Unduh Aplikasi panas
Beranda / Fantasi / God's Consort
God's Consort

God's Consort

5.0
10 Bab
2 Penayangan
Baca Sekarang

Perang antar suku dari dewa kuno membawa malapetaka untuk semua alam. Tak terkecuali di alam dewa. Suku dewa phoenix emas, dalam sejarah disebut dengan suku Liuyang, turut andil dalam perang tersebut. Seorang dewi terlahir dengan kesempurnaan yang membuat seisi alam terharu bahagia, mereka menyebutnya Dewi Agung Wang Ying. Dengan didikan ayahnya, Dewa Agung Wang Fang, Dewi Agung Wang Ying tumbuh dengan kedewasaan yang sempurna meskipun umurnya masih 20.000-an tahun. Ying tumbuh dengan segala rintangan dan kedewasaan. Siapa sangka konflik antara Ying dan Permaisuri Jingzhou membuatnya melewati takdir yang sebenarnya. Permaisuri Jingzhou mengirim Ying ke pemilihan permaisuri langit untuk menikahi Kaisar De Hua. Akankah Ying dapat melalui semuanya dan mengambil semua yang seharusnya menjadi miliknya? Dan bagian pentingnya, akankah Ying bisa bertahan hidup?

Konten

Bab 1 Awal Pertemuan

Seorang gadis berambut hitam lembut nan panjang sedang berjalan di sekitar taman Istana Liuyang. Gadis cantik itu memakai penutup mata karena matanya baru saja diganti dengan mata yang baru. Ia dihukum karena fitnah ibu permaisuri ayahnya yang jahat. Ibu tirinya memang menginginkan mata coklat miliknya. Sehingga ia difitnah karena melakukan kejahatan terhadap ibu tirinya sendiri yang sedang mengandung. Padahal apa yang bisa dilakukan gadis berumur 50 tahun untuk mencelakai kandungan ibu tirinya. Sekarang umurnya sudah 600 tahun. Bahkan ia masih belum bisa menyesuaikan dengan mata barunya.

Ya, setidaknya ia masih dapat mendengarkan sesuatu dengan tajam.

"Siapa itu?" seru Ying ketika ia mendengar suara gemersik semak-semak di sekitarnya.

Tanpa aba-aba Ying langsung mengeluarkan pendangnya. Setelah kejadian tak adil yang menimpanya, Ying merubah sikapnya. Ia menjadi semakin tertutup. Ia diam-diam berlatih pedang. Padahal dalam adat budaya Liuyang seorang wanita sama sekali tidak boleh memegang alat-alat seperti senjata. Wanita hanya diperbolehkan belajar merajut dan menjahit untuk menjadi istri dari para dewa yang agung. Tetapi sekarang, adat budaya itu sama sekali tidak dihiraukan oleh Ying. Ying mulai ingin tumbuh menjadi kuat.

Hingga sampai sekarang mata barunya itu harus memerlukan adaptasi. Adaptasi itu memerlukan waktu yang lama. Ketika memikirkan hal ini, Ying ingin sekali membalaskan dendamnya untuk ibu tirinya yang jahat dan adik tirinya. Adik tirinya itu memang sama seperti ibunya. Adiknya itu adalah gadis yang serakah, tamak, dan keras kepala.

Ying mendengar gemersik dari balik semak-semak lagi. Ying mengedarkan pandangannya meskipun dirinya tak dapat melihat, tetapi tetap saja telinganya masih berfungsi baik.

"Jangan menjadi pengecut, cepat keluar," ujar Ying santai.

"Ah, apakah aku begitu kentara?"

Terdengar suara lelaki yang sepertinya berusia lebih tua dari Ying. Ying hanya bergeming tak memedulikan suara itu. Ia akhirnya kembali memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedangnya yang berwara putih. Sengaja diikatkan di pinggangnya agar ia mudah mengambilnya. Ia juga sengaja memakai warna putih agar senada dengan warna bajunya yang merupakan kain sutra berwarna outih tulang.

"Ada apa dengan matamu?"

Ying masih tetap bergeming dan tetap diam di tempatnya.

"Hei, aku Tao. Kau?"

"Bagaimana kau bisa masuk ke dalam taman ini?" tanya Ying yang akhirnya bersuara.

"Aku memang sedang berkunjung ke Liuyang, dan aku dipersilakan untuk berkeliling tempat ini. Aku menemukan taman indah ini, niatku ingin bersantai sejenak di sini tetapi aku melihat ada seorang gadis sendirian di sini. Aku memutuskan untuk menatapimu, dari pada aku digelayuti oleh gadis kecil genit itu."

Gadis kecil genit? Itu pasti adik Ying. Adik Ying memang selalu begitu.

"Apakah kau terganggu oleh kehadiranku? Aku berada tepat di hadapanmu," ujar lelaki bernama Tao lagi.

Sejujurnya Ying tidak terganggu oleh kehadiran Tao. Hanya saja selama ini karena kondisi matanya tak ada satupun anggota kerajaan mengajaknya berbicara. Baru kali ini ada orang yang mau mengajaknya berbicara.

"Kau mengajakku berbicara?" tanya Ying.

Sontak saja Tao menatap Ying bingung dan terbelalak. Apa maksud dari pertanyaannya?

"Ya, memang ada siapa lagi di sini?" ujar Tao.

"Selama ini hanya kau yang mau mengajakku berbicara," balas Ying.

"Apa yang kau bicarakan? Kau sangat aneh," ucap Tao.

Ying bergeming. Jika dipikir-pikir dirinya memang aneh. Karena dirinya aneh jadi banyak orang yang tak mau berbicara dengannya.

"Aku memang orang yang aneh," balas Ying.

"Eh apakah perkataanku menyakitimu? Maafkan aku, apa yang sudah terjadi?"

Ying terdiam saat mendengar suara seorang wanita seperti berteriak memanggil seseorang.

"Yang mulia pangeran!" panggil seseorang.

Dalam hati Ying bertanya-tanya. Benarkah dia seorang pangeran? Apakah wanita itu memanggil Tao?

"Tao," panggil Ying.

Tak ada jawaban.

"Tao," panggilnya lagi.

Masih tidak ada jawaban. Apa? Apakah sekarang Tao sudah pergi?

"Tao, kau masih di sini?" tanya Ying lagi.

Tidak. Jauh dari lubuk hati Ying tidak ingin Tao pergi. Hanya Tao temannya satu-satunya. Ya, Tao sudah ia anggap sebagai seorang teman. Meskipun pertemuan mereka yang sangat singkat. Hanya Tao satu-satunya orang yang mau meminta maaf padanya.

Akhirnya dengan memberanikan diri, Ying menyentuh kain putih panjang yang terlingkar di mata dan kepalanya. Ia menyentuh kain yang terikat di kepalanya. Dengan perlahan ia melepaskan ikatan itu dari kepalanya. Dengan perlahan pula tali itu terlepas dari kepalanya. Ying masih memejamkan matanya dengan penutup mata yang sudah terlepas. Ia dapat merasakan terik matahari menyengat ke kulit putihnya yang segar.

"Tao," panggil Ying sekali lagi.

Oh tidak. Ying ingin sekali memastikan kalau Tao masih berada di sini. Tao, harus tetap di sini.

Perlahan ia mulai membuka matanya. Kelopak matanya mulai terangkat. Seketika matanya langsung merangsang semua sinar yang masuk. Ia merasa sedikit nyeri karena itu. Ia dapat merasakan sinar matahari yang begitu terik masuk ke penglihatannya.

Matanya belum terbuka sempurna. Hanya saja ia dapat melihat pandangan kabur bunga-bunga indah di sekitarnya. Mungkin ia memang benar-benar membutuhkan adaptasi.

"Bolehkah aku memohon," ujarnya lagi.

Tiba-tiba terdengar suara pria lagi tetapi tepat di belakangnya. Ying langsung tersenyum ketika tau kalau Tao masih ada di belakangnya.

"Tao, kau masih di sini," ucap Ying senang. Ia hendak berbalik dan menatap Tao. Tetapi ketika itu juga tangan pria di belakangnya langsung memegang bahu Ying dan menahan Ying untuk berputar melihatnya.

"Bolehkah aku memohon?" tanya dia sekali lagi.

"Apa permohonanmu?" tanya Ying.

"Kau harus berjanji untuk menurutinya dulu," ujar Tao.

Cengkeraman di bahu Ying terasa menguat. Apakah benar kalau itu Tao? Pandangannya masih terlihat kabur dan ia menjadi pusing karena cahaya yang masuk ke penglihatannya begitu banyak.

"Ya, aku janji."

"Pejamkan matamu lagi," ujarnya.

Pejamkan mata lagi? Baiklah, dengan perlahan kelopak mata Ying kembali menyelimuti bola mata baru miliknya. Seketika pandangannya kembali menggelap dan seperti semula.

"Sudah," jawab Ying.

Tao bergeming dan Ying merasa kalau cengkeraman di bahunya mulai menghilang. Terdengar suara langkah kaki berpindah. Tao berpindah ke hadapannya. Tao berjalan mendekat ke arahnya. Sangat dekat. Ying dapat mendengar suara itu dengan jelas ketika Tao menginjak dedaunan kering di tanah.

"Terus pejamkan matamu," ucapnya lagi.

Ying hanya mengangguk dan menjalankan perintahnya. Ia terus memejamkan matanya.

"Jangan buka matamu sampai ku perintahkan kau untuk membukanya, mengerti?"

"Ya," jawab Ying sembari tersenyum. Apa yang akan dilakukan Tao?

Seketika Ying merasa kalau ada tangan yang menangkup kedua pipinya. Ying merasa ada getaran aneh dalam dirinya. Apa yang sedang dia lakukan? Jika dia berani macam-macam, Ying tidak akan segan-segan mengeluarkan pedangnya dari sarungnya.

Apalagi sekarang? Ying merasakan ada napas seseorang dekat di pipinya. Hal itu membuat pipi Ying terasa panas dan gelenyar aneh merasuki dirinya.

"Sekarang buka matamu."

Perlahan kelopak mata Ying kembali terangkat. Bayang-bayang wajah seseorang ada tepat di pandangannya. Pandangannya belum pulih sempurna. Ia hanya bisa memandang dengan pandangan kabur. Samar-samar ia melihat ada wajah seseorang negitu dekat dengannya. Hal itu membuat napas Ying tersekat. Ia langsung menahan napasnya ketika a merasakan napas panas milik seseorang.

"Jangan bergerak," ucapnya lagi.

Tiba-tiba Ying merasa ada tangan melingkar di pinggangnya dan menariknya. Seketika ia merasakan kalau ada suatu benda menyentuh bibirnya. Benda yang basah dan panas menyentuh bibirnya. Samar-samar Ying melihat iris mata hitam pekat sangat dekat dengan penglihatannya. Bola matanya itu seakan membakar Ying. Ada pergerakan di bibirnya juga yang membuat jantung Ying terpacu karena itu. Apa yang sedang ia lakukan? Ia sedang melakukan apa?

Tak selang beberapa lama, mata itu tertutup dan menyisakan pandangan kelopak mata yang membentang di sana dengan bulu mata yang panjang menyelimuti matanya. Ying masih menutup bibirnya dan membiarkan hal itu terjadi. Ketika benda basah dan hangat itu terlepas dari bibir Ying. Orang itu mengatakan.

"Pejamkan kembali matamu."

Ying hanya menurut dan menutup matanya dengan perlahan seakan tak membiarkan satu cahayapun merasuki penglihatannya. Ketika ia juga Ying merasakan kalau tangkupan di pipinya mulai menghilang. Sentuhan dari pria itu tak terasa lagi. Ia terus memejamkan matanya hingga ada perintah lagi darinya.

Ying terus menunggu namun, ia sama sekali tak mendengar ada tanda-tanda pergerakan di sekitar sini. Apa yang dia akan lakukan lagi dengannya? Sebenarnya dia tadi melakukan apa? Mengapa rasanya ada gelenyar aneh saat ia melakukan itu?

Ying maju selangkah. Tak ada apapun. Kemudian Ying berjalan maju dan tetap tak menemukan apapun. Ia berjalan ke arah yang berbeda, tetap tak ada apapun. Begitu terus ia lakukan untuk memastikan. Sejenak ia menggulung lagi kelopak matanya ke atas. Membiarkan semua cahaya merasuki pandangannya. Kosong. Tak ada seorangpun di sini. Semuanya kosong.

Ying mengedarkan pandangannya dan tak menemukan apapun. Lalu kemana perginya Tao? Sejenak ia mulai merasa pusing karena cahaya-cahaya yang belum begitu familiar masuk ke celah-celah penglihatannya. Ying langsung menutup matanya kembali dan hendak memakaikan penutup matanya kembali. Namun, ia baru tersadar kalau kain putih yang ia gunakan untuk menutup matanya sama sekali tidak ada di tangannya. Kemana perginya kain itu? Apakah terbawa angin? Atau?

Jangan-jangan Tao membawa penutup matanya? Tetapi untuk apa? Apa yang sudah ia lakukan? Tao akhirnya pergi meninggalkannya tanpa suara dan tanpa berpamitan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY