dang menjelaskan soal struktur organisasi dan fungsi manajerial, tapi su
at. Seandainya aku bisa seperti itu, hanya perlu mengikuti arus angin tanp
sederhana itu. Teru
r Mila pelan sambi
kan sekarang. Pikiranku kacau, seperti benang kusut yang tak tahu ujungnya di mana. Suara Ayah mas
na dan menjadi seorang penghafal Al-Qur'an. Kalau kamu bisa penuhi syarat ini, silakan. Mau melakukan apa
ngguh me
k untuk menimba ilmu agama, bukan juga membenci pesantren, tapi keinginan Ayah terasa seperti rantai
t-ayat suci saat pikiranku masih
am berharap bisa melayang bersama mereka, pergi ke tempat di mana a
memompa mimpi-mimpiku sendiri. Aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana, apa yang harus kupelajari, atau bagaimana caranya menyesuaikan diri di tempat yang bahkan tidak kupilih. Dan
mengejutkanku, seperti menarik paksa kes
i seseorang dengan hoodie hitam dan se
yd
ang aktif tiap kali pikiranku sedang berantakan. Jendela ruang kuliah yang langsung menghadap koridor luar membuatnya den
arah luar kelas, menyiratkan
h terfokus pada proyektor, lalu menoleh ke Mila di sebelahku.
"Cepetan balik. Jangan sampai ketahua
siang langsung menyambut wajahku, membelai pipiku dengan lembut seperti menyadarkan bahwa dunia di luar kelas ini masih berputar,
ju kantin. Dan seperti yang sudah kuduga, pria itu sudah duduk manis
i sampingnya dan duduk. "Bagaimana kalau dosen itu tiba
h jelakmu sedang melamun. Takutnya kau kesurupan pula." Dia tertawa keci
ya. Sudah terlalu biasa. Begitulah Zayden. Selalu punya cara untu
traktir," kataku
as panjang seolah sedang menjalani beban hidup ya
ah dan ju
n di sisi kantin. Aku yang tinggal menunggu hanya duduk sambil mengamati sekeliling. Kantin siang ini sepi, han
a. Rasa penasaran muncul begitu saja, dan tanpa pikir panjang
enuhi halaman demi halaman. Semuanya tampak seperti naskah yang
ahun satu Raka Langit?" gumamku pelan. Apa maksudnya? Apa dulu pernah a
n konteks dari kata-kata itu. Tapi yang kutemukan hanya kalimat-kalimatPikiranku sedang penuh, aku tak ingin menambahkan teori aneh lagi ke dal
ampan berisi satu mangkuk bakso kuah, satu
ar," katanya sambil duduk, meletakkan nampan dengan ge
ntuk menyembunyikan semuanya. Dengan perlahan, aku mulai menyantap makananku. Mungkin karena kepalaku penuh dengan pikiran, perutku pun ik
ya,
hadapannya sudah tandas. Pria kutu buku, yang obsesi dengan sejarah itu,
balapan liar," kataku pelan, leb
i, masih tanpa mengalihkan pandang
ma saja seperti bicara pada temb
n pria itu tetap tak mengangkat wajahnya dari buku tebal yang
tanyaku akhirnya, menembus suny
gannya yang sedari tadi membolak-balik halam