/0/17048/coverbig.jpg?v=e9a7d3c8fcc6e82a4614d08efdb928d6)
Emilio Jingga Wesley. Mendedikasikan hidupnya hanya untuk seorang wanita, bahkan mengabaikan hatinya. Sehingga berujung kekecewaan untuk para wanita yang mendekatinya karena tidak bisa berkomitmen. Floransia Calla. Gadis ceria, namun itu semua hanyalah kamusflase untuk menutupi ketakutan akibat trauma masa lalu. Introvert dan hanya mempercayai sahabatnya, Gaga. Nathaniel Parker. Pria dingin dan sombong, playboy dan suka bergonta-ganti pasangan tidur tapi dalam hatinya hanya ada satu orang wanita. Xeraina Agatha. Punya masa lalu kelam dalam hal percintaan, sehingga membuatnya tidak percaya cinta dan ikatan pernikahan.
Pria itu menggedor pintu kayu di depannya dengan keras, tidak peduli kalau tetangga rumah itu akan keluar dan meneriakinya untuk ingat waktu. Ya ... ini sudah pukul tiga malam dini hari. Di mana orang-orang sudah beristirahat dari penatnya siang hari. Tetapi tidak dengan dirinya, dia harus secepatnya bertemu dengan sang empu rumah ini.
Lima menit kemudian pintu kayu itu terbuka. Menampakkan seorang gadis dengan wajah pucat, belum lagi dengan mata sembabnya yang sudah membengkak. Lagi dan lagi gadis itu pasti sudah menangis.
"Hai, Ga!" Gadis itu mencoba menyapa dengan raut senang meski terlihat sia-sia. "Ada apa malam-malam ke sini? Masuk, yuk!"
Pria itu hanya diam. Tetap bertahan di tempatnya berdiri. Hanya menatap lamat ke arah gadis itu yang juga balas menatapnya.
"Kenapa nangis, Ga?" Ibu jari gadis itu sudah bergerak menyentuh pipinya, menghapus air mata yang ternyata terjatuh tanpa dia sadari. "Mama kamu marah lagi?"
Menggeleng.
"Lalu apa? Jangan membuatku khawatir seperti ini, Ga."
Pria itu terus diam. Tatapannya hanya tertuju ke arah gadis bertubuh kurus itu. Sahabatnya. Hal itu, membuatnya terus mengeluarkan air mata.
"Kamu harus bahagia, Flora!" Pria itu mencoba berbicara dalam tangisanya.
Gadis yang di panggil Flora itu tersenyum kecut. "Kamu aneh. Ayo bicara sama aku, ada apa?"
Pria itu semakin menangis. "Siapa yang akan jaga kamu kalau aku pergi?"
Gadis itu kaget, wajahnya sedikit pias. Tentu saja. "Memangnya kamu mau pergi ke mana?"
"Mama memaksaku melanjutkan kuliah ke luar negeri. Dan aku tidak bisa menolak perintahnya, kamu tahu itu 'kan?"
Gadis itu berseru senang, meskipun gurat kesedihan tetap ada. "Bagus dong. Bukankah itu mimpi kamu sejak dahulu. Selamat, ya!"
"Itu tidak lagi menjadi mimpiku setelah apa yang terjadi sama kamu. Aku nggak mau ninggalin kamu sendiri."
"Jangan seperti itu, Gaga. Ayo, kejar mimpi kamu. Jangan jadikan aku sebagai alasan untuk menghambat mimpimu." Gadis itu kembali tersenyum, meski kembali terlihat sia-sia. "Aku bahkan sudah melupakan peristiwa itu."
Bohong. Satu detik pun ia tidak pernah melupakan malam itu. Mimpi buruk itu masih terus datang dan menghantuinya setiap malam. Membuatnya histeris ketakutan dan menangis. Tetapi mana bisa ia menunjukkan rasa traumanya itu di depan pria tersebut.
"Tetapi aku nggak bisa, Flo. Aku nggak mau!"
"Kamu masih ingat janji kamu sama aku?" Pria itu mengangguk. "Kamu janji akan membawaku pergi dari sini kalau kamu punya kekuasaan. Ini jalannya, Ga. Inilah jalannya."
Pria itu maju dan memeluk erat tubuh itu. "Flora, tetapi kamu harus janji satu hal sama aku."
Gadis itu semakin merapatkan kepalanya ke dada pria itu, menikmati detak irama jantungnya. "Apa?"
"Kamu jangan lagi punya pemikiran untuk bunuh diri. Aku mau kamu hidup dan menungguku di sini untuk menjemputmu."
Gadis dalam pelukannya menegang. Pria itu menyadarinya. Jadi, ia melepas pelukan itu dan menatap sang gadis yang membuang pandangan ke arah lain memilih tidak mau balas menatapnya. "Aku mohon, jangan lakukan hal gila itu lagi!"
Gadis itu tahu diri. Karena memang seminggu yang lalu ia memang melakukan hal gila itu. Mencoba bunuh diri dengan memotong urat nadinya. Kalau bukan karena Gaga, sahabatnya. Mungkin, ia sudah meregang nyawa hari itu karena kehabisan darah.
Gadis itu mendongak, balas menatap sahabatnya. "Iya, aku janji!"
Pria itu kembali merengkuh tubuh ringkih gadis itu, sesekali membubuhi kecupan di kepala.
"Jadi, kapan kamu berangkat?" gadis itu kembali bertanya.
"Besok pagi. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita. Makanya aku datang untuk pamit langsung di tengah malam buta seperti ini."
Gadis itu menunduk, mencoba menghalau air mata yang sejak tadi ditahannya. "Selamat tingg-"
"Sampai jumpa lagi, Flo." Pria itu merevisi kalimatnya. "Sampai jumpa adalah kata yang pantas untuk kita. Karena dalam kasus kita tidak ada yang meninggalkan, yang ada kita hanya mencoba mengerti dari keegoisan orang tuaku. Mungkin, beberapa tahun lagi aku akan datang dengan kekuasan di tanganku dan kita lawan dunia yang kejam ini."
Gadis itu mengangguk. Kemudian mencicit, "Terima kasih, Jingga!"
"Aku harus pergi, Flo. Mama akan marah besar kalau tahu aku tidak ada di dalam kamar." Lelaki itu maju dan mengecup kening gadis itu lama. "Jaga diri baik-baik. Dan tunggu aku, Flora."
Satu titik menetes. Bukan dari langit. Air mata itu jatuh, tanpa sempat Flora seka. Dia tidak mau Jingga mengetahui kalau ia sedang menangis. Jadi, Flora hanya menunduk. Sampai Jingga menjauh dari pandangannya. Lalu, pergi.
Tanpa mereka sadari, sayap-sayapnya sudah patah. Bahkan sebelum mereka belajar terbang.
****
Lima tahun kemudian.
"Ga!" Flora menggedor pintu apartemen Jingga, sahabat sekaligus tetangga apartemennya. Posisi kamar mereka saling berhadapan. Jadi, tidak salah kalau dia berkunjung ke sahabatnya meski sudah tengah malam buta seperti ini. "Duh ... Gaga, buka dong!"
Jingga membuka pintu apartemen dengan wajah kantuk, menatap heran seorang wanita dalam balutan piyama kekanakannya dan jangan lupakan sebuah boneka Panda berada dalam dekapan wanita itu yang sedang berdiri di depan apartemennya. Entahlah, perempuan di depannya ini seseorang yang telah berumur dua puluh tiga tahun atau anak yang masih duduk di bangku TK?
"Ada apa, Flo?" tanyanya sambil mengucek kedua bola matanya, setelah melihat pergelangan tangannya yang dibalut jam. "Demi tuhan! Ini sudah pukul dua, Flo. Dan aku baru saja tidur."
Kalimat tersebut hanya dibalas cengiran lebar ala Flora. "Aku numpang tidur di sini, ya." Flora mendorong Jingga yang masih memegang gagang pintu, meski sang empu tidak bergeser sedikitpun untuk memberi jalan.
"No! Nggak ada ya yang namanya numpang tidur, di kamar pria pula, masih lajang lagi. Emang kamu mau kalau tengah malam tiba-tiba aku perkosa kamu, mau nggak?"
Flora memutar bola mata kesal, "Apaan sih, kok ngomongnya ngelantur gitu. Lagian ya, aku tahu betul kamu tidak akan bernafsu sama aku apalagi sampai memperkosa. Pelit banget sih." Dia mendorong lebih keras tubuh Jingga agar memberi jalan, melangkah masuk dan menyimpan boneka Panda kesayangannya ke sofa lalu menyusul duduk di sampingnya.
Jingga menutup pintu lalu menyusul Flora yang sudah berhasil memasuki area pribadinya. Kalau bukan sahabat, sudah ia tendang keluar dari tadi, batinnya.
"Suka banget tidur di sini?" tanya Jingga, lalu mengambil tempat di depan Flora.
Flora mengangkat kedua bahunya, "Entah, aku cuma merasa kesepian kalau nggak ada kamu."
"Dari awal aku sudah bilang, lebih baik kita tinggal bersama. Daripada aku nyewa apartemen untuk kamu tetapi jarang kamu tinggali. Pemborosan itu namanya," ucap Jingga, masih tidak mengerti keinginan wanita di depannya.
"Nggak!" teriak Flora. "Nggak ada ya tinggal berdua atau apa pun itu. Apa kata tetangga nanti, belum menikah tetapi sudah tinggal serumah."
Jingga memutar kedua bola matanya. Kesal, sangat kesal. "Jadi ini apa? Tengah malam masih ke kamar pria, berniat bermalam lagi. Jadi apa bedanya seperti katamu tadi?"
"Ya ... beda lah," ralatnya, setelah berpikir lama. "Pertama, kita tidak tinggal serumah, setaunya tetangga kita punya kamar masing-masing, mana dia tahu kalo tengah malam buta seperti ini aku bermalam di kamar kamu. Kedua, kamu sahabat aku dan satu-satunya keluargaku, nggak salah dong kalau aku minta tolongnya hanya sama kamu. Ketiga, aku sangat tahu kalau kamu itu tidak pernah memandangku sebagai wanita, jadi aku aman-aman saja untuk berada dekat kamu bahkan tidur sama kamu. Aku tidak akan pernah takut. Karena aku percaya sama kamu." Flora tersenyum lebar setelah mengakhiri kalimatnya.
Di depannya, Jingga membenarkan semua perkataan Flora. Sampai kapan pun Flora tidak akan masuk daftar untuk menjadi wanita yang akan menghangatkan ranjang ataupun istri masa depan. Mungkin ... karena Flora terlalu sering menolaknya.
"Ya sudah, bagaimana kalau kita menikah."
"Nggak!"
See ... ditolak lagi.
Dua tahun lalu saat mereka kembali bertemu. Hal pertama yang keluar dari mulut Jingga adalah 'ayo menikah!' yang dijawab oleh Flora dengan gelengan keras, sambil berteriak 'kita hanya sahabat, harusnya kamu tahu itu'.
"Kenapa?"
Pertanyaan ini sudah sering dilontarkan setiap ditolak. Tetapi entah kenapa ia selalu mempertanyakan pertanyaan yang tidak akan pernah dijawab oleh Flora.
Flora menatapnya nanar. "Ga, aku ngantuk." Lalu berlalu pergi memasuki kamarnya. Kamar Jingga lebih tepatnya.
Di belakang, Jingga menyugar rambutnya kasar. Kenapa? Kenapa wanita itu selalu menolaknya bahkan setelah lima tahun berlalu saat mereka berpisah dan kembali bertemu dua tahun lalu.
Jingga berdecak, lalu berdiri mengikuti Flora memasuki kamar, yang sudah tertidur membelakanginya.
"Maaf ya, Flo," bisik Jingga, sambil memeluk Flora dari belakang.
Bahu itu bergetar pelan. Tangan Jingga berpindah ke lengan Flora. Mengusapnya dengan pelan. "Flo, aku nyakitin kamu ya?"
Tidak dijawab.
"Aku minta maaf, Flo. Tetapi jangan nangis."
Flora masih menangis dalam diam.
Jingga tidak akan memaksa lagi. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.
Semua yang diawali dengan terburu-buru pasti akan berakhir buruk. Begitupun yang terjadi dalam pernikahan yang dilakoni oleh Alan dan Salsabila. Pernikahan tanpa visi misi membuatnya sulit untuk mempertahankan pernikahan keduanya. Bukan cuma mengenai balas budi, tetapi juga sebagai anak yang sudah habis masa bebasnya. Ketika keduanya memilih tinggal bersama dalam ikatan pernikahan, semuanya hambar karena mereka hanya hidup sekedar bersama. Pertanyaannya, apakah harus diteruskan atau tetap dibiarkan? Hancur dengan sendirinya.
Karena sang kekasih kabur di hari pernikahan, membuat mempelai wanita Satya harus diganti untuk menyelamatkan wajah keluarganya dari rasa malu. Arabella Sky yang baru saja menyelesaikan studi strata satunya tiba-tiba saja dipaksa setuju untuk menikahi anak dari sahabat orang tuanya sebagai bentuk balas budi. Pernikahan tanpa berlandaskan cinta tentu saja tidak akan berjalan mudah. Terlebih lagi saat mantan kekasih dari Satya tiba-tiba saja datang kembali untuk merusak rumah tangga keduanya. Apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pernikahan Bella dan Satya? Apakah Satya akan lebih memilih kembali dengan mantan kekasihnya atau tetap setia atas sumpah janjinya kepada Bella? Lalu bagaimana dengan mantan kekasih Bella yang juga masih mengejar-ngejar cinta Bella. Apakah mereka akan kembali ke mantan mereka atau justru membuat pernikahan antara dirinya dan Satya nyata dan bahagia.
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
ADULT HOT STORY 🔞🔞 Kumpulan cerpen un·ho·ly /ˌənˈhōlē/ adjective sinful; wicked. *** ***
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Karena sebuah kesepakatan, dia mengandung anak orang asing. Dia kemudian menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya sejak mereka masih bayi. Pada awalnya, dia mengira itu hanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, namun akhirnya, rasa sayang yang tak terduga tumbuh di antara mereka. Saat dia hamil 10 bulan, dia menyerahkan surat cerai dan dia akhirnya menyadari kesalahannya. Kemudian, dia berkata, "Istriku, tolong kembalilah padaku. Kamu adalah orang yang selalu aku cintai."
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"