakaian dengan tergesa. Setelah berpamitan singkat pada ibu, aku melangkah menuju suatu tempat.
Begitu sampai, aku langsung menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dari kejauhan, suara itu menyambutku. Ia sedang duduk di tengah-tengah anak-anak didiknya, seperti biasa, dengan mata penuh cerita dan bibir yang tak lelah mengisahkan dongeng masa lalunya itu.
"Itu hanya sedikit dari 112 kesultanan dan kerajaan yang pernah ada di Indonesia."
"Apa sebanyak itu?" tanya salah satu anak, suaranya mengambang di udara, setengah tak percaya.
Pria itu-Zayden-mengangguk pelan. "Konon, ada satu kerajaan yang hingga kini keberadaannya masih menjadi misteri. Para arkeolog telah mencoba mencarinya, menelusuri catatan-catatan kuno, namun hasilnya selalu nihil. Seolah kerajaan itu hanya hidup dalam bayang-bayang sejarah."
"Apakah kerajaan itu ada di Indonesia juga?"
Zayden tersenyum samar. "Itu-"
"Bisakah kau berhenti dengan cerita tidak masuk akalmu itu?" Potongku tajam, suaraku menggema di ruangan.
Zayden menoleh cepat, napasnya terdengar berat. "Dan bisakah kau berhenti menyela ceritaku?" balasnya, nada suaranya menusuk balik.
Aku melangkah maju, menatap matanya dalam-dalam. "Aku ke sini untuk menagih janji."
Dengan helaan napas jengkel, Zayden berdiri dan menarik lenganku, menyeretku keluar dari ruangan. Tatapannya tajam, gerakannya cepat.
"Reyna, aku tahu kamu cinta mati sama hobimu itu, tapi tolong jangan seret-seret aku terus ke dalam urusanmu. Kalau begini terus, aku bisa mati muda, tahu nggak?"
Aku mengangkat tangan, tak peduli pada keluhannya. "Kuncinya."
Ia menghela napas panjang, menyerah. Tangannya merogoh saku celana, lalu menyodorkan kunci motor itu ke tanganku dengan wajah pasrah.
"Mau sampai kapan kamu terus jadi pembangkang?"
Aku tersenyum lebar, nyaris congkak. "Kamu tahu, 'kan, apa yang harus kamu lakukan setelah ini?" ucapku sembari melenggang pergi tanpa menoleh.
"Reyna! Aku sudah sumpah, atas nama Ibumu, ini terakhir kalinya aku membantumu!" teriak Zayden dari belakang, nadanya frustrasi bercampur pasrah.
Tapi aku tidak peduli. Tidak sedikit pun.
Dengan semangat yang menggelegak, aku mengenakan racing suit hitamku, lalu berjalan mantap menuju Yamaha YZF-R6 kesayanganku. Motor yang kerap kali disita Ayah karena hobiku yang tidak akan pernah beliau sukai.
"Kamu itu perempuan, Re. Berperilakulah seperti perempuan!"
"Mau sampai kapan kamu terus menyusahkan Ayah dan Ibumu seperti ini, hah?"
Bentakan Ayah dulu masih terpatri jelas di kepalaku. Beliau pernah menyusulku ke kantor polisi, wajahnya merah padam, suaranya bergemuruh. Semua itu karena satu hal yang sama. Balapan liar.
Tapi apa daya? Kata-katanya hanya lewat begitu saja. Tidak membekas. Tidak mengubahku. Mungkin aku memang keras kepala. Atau mungkin aku hanya sedang mencari versi diriku sendiri dengan cara yang tak mereka mengerti.
"Alright! Kau siap, junior?" gumamku pada motor kesayanganku, lalu mengenakan helm dengan satu tarikan napas panjang.
Gudang tua itu menjadi saksi bisu saat aku kembali menyalakan mesin. Dentuman suara mesinnya membelah malam, dan aku melesat keluar tanpa ragu, meninggalkan bayang-bayang larangan yang selama ini mengungkungku.
Langit malam menggantung kelam, tapi semangatku menyala terang. Deru mesin, sorak-sorai liar, dan cahaya neon jalanan beradu dalam simfoni penuh gairah. Adrenalinku meledak.
Seperti biasa, aku melesat di antara batas kecepatan dan kegilaan. Dan, ya, seperti biasa pula, aku kembali menorehkan kemenangan.
Dari kerumunan, langkah kaki berat terdengar mendekat. Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jaket kulit gelap dan celana jeans ketat, berdiri tepat di hadapanku.
"Aku akui kehebatanmu kali ini," katanya, suaranya dalam dan datar tapi ada sesuatu yang mengendap di balik nada itu.
"Itu artinya kau mengakui kekalahan, bukan?" godaku, melengkungkan senyum miring yang penuh tantangan.
Pria itu mengikis jarak di antara kami, langkahnya pasti, matanya tak lepas menatapku. Ia membungkuk sedikit, menyamakan tinggi wajahnya dengan wajahku, begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napas hangatnya menyapu lembut kulit pipiku. Detak jantungku sontak berdegup lebih cepat.
"Sayangnya, tidak, Nona Rey," balasnya dengan tersenyum tenang, namun sorot matanya bicara lain. "Bagiku ini bukanlah akhir. Melainkan awal dari segalanya."