mku, mencoba menarik kembali kata-kata yang sudah terla
nya. "Mimpi yang benar sebagai kabar gembira dari Allah, mimpi yang data
"Bagaimana jika mimpi itu terus datang? Lagi dan lagi seola
u Zayden menghela napas dalam. "Entahlah," katanya pelan. "Aku buka
rgema di dada. Pandanganku menerobos keramaian kantin kampus yang mulai dipenuhi oleh lalu-lalang mahasiswa. Suara gelak tawa, dentingan sendok, dan panggila
perlahan kehilangan makna i
ata kosongnya, yang seolah menyimpan ribuan luka yang tak pernah ia ucapkan. Setiap kali dia
merasaka
tak memiliki bentuk, dan jeritan bisu yang menghancurkan ketenangan batin. Aku merasakannya seolah penderit
ng tak bisa dijelaskan oleh logika. Sebuah ikatan yang tak kumengerti, t
pi rasa sakitnya bisa aku rasakan
ey?" Suara Zayde
kapan mengalir dari pelupuk mata. Air mata yang muncul tanpa ak
tu terasa begitu nyata dan meninggalkan bek
ti memanggilku, seperti sedan
, nyaris tak terdengar, lebih ditujukan
lalu membuka tas ranselnya dan mengeluarkan buku usangnya yang telah sobek di beberapa bagian, seperti p
h?" tanyaku tiba-tiba. Suaraku mengandung beban y
tak ada simpati, hanya keheningan yang memanjang di antara kami. Hanya suara ha
terpaku pada baris-baris tulisan yang mulai pudar dimakan usia. "Kalau begitu, seharusnya rakyatnya hidup makmur, bukan?
u, suaraku meninggi, sambil memijat pelipis. Rasanya kepalaku akan mele
h kubilang, hentikan saja hobi berbahayamu itu," katanya dengan na
mendengu
a kali Ayah memintaku masuk pesantren, sudah berkali-kali. Namun, aku tetap teguh p
an syaratnya. Aku frustasi. Terjebak di antara mempertahankan kebebasanku atau me
u. Setelah ini, tidak ada lagi negosiasi," katanya teg
endiri dengan kasar. Pe
lap motor. Dunia malam. Adrenalin. Asap knalpot. Lintasan basa
nia yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dunia asing yang
atap seng kantin yang penuh debu dan sarang laba-laba.
lingaku. Kursi di depanku ditarik kasar, menimbulkan derit nyaring yang menusuk suasana. S
iasa, nyaris tanpa ekspresi. Sudah bisa ditebak, dia selalu
iptakan pusaran yang nyaris hipnotis di mataku. Kuah panas mengepul, menyebarkan aroma gurih yang biasanya menggugah seler
dalam kali ini. "Jangan bilang kau frustasi
Please, bukan urusanku siapa pun pacaran sa
l masuk p
a di meja itu langsung membelalak. Mereka terdiam seketika, terpaku seperti patung lilin.
Sasa sambil celinguka
yden, suaranya terdengar taja
langsung men
ali ini aku serius. Aku nggak
kenali. Mungkin wajahku sama, tapi ada sesuatu dalam sorot mataku yang beruba
apa tiba-tiba?" Indah memecah diam. "B
dari Ayah. Kalau aku nolak sekarang, semuanya selesai. Seluruh jalan
, "Terus gimana denga
nti. Masalah ini jauh lebih penting dari a
an dentuman mangkuk yang ia gebrak, kuahnya muncrat, sebagian mem
Kau tahu risiko apa yang
engibas-ngibas malas seolah ingin menyapu semua kekhawatiran
yang membelah udara. "Ini hidupmu yang kau pertaruhkan, Reyna Maheza. Apa kau benar-benar yakin p