Hanaya. Gadis berambut hitam sebahu itu kini meringis menatap lengan kirinya yang terus mengeluarkan darah. Cairan merah itu terus mengalir di antara saputangan yang diikatkan untuk menutup luka yang cukup terbuka.
"Sakit sekali," ucapnya lirih menahan air mata.
Rambut hitam sebahu Hanaya yang tidak lagi mengenakan hijab, kini dipenuhi keringat dan terlihat sangat lepek. Sesekali ia mulai menggaruk jidat, pipi, lengan dan kakinya bergantian. Nyamuk-nyamuk hutan kini meraja, kulit putih nan bersih bercampur keringat itu kini menjadi santapan lezat nyamuk-nyamuk lapar di hutan yang mulai gelap dan menyeramkan.
"Di mana kamu? Jangan sembunyi!"
Suara lantang lelaki berpakaian serba hitam itu membuat Hanaya semakin merinding ketakutan. Cepat ia menutup mulut dengan kedua telapak tangan agar deru napas yang tidak teratur karena lelah berlari itu tidak terdengar oleh lelaki yang kini tengah sibuk mencarinya di antara kayu-kayu besar dan ranting pohon yang bersujud menyentuh tanah.
"Sudahlah, tidak perlu sembunyi. Cepat atau lambat kau akan kutemukan gadis kecil, jadi jangan membuang waktumu atau kau ingin menjadi mangsa harimau di hutan ini?"
Hanaya semakin merinding, air matanya mengalir deras, takut akan ancaman itu benar-benar akan terjadi padanya nanti. Tidak menutup kemungkinan binatang penghuni hutan itu cepat atau lambat akan menerkamnya jika ia tidak menyerah pada lelaki yang sibuk memukul-mukul ranting dan dedaunan disekitar untuk menemukan Hanaya.
"Tuhan, aku takut, tapi aku lebih takut jika harus dijual kepada lelaki hidung belang. Tolong selamatkan hidupku, Tuhan," bisik Hanaya dalam hati sambil komat-kamit merapal doa berkali-kali.
Lelaki yang wajahnya tertutup kupluk itu kini perlahan menjauh. Langkahnya terdengar samar-samar. Teriakan-teriakannya kini ikut hilang terbawa angin. Tuhan mendengar permintaan Hanaya. Kini, lelaki itu pun menghilang entah kemana.
Teriakan lelaki berotot besar tadi, kini berganti dengan suara jangkrik yang semakin terdengar jelas. Kodok dan binatang hutan lainnya kini lebih terdengar bersahut-sahutan dan menambah suasana menjadi menyeramkan.
***
"Hari ini sampai di sini dulu. Sudah hampir gelap. Keselamatan dan kesehatan dalam bekerja adalah hal yang paling penting. Besok kita lanjutkan lagi," ucap Lung mengakhiri tailgate meeting hari ini.
"Siap, Pak!" Semua pekerja lapangan yang hadir serentak menjawab arahan Lung.
Pekerja lapangan mulai bubar, mereka mulai sibuk mengemasi barang pribadi untuk dimasukan ke dalam mobil yang akan membawa mereka kembali ke kota.
"Nico, tolong ke sini sebentar," ucap Lung kepada supervisor bawahan Lung yang sedang memperhatikan para pekerjanya mengemas semua peralatan.
"Ya, Pak."
"Saya ingin jalan-jalan sebentar sebelum pulang, jika sudah beres nanti kabari saya. Saya ingin ke sana sebentar," ucap Lung sambil menunjuk tempat yang ingin dia tuju.
"Hati-hati, Pak. Apa perlu saya temani?" tanya Nico sedikit khawatir kepada atasan yang sudah dianggap sebagai bapak sendiri. Handi Sastra Lung, seorang lelaki berusia empat puluh tahun. Bertahun-tahun menjabat sebagai manajer perusahaan yang sangat kompeten di bidangnya. Ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang sangat paham pada bawahan. Tidak hanya duduk di belakang meja, Lung begitu ia biasa disapa ialah manusia yang sangat aktif.
Di usia yang tidak lagi muda ia lebih memilih bekerja 'suka-suka'. Langsung terjun ke lapangan untuk melihat proses pekerjaan berlangsung membuat Lung dikenal dengan sosok yang disegani.
Lung berjalan pelan melewati bibir hutan, rasa penasaran terhadap suatu hal yang baru dengan jiwa petualangan yang ia miliki memang membuatnya selalu ingin tahu. Pelan dan hati-hati, Lung memasuki hutan. Sebuah pohon besar yang terlihat berumur tua berdiri kokoh dengan daun yang menjuntai hampir menyentuh tanah itu membuat Lung ingin mendekatinya. Di Kiri kanan pohon tersebut penuh dengan tanaman sawit warga sekitar yang sudah dipanen. Tidak ada lagi petani sawit yang akan masuk ke hutan setelah panen selesai, paling tidak untuk beberapa hari ke depan. Biasanya, mereka mengatur waktu untuk kembali datang menggarap kebun sawit yang telah panen.
Lung duduk di bawah pohon rindang yang besar. Dari kejauhan ia menatap para pekerjanya yang terlihat sudah lelah karena bekerja dari pagi. Suara minta tolong terdengar samar-samar di telinga, lelaki bertubuh besar itu kini berdiri untuk mendengar suara itu lebih baik. Rasa penasaran membuatnya melangkah ke dalam hutan, benar dugaannya, suara parau itu sayup-sayup terdengar semakin jelas.
"Siapa di sana, apa ada orang?" Lung berteriak, memastikan pendengarannya.
Langkahnya semakin cepat, matanya sibuk melirik semua sisi hutan yang mulai kelam. Suara minta tolong itu semakin terdengar jelas, Lung semakin mempercepat langkah, menembus hutan dan melewati daun yang rimbun untuk mencari asal suara.
Gadis itu meringis ketakutan saat tatapan matanya dan Lung bertemu. Hanaya, yang terkejut oleh kedatangan seseorang yang tiba-tiba, mencoba melangkah mundur dengan tenaga yang tersisa.
"Kamu siapa?" tanyanya memastikan dengan suara yang hampir tidak lagi terdengar.
Lung tersenyum sekaligus khawatir menatap Hanaya. Namun, di saat bersamaan Hanaya terlihat takut melihat Lung yang mengira salah satu dari kelompok penculik yang mencarinya tadi.
"Ja-jangan mendekat! Kamu siapa? Jangan macam-macam atau...."
Gadis itu jatuh pingsan, wajahnya terlihat pucat pasi, bibirnya sangat kering, tubuhnya terkulai lemas tak berdaya. Dengan cepat Lung memindahkan tubuh Hanaya ke pangkuannya. Mata Lung berbinar menemukan Hanaya masih dengan kondisi hidup walau ada beberapa luka di tubuhnya.
"Tuhan, apa ini adalah jawaban atas doa-doaku padamu?" lirih Lung dalam hati.
Lelaki itu menitikkan air mata. Haru bercampur khawatir membuat matanya berkaca-kaca. Secepat yang ia bisa Lung melangkah menyusuri jalan yang tadi ia lalui dan kembali pada pohon istimewa yang pertama kali ia temukan.
Nico, yang melihat Lung menggendong seseorang segera menghampirinya. Jiwa petualang Lung memang tidak diragukan lagi, ia sama sekali tidak hilang di telan hutan. Namun, yang membuat Nico dan pekerja lainnya ternganga adalah saat Lung mengendong seorang gadis dari dalam hutan.
"Lihat apa kalian? Ayo, cepat bantu aku! Bawa gadis ini dan segera antar ke rumah sakit! Cepat!"
Serentak mereka membantu. Nico dan seorang pekerja, mengangkat Hanaya masuk ke dalam mobil. Setelah dipastikan tidak ada yang tertinggal, mereka bergegas meninggalkan hutan yang mulai kelam.
Langit kini benar-benar gelap. Suara binatang hutan terdengar bersahut-sahutan dan menyeramkan. Beruntung Hanaya bertemu Lung sebelum binatang hutan yang terlebih dahulu menemukannya.
Di dalam mobil yang berlari dengan kecepatan tinggi. Lung mengamati Hanaya dengan seksama. Mata sipit dan rambut lurus yang hitam legam, serta kulit putih bersih membuat Lung merasa menemukan belahan hatinya. Gadis ini terlihat mirip dengannya.
Sadar akan darah yang terus merembes pada kain yang mulai basah, Lung mengganti saputangan itu dengan perban yang tersedia di dalam mobilnya.
Nico yang duduk di bangku depan menatap kaca berkali-kali memastikan apa yang terjadi di belakang sana. Tatapan Lung pada gadis itu membuat Nico haru. Mereka baru bertemu, namun untuk Lung yang merindukan seorang anak hadir di tengah keluarga mereka, pemandangan ini cukup jelas memperlihatkan kasih sayang Lung pada putrinya.
"Nico, jika kuangkat gadis ini jadi anakku, apa tidak masalah?"
Pertanyaan itu membuat NNico terkejut, padahal baru saja terlintas di pikirannya kalau mereka nampak mirip.
"Ah, abaikan saja pertanyaanku tadi, tidak usah dihiraukan." Lung, menatap Hanaya dengan mata sendu.