Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Birahi Kadang Tak Ada Logika
Birahi Kadang Tak Ada Logika

Birahi Kadang Tak Ada Logika

5.0
10 Bab
6.3K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Khusus bacaan kaum yang sudah bisa membaca dengan tentu saja yang bisa memainkan logikanya dengan sangat baik. Cinta, Asmara juga birahi memang terkadang tak ada logika. Kok Bisa? ikuti saja terus jangan kendor dan jangan sampai menyesal, Karena jika tidak membaca sampai tuntas, maka akan banyak kehilangan pemahaman dan logika-logika birahi yang terbarukan. Rugi bukan? Lebih baik baca sampai tuntas agar kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merugi. Setuju?

Bab 1 Suami Siri, 1

Perkenalkan namaku Gerald Ramadhan, mahasiswa semester empat fakultas ekonomi salah satu unversitas ternama di Indonesia. Saat pertama menuliskan kisah ini umurku belum genap 21 tahun, tetapi sudah bisa hidup mandiri, berjuang memenuhi segala kebutuhan hidup termasuk biaya kuliahku. Bahkan aku telah menjadi tulang punggung keluarga sejak masih duduk si bangku SMA.

Aku anak tunggal akibat kandungan ibuku bermasalah, tidak boleh hamil lagi setelah melahirkan aku. Kehidupan keluarga kami serba kekurangan, bapak dan ibuku hanya petani miskin yang pada akhirnya menuntutku untuk berjuang keras jika ingin melanjutkan sekolah. Orang tuaku hanya mampu menyekolahkan anak semata wayangnya ini hanya sampai lulus SMP.

Berkat keteguhan serta kerja keras tak kenal lelah, aku sudah termasuk dalam jajaran remaja kampung yang meraih sukses pada usia belia. Jajaran yang sangat langka karena uang yang kuberikan pada kedua orang tuaku tiap bulannya jauh lebih besar dari yang mereka dapat dari bertani. Ketika masuk kelas tiga SMA, aku sudah berhasil merenovasi rumah orang tuaku. Dan saat ini kedua orang tuaku telah menjadi warga kampung yang paling tajir sebagai juragan empang.

Aku terlahir dengan dikarunia otak yang sangat encer. Dari kelas satu SD selalu meraih nilai terbaik. Bahkan beberapa kali menjadi unggulan tingkat kabupaten dalam beberapa macam lomba akademis, hingga sampai SMA. Ketika lulus SMA, aku merantau ke kota kabupaten untuk melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi Negeri bergengsi di kotaku. Sebetulnya aku ingin kuliah di Bandung atau Jakarta, tapi sebagain besar bisnisku dikelola di Kota Hujan ini.

Aku kuliah mengambil jurusan ekonomi karena merasa perlu memperdalam ilmu marketing yang selama ini telah kupraktekkan secara off line maupun on line. Siapa tahu aku juga bisa mengalahkan kehebatan Joe Girard yang mampu menjual enam unit mobil baru harga milyaran dalam sehari. Atau mungkit bisa membuka market palce sekelas Tokopedia dan sejenisnya. Abaikan dulu bagaimana perjuanganku menuju sukses di masa belia, sekarang kita lanjut cerita aneh di kampus tercintaku.

Teman kuliahku yang paling akrab bernama Farid Qurtubi. Orangnya sombong, sok suci merasa paling mengerti ilmu agama dan merasa paling jago beribadah. Sejak SD hingga lulus SMA dia memang mondok di pesantren ternama di Tasikmalaya, kota kelahirannya. Farid yang kurasa gantengnya biasa-biasa saja itu bahkan merasa paling ganteng, oaling cool dan paling jadi rebutan banyak cewek. Dia bahkan tak segan mengaku sebagai pewaris tunggal Sultan Tasikmalaya, entahlah.

Farid termasuk mahasiswa yang tidak terlalu disukai di kampus. Pergaulan dia lebih banyak dengan kaum-kaum religius yang berasal dari kampus kami juga beberapa kampus swasta lain yang ada di sekitar Bogor. Sudah menjadi hukum alam, semakin tinggi omongan seseorang, semakin banyak yang menjauhinya. Namun anehnya, aku justru sangat enjoy berteman dengan Farid. Sejauh ini aku menganggap semua ocehan yang keluar dari mulut Farid hanya hiburan semata. Yang pasti dia memang sangat royal, tidak pernah ngomongin kejelakn orang lain. Itu yang aku suka. Prinsipku lebih baik gaul dengan orang sombong daripada dengan ahli ghibah.

Sejak berteman, Farid nyaris tak pernah menyerah mengajakku bergabung dalam kelompok pengajiannya. Sementara aku tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau agama atau fanatisme terhadap suatu ajaran. Aku bukan berasal dari keluarga religius. lahir dan dibesarkan dalam lingkungan islam KTP yang tidak terlalu taat.

“Pokoknya di kelompok pengajian gua itu, banyak akhwat cantiknya, Bro!” rayu Farid.

“Emang di kampus kita kurang apa? Lu mau cari cewek cantik berapa kompi di kampus kita? Kurang apa?” Sengaja aku jawab demikian untuk melawan semua rayuan gombalnya.

“Bener sih. Tapi kalau akhwat di tempat pengajian gua, bukan hanya cantik, tapi dijamin solehah dan mudah dipacari sekaligus ditiduri!” balas Farid tanpa mikir.

“Heh Kodok Tasik! Sejak kapan akhwat solihah bisa diajak pacaran apalagi ditiduri? Sembarangan aja lu kalau ngomong!” sergahku dengan nada keras karena terperanjat.

Ucapan Farid benar-benar tak masuk akal. Kalau terdengar sama Mas Ganjar Pranowo, pasti disebut sangat anomali. ‘Kamu percaya gak Farid bilang begitu?’ Mungkin itu pertanyaan yang akan terlontar dari mulutnya.

“Otak lu udah konslet ya, Bro!” tambahku masih dalam nada kesal.

“Hmmm, makanya dengerin dulu penjelasannya, Bro. Gua tahu lu gak bisa baca huruf arab dan jarang banget ibadah, gak masalah. Lu gak bakal dites baca Qur’an atau praktek sholat buat masuk dalam kelompok pengajian gua. Yang penting ikut aja dulu, buktiin sendiri semua omongan gua tadi. Kalau gak cocok lu boleh cabut lagi. Gimana?” Farid makin bersemangat dan benar-benar tak kenal kata menyerah.

“Oke, kapan-kapan gua ikut ke sana sama lu, tapi jangan didaftarin sebagai anggota dulu ya. Gua mau lihat dulu, beneran gak ada akhwat yang bisa ditidurin sembarangan gitu, hahaha.” Tantangku.

“Nah, ini baru namanya mahasiswa gaul, hahahahaha!” Wajah Farid tampak semringah, mungkin merasa usahanya merekrutku telah berhasil

Pada suatu hari aku ikut dalam pengajian itu. Sejujurnya aku kagum dengan tempatnya yang tertata rapi. Asri, aman, nyamn dan tenang karena berada di tengah hutan pinus. Menurut Farid, kelompok pengajian ini dibiayai oleh beberapa pengusaha besar dan anggota legislatif dari partai politik besar. Pantas saja semua anggotanya tidak dipungut biaya.

Aku juga tercengang dengan peserta pengajian yang ternyata sangat berjibun. Menurut Farid dalam setiap minggunya tidak kurang 500 sampai 700 orang yang datang. Semuanya mendapat kajian juga sajian konsumsi secara gratis. Namun sayangnya, semua peserta akhwatnya memakai burka atau cadar yang terlihat hanya matanya saja.

‘Ah, Farid terlalu berlebihan. Katanya akhwatnya cakep-cakep. Bagaimana bisa tahu wajahnya cakep, yang keliatan cuma matanya doang. Pake baju dan jilbab lebar bergelembung gitu, kagak ada seksi-seksinya!’ umpatku dalam hati.

Walau dongkol namun aku rasa sudah terlanjur datang. Sebisa mungkin aku menyesuaikan diri dengan keadaan. Aku tidak tahu pengajian ini aliran apa, tetapi ceramah ustadnya tidak ekstrim malah cenderung menentramkan. Sempat curiga jika mereka kelompok fundamental garis keras yang sering berbuat onar. Namun ternyata ceramah ustadnya sangat intelek dan kekinian.

Semua pesertanya pun sangat ramah satu sama lain saling menghormati walau tidak bisa bergaul dengan kelompok akhwat karena ada hijab pembatas. Dan sepertinya lingkungan ini sangat baik dan sehat buatku. Ada baiknya aku bergabung dalam pengajian ini agar bisa belajar ilmu agama, hitung-hitung penebus dosa atau saran pertobatan atas segala perbuatan yang tercela pada masa lalu yang super kelam di kampungku.

“Gua jamin lu bakal laris manis di sini, Bro!” bisik Farid pada suatu waktu ketika aku sudah beberapa kali mengikuti pengajian.

“Hahaha, dagangan kali laris manis!” segahku bercanda.

“Percaya atau tidak, nama lu mulai jadi perbincangan para akhwat. Lu kan emang ganteng dan body juga gagah altltis gitu, Bro. Gua aja yang lebih jelek dari lu, laris manis, hehehe.” Farid mulai sadar diri jika wajah dan penampilannya memang kalah jauh denganku, apalagi ketika sedang terbalut pakaian muslim saat sedang ikut kajian seperti saat ini.

“Bisa aja lu, Kodok Tasik!” timpalku bercnada dan santai.

“Serius, Oncom Bogor! Para akhwat banyak yang suka sama lu. Katanya sih, keliatan masih ganteng, kalem dan polos. Rata-rata mereka menyukai cowok bertampang ndeso kaya elu gitu, hehehehe,” timpalnya sambil cengengesan. Sebenarnya antara memuji dan menghina susah dibedakan. Untungnya aku sudah kebal dengan keangkuhan seorang Farid.

Waktu terus berlalu, tak terasa sudah tiga bulan aku rutin menghadiri pengajian itu dan sama sekali belum ada progres yang berarti buatku, selain tambah rajin onani di kostan. Bagaimana tidak, setiap waktu membayangkan bersetubuh dengan para akhwat. Oh iya semenjak ikut pengajian itu, aku malah jadi terobsesi pada wanita berjilbab lebar. Bahkan punya banyak film dan cerita dewasa yang bertemakan akhwat alias jilboob. Farid juga sering cerita nikmatnya bersetubuh dengan akhwat yang binal. Gila!

“Bro, mana katanya banyak akhwat yang naksir gua dan bisa dipacarin sekaligus diajak tidur?” Akhirnya aku memberanikan diri menagih janji Farid saat mengajakku masuk group pengajiannya.

“Hahaha, udah lama gua tunggu-tanggu tagihan dari lu ini, Bro!” balas Farid sambil menarik tanganku menjauh dari kerumunan orang-orang yang hendak mengaji.

“Sebenarnya mereka itu gak mau dipacari, tetapi kalau diajak kawin banyak yang mau, terutama yang masih berstatus mahasiswi,” ucap Farid dengan nada setengah berbisik.

“Kawin?” tanyaku sambil ternganga.

Masih tak percata mendengar perkataan sahabat yang kurasa super edan ini. Aku memang nakal, beberapa teman SMA bahkan menjuluki aku PK alias ‘Penjahat Kelamin,’ tetapi tidak pernah terbersit sedikitpun untuk kawin muda. Bukan takut menafkahi lahir batin, namun kurasa masa mudaku terlalu indah untuk disia-siakan begitu saja.

“Yes, married, kawin alias nikah!” jelas Farid sambil nyengir kuda untuk bisa lebih meyakinkan diriku.

“Maksudnya gimana, Bro? Kalau urusan merit gua rasa keluarga gua gak bakal setuju!” sangkalku sangat keras.

“Hahaha, santai dulu Kang Mas! Kawin yang ini hanya sementara.”

“What?”

“Ya sejenis kawin kontrak atau kawin siri. Dilakukan untuk jangka waktu tertentu, misalnya sebulan, dua bulan atau bahakn tahunan, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.” Farid yang mengaku sejak SMP sudah banyak mantannya itu menjelaskan panjang lebar tentang nikah siri dan segala aturannya yang kurasa terlalu mudah. Mungkin karena aku tidak pernah belajar serius tentang hal-hal demikian.

“Sebenarnya gua udah lama ngedenger adanya kawin kontrak atau nikah siri. Tapi gua pikir yang ngelakuinnya bukan anak muda atau mahasiswa kaya kita-kita ini, Bro!” sangkalku masih belum yakin jika katanya banyak mahasiswa bahkan anak SMA yang melakukannya.

“Hehehe, asal lu tahu aja, kalau kita melakukan nikah siri, maka kita terhindar dari dosa berzinah!” kata Farid dengan mimik wajah yang makin serius.

“Ta…tapi gua kan masih polos, Bro!” kataku berpura-pura, sekedar menyelami sejauh mnana pengetahuan Farid tentang masa lalu diriku.

“Hahaha, makanya itu, elu kan bisa belajar atau praktek langsung sama akhwat yang udah pengalaman. Maksudnya gua, lu bisa nikah siri sama akwat yang udah beberapa kali jadi istri siri,” jawab Farid yang ternyata masih menganggap aku polos dan cupu. Syukurlah.

“Emang ada cewek yang mau diajak kawin siri kayak gitu?” tanyaku masih ragu namun benar-benar sangat penasaran.

“Bukan hanya ada, tapi banyak banget, Bro!” katanya secepat kilat.

“Kok bisa sih? Kenapa mereka mau dinikahi kaya gitu? Emang gak merasa rugi jadi istri sebentar lalu jadi janda?” tanyaku masih dalam nada terheran-heran.

*Bersambung Suami Siri, 2

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY