/0/30600/coverbig.jpg?v=67b212b7a06636dcd0b54f539b945370)
api pikirannya melayang entah ke mana. Suara guru matematika seperti hanya jadi latar belakang
elum pulang. Bukan karena ia rajin, lebih tepatnya karena ia suka tempat sep
am Alya sambil menuruni tangga menuj
di sudut ruangan. Aroma khas kertas lama langsung menyambutnya. Ia be
ul biru, ia melihat sesuatu jatuh dari sela
tanpa nama, tanpa label. Hanya ada goresan tinta samar
. Rasa penasaran perlahan mengalahkan keraguannya. Ia membuka
eka pikir aku kuat, dingin, tak tersentuh. Padahal, kalau me
tu jujur, seolah penulisnya sedang berteria
oleh ada yang tahu. Jika s
bahwa pemilik diary ini bukan sembarangan orang. Hingga ia sampa
alu menyebu
ekolah? Cowok yang dingin, ganteng dan selalu
dengar mendekat. Seseorang masuk ke perpustakaan. Alya bur
oleh, matanya lan
dengan tatapan dingin yang l
. Tangannya spontan meremas tali tas t
uat udara perpustakaan mendadak dingin. Tatapan matanya tajam, se
dalam, datar, tapi membuat ja
sibuk merapikan buku di rak. "E..
atanya sekilas melirik ke meja yang kosong. Alya bisa me
k tangan Alya. Jangan sampai ketahuan.
iba-tiba berhenti tepat di depa
dah. "Nggak...
ya berani menatap balik, dan detik itu juga ia merasa
alau kamu nemuin sesuatu, lebih baik balikin. Karena
ta-kata itu terdengar se
pelan ke arah pintu. Sebelum kelu
simpan. Kadang, beban itu le
utup. Sun
uan, tapi juga karena perasaan aneh yang muncul. Entah kenapa, ada sisi lain dari
p diary hitam yang dia
up Alya tidak akan lagi
tingan bel masuk, dan antrean di depan kantin sudah jadi peman
. Diary hitam itu masih tersimpan rapi di sana, seakan berdenyu
. Intan, sahabatnya, sudah berdiri di de
ngong? Nih,
m kaku. "Hehe
ebelah yang lagi nembak gebetan di kantin, pikiran Alya tak bi
caranya? Masa tiba-tiba aku datengin dia teru
rsiap, kecuali Alya yang sibuk menahan degup jantung. Ia m
kitarnya tak penting. Namun, untuk sesaat, Alya merasa tatapan Arka berger
n-jangan dia cu
ampai akhirnya, saat istirahat, ia memutuskan membuka
ketiga
membuat dara
nya tahu Arka yang dingin, populer, tak tersentuh. Tapi kalau
terpe
pa yang dia laku
erit. Seseorang masuk. Alya
embut itu membuatny
endo
S, ia menatapnya
gong di sini
mati
menyembunyikan dia
ertanyaannya, kali ini sambil merapikan
agi... istirahat." Ia memaksa tersenyum, m
natap Alya cukup lama. "Kamu keliatan
mengibaskan tangan. Ia lalu berg
tasnya, di dalamnya diary hitam itu terasa lebih berat dari sebel
guru, tidak bisa tertawa saat Intan bercanda, bahkan tid
aran selesai, ia nekat membuka lag
empat itu. Hanya di sana aku merasa jadi diriku sendiri. Tapi..
. Tempat itu? Malam-
ika suara yang amat dikenal
mpai senyum-seny
an ekspresi datar yang justru semakin membuatnya me
an diary ke balik buku pake
matanya menatap tajam
tanya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Alya m
nya. Senyum yang entah kenap
inggalkan Alya dengan napas te
iary hitam itu seolah
ia tahu: Arka
ia tidak bisa menahan d
pul berkelompok, berbisik-bisik dengan ekspresi penuh antusias. Aly
sipnya belum?" Bisikny
engeluarkan buku dari ta
Katanya... ada yang liat Arka keluar m
berdegup. Taman kota? Jangan-ja
Tanyany
bangku taman sambil bawa gitar. Nyanyi sendiri, gitu. Lo b
gan bilang-bilang siapa-siapa ya. Katanya k
angannya merema
rka pura-pura cuek, populer, dingin,
lebih berat, lebih kelam. "Setiap malam... reputasi selesai kal
ku masing-masing. Guru mulai mengajar. Tapi bua
n santai, memasukkan ke dalam tas, lalu berdiri. Untuk sesaat, tatapan mereka bertem
a tidak akan bisa menahan rasa penasarannya lag
*

GOOGLE PLAY