Suara hantaman dari pukulan tangan seseorang yang dengan mulus mendarat di pipi kiri Alesio, terdengar nyaring. Tapi, rasa sakitnya seolah tidak bisa benar-benar ia rasakan. Meski perlahan, cairan merah kental mulai mengalir di sudut kiri bibirnya. Seakan rasa sakitnya tertahan oleh perasaan malu yang jauh lebih besar dibandingkan semua itu. Bagaimana tidak, Alesio sendiri tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini dari satu pun cewek, kecuali seorang cewek aneh yang tiba-tiba mendatanginya di kantin sekolah dan seenak jidat meluncurkan bogemannya.
Alesio menyeka darah yang ada di sudut kiri bibirnya, asal. Sambil dengan malas menatap cewek itu, sedang berdiri di hadapannya seraya melayangkan tatapan tajam ke arah Alesio. Untuk pertama kali dalam hidupnya. Setelah Alesio berhasil memacari hampir seluruh siswi di sekolah ini dan selalu memutuskan hubungan dalam jangka waktu cukup dekat. Kali pertama ini, Alesio menyatakan. Bahwa ia tidak tertarik dengan perempuan. Lebih tepatnya, merujuk kepada cewek yang sudah mempermalukannya ini. Lagi pula, apa yang menarik darinya? Cewek aneh yang sok jagoan, dengan gaya rambut berantakan diikat satu ke belakang. Lalu, lengan baju yang sengaja sedikit digulungkan hingga ke atas dan seragam yang tidak dimasukkan ke roknya. Sangat tidak mencerminkan murid yang disiplin.
Suasana kantin berubah tegang. Sampai-sampai, semua pasang mata ikut menjadi penonton di antara keributan mereka berdua. Saling berbisik dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Beberapa banyak siswi terlihat prihatin dengan Alesio, karena kesadisan cewek itu. Sementara sebagian banyak siswa terlihat senang. Melihat cowok seperti Alesio, dipukuli. Apalagi, oleh seorang cewek yang jelas adalah perempuan pertama yang berhasil menjatuhkan Alesio, ketika para siswi lainnya tidak mungkin memperlakukan Alesio sedemikian. Itu adalah hal yang bagus. Lagi pula, karena adanya Alesio. Kebanyakan siswa laki-laki di SMA Cendaka Karya ini kalah saing. Jadi, ketika mereka melihat rivalnya dipukuli dan dipermalukan oleh cewek itu, mereka sangat menikmatinya.
"Siapa lo? Gue gak kenal sama lo. Terus, kenapa lo seenaknya mukul gue?" Meski ingin marah, Alesio juga sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Ia menunggu cewek itu untuk menjawab pertanyaannya. Tapi yang ia dapatkan malah sebuah tamparan di pipi kanannya. Jadi, lengkaplah sudah memar di kedua pipi Alesio.
"Lo, udah nyakitin sahabat gue. Jangan macem-macem sama sahabat gue. Karena gue, gak akan biarin sahabat yang gue sayang, jadi korban playboy kaya lo." Berang cewek itu. Jari telunjuknya sudah terangkat di depan mata Alesio, seperti akan menusuknya. Tapi Alesio masih tidak mengerti. Sahabat? Siapa yang dia maksud? Siapa cewek ini? Kenapa pukulannya dirasa enggak asal-asalan? Hingga Eza, temannya Alesio yang berdiri tak jauh darinya sendiri, menangkap cukup jelas kebingungan di mata Alesio.
"Cewek ini tuh, namanya Adela Queeta. Anak kelas 11 Ips yang sering mewakili sekolah kita, ikut lomba bela diri." Bisik Eza, membuat Alesio sedikit tercengang mendengarnya. Sampai tidak menyadari jika cewek itu memandanginya lekat-lekat. Kemudian berdeham menyadarkan Alesio. Dalam hatinya, Alesio merutuki Eza yang telat memberi tahunya. Perihal cewek ini yang ternyata bernama Adela dan merupakan murid yang pintar dalam bela diri. "Pantes aja, pukulannya gak main-main." Rintih Alesio dalam hati.
"Dari awal, gue udah tau. Kalau lo macarin sahabat gue, itu cuma untuk mainin perasaan dia. Dan gue terpaksa gak larang dia sama lo. Karena gue tau, dia bener-bener cinta sama lo. Tapi kenyataannya, lo malah mutusin dia di hari ulang tahunnya." Adela tersenyum miring sesekali mengalihkan pandangannya ke arah lain. Muak melihat seorang Alesio yang menurut kebanyakan perempuan, dia itu mempunyai wajah tampan bak malaikat namun nyatanya tidak memiliki hati sama sekali dan lebih cocok disebut sebagai The Devil.
"Dan lo tau? Sekarang, Ceysa, sahabat gue gak sekolah karena sakit. Ini semua gara-gara lo." Alesio baru ingat, kemarin ia sengaja memutuskan hubungannya dengan Ceysa tepat di hari ulang tahunnya. Berharap cewek itu terluka sejadi-jadinya. Karena tujuan Alesio mendapatkan hati dan memacari banyak cewek semata-mata hanya untuk mempermainkannya saja. Namun, Alesio tidak pernah menyangka. Jika Ceysa benar-benar mencintainya. Walau pun begitu, Alesio tetap tidak harus merasa bersalah. Justru ia merasa puas adanya. Karena misinya kali ini, berjalan sempurna.
"Atau, jangan-jangan, lo udah punya rencana dari awal. Kalau Ceysa itu korban lo selanjutnya."
"Iya."
BUK!!
Hampir saja Alesio kehilangan keseimbangan, karena Adela memukulnya tepat di bagian perut yang ternyata jauh lebih keras dari pukulan-pukulan sebelumnya. Tidak tahu, bagaimana kondisi kesehatan cacing-cacing di perutnya yang sebelumnya sempat berisik meminta diberi makan.
Tapi, Alesio tidak boleh terlihat lemah di hadapan cewek. Terlebih Adela. Gengsi rasanya, "Lo pantes dapetin semua pukulan ini Alesio Quinno." Baru saja Adela akan memasang kuda-kudanya. Sepertinya, kali ini Adela berniat menendang wajah tampan Alesio, meski sudah memar.
"Hei, Adela. Lo gak usah lebay deh!" Cibir salah seorang siswi dari banyaknya kerumunan.
"Tau tuh. Jahat banget sama pangeran sekolah."
Adela yang mendengarnya, terpaksa menghentikan aksi. Mendengar mereka berbicara seperti itu, rasanya membuat Adela ingin tertawa. Bodoh menurutnya. Seharusnya, sesama perempuan, mereka bisa menyadari bahwa membela Alesio adalah kesalahan besar.
"Gue gak habis pikir sama lo berdua. Bisa-bisanya, lo belain cowok kaya gini. Seengaknya, harusnya lo berdua berpikir. Kalau dia udah nyakitin banyak cewek. Dan mungkin aja, lo berdua bakalan jadi yang selanjutnya. Jangan karena cuma tampangnya, lo berdua membenarkan semua perbuatan Alesio. Walau pun jelas-jelas Alesio salah." Dengus Adela, membuat kedua cewek itu membisu. Suasana hening seolah memberi kesempatan Adela untuk kembali memukul Alesio. Namun lagi-lagi gagal. Sementara Alesio masih berdiri tegak di tempatnya, tanpa rasa takut. Lagi pula, seorang cowok tidak perlu merasa takut kepada cewek. Dan terus bersikap sesantai mungkin. Meski sebenarnya, ia sendiri sudah naik pitam. Alesio memang suka mempermainkan hati hanyak cewek, tapi tidak dengan harus membalas kekerasan fisik jika itu ditujukan untuk dirinya dari seorang cewek mana pun. Lagi pula, kalau pun mau. Bisa saja tenaga Alesio mengalahkan energi lincah Adela. Secara, Alesio itu cowok dan Adela hanyalah seorang cewek yang meski handal dalam bela diri, tetap saja, tenaga yang Alesio punya, bisa jauh lebih kuat. Sekalipun ia sendiri tidak pernah belajar bela diri. Namun pada kenyataannya ia sendiri yang dianggap salah, jika meladeni aksi pukulan dari Adela.
"Jangan mukulin Alesio terus dong!"
"Apa lo, mau gue pukul juga." Sungut Adela. Semua terdiam. Bergidik ngeri, melihat Adela yang sangat marah. Tidak ada yang berani berkata-kata. Sementara itu, Adela berpikir. Rasanya, waktu yang ia punya sudah cukup terbuang percuma oleh Alesio dan ia harus mengakhirinya sekarang juga. Kalau bukan karena Ceysa, Adela tidak akan mau bertemu Alesio. Meski Adela belum puas, karena Ceysa jauh lebih menderita hatinya dibanding hanya sakit bekas pukulan ditubuh Alesio yang tidak seberapa.
"Sekali lagi. Jangan berani nyakitin Ceysa, atau ... " Ucapan Adela terpotong, ketika netranya melihat Bima berjalan ke arah mereka dengan Pak Azzam, selaku guru bk yang ikut berjalan mengekorinya dari belakang.
"Itu Pak, tolong pisahin mereka ya." Pinta Bima sembari menunjuk ke arah kerumunan. Membuat Alesio tersadar. Pantas saja Bima tiba-tiba tidak terlihat sedari tadi. Padahal, Alesio pergi ke kantin bersama Eza dan Bima. Ternyata, Bima pergi memberi tahu Pak Azzam untuk menghentikan keributan Alesio dan Adela, agar semuanya cepat berakhir. Sayangnya, Bima datang diwaktu yang salah. Karena wajah Alesio sudah benar-benar babak belur dan ketika semua keributan hampir selesai. Sementara Eza menepuk jidatnya sendiri. Berbicara di dalam hati. "Lo telat Bim. Udah kelar."
Sontak semua siswa-siswi yang awalnya mengerumuni mereka, satu persatu mulai membubarkan diri. Usai melihat Pak Azzam berjalan semakin dekat menghampiri, meski beberapa dari mereka masih penasaran dan seolah ingin terus menikmati apa yang terjadi.
"Astagfirullah. Apa-apaan nih. Alesio, Adela. Kalian itu anak berprestasi. Kenapa malah bikin keributan seperti ini?" Alesio yang tidak mau disalahkan dan ujung-ujungnya diceramahi panjang lebar oleh Pak Azzam. Terlebih, Pak Azzam adalah guru agama sekaligus guru bk di sekolahnya. Segera menjawab ucapannya.
"Adela duluan Pak. Liat nih, saya sampai luka-luka." Pekik Alesio. Adela yang mendengarnya mendelik sinis dan mulai tidak terima.
"Saya gak akan lakuin ini Pak. Kalau bukan Alesio yang mulai duluan, ini gak akan terjadi. Lagian, gak akan ada asap kalau gak ada api." Timpal Adela tak mau kalah.
"Sudah-sudah. Pokoknya Alesio, Adela. Ikut bapak ke ruang bk. Sekarang!
○●○